Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Kasus Korupsi Bantuan Sosial di Era Pandemi dan Upaya Pencegahannya

23 Januari 2023   17:12 Diperbarui: 23 Januari 2023   17:12 474 1
Akan sangat menarik untuk mempelajari lebih lanjut tentang perdebatan seputar korupsi di era reformasi ini. Pemberantasan korupsi telah menjadi salah satu prioritas dan tugas utama bagi siapa pun yang berwenang dalam pemerintahan sejak reformasi demokrasi Indonesia dimulai. Semangat pemberantasan korupsi ini sebenarnya merupakan hasil dari anggapan bahwa maraknya perilaku koruptif berupa korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di berbagai tingkatan dan ranah kehidupan bernegara menjadi penyebab kebobrokan dan kehancuran negara pada masa Pemerintahan Orde Baru.
Pada tahun 1999, Transparency International (TI), sebuah organisasi global yang memantau korupsi, menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari lima negara paling korupsi di dunia. Dari 146 negara yang dipertanyakan, hasil survei TI ini direplikasi pada tahun 2004, dan temuan tersebut "masih" menempatkan Indonesia sebagai negara paling korups kelima. Peringkat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) untuk Indonesia ditemukan lebih rendah daripada negara-negara terdekat seperti Papua Nugini, Malaysia, dan lainnya. Hasil dari pemberantasan tindak pidana korupsi juga belum banyak berubah. berdasarkan data tahun 2010-2022 yang disediakan Indonesian Corruption Watch (ICW) pada 24 Februari 2016. Korupsi merupakan perilaku yang tidak hanya berpotensi merusak keuangan negara tetapi juga perekonomian masyarakat umum.
Sejak Era Reformasi, pemerintah telah menerapkan sejumlah peraturan perundang-undangan untuk memerangi korupsi, dimulai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta dilanjutkan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Hingga terbentuknya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009, Tindak Pidana Korupsi dilarang berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Korupsi adalah penggunaan posisi seseorang untuk kepentingan selain kepentingan pemerintah. Korupsi bukanlah kejahatan yang dimotivasi secara emosional; sebaliknya, ini adalah kejahatan perhitungan berbasis pikiran. Penyalahgunaan kepercayaan untuk keuntungan pribadi adalah inti dari korupsi. Korupsi adalah komisi yang disengaja dari suatu kesalahan, pengabaian tugas yang diketahui berutang, atau pelaksanaan kekuasaan yang tidak sah untuk keuntungan pribadi yang lebih atau kurang.
Sektor publik penuh dengan korupsi, yang sering dilakukan oleh pejabat korupsi. Para pejabat justru menyalahgunakan jabatannya demi mendapatkan pahala yang sedikit, apalagi di era reformasi saat ini. Misalnya, Juliari P. Batubara, menteri sosial di Kabinet Indonesia Maju, terlibat dalam aksi korup dan ditangkap dalam kasus yang melibatkan dugaan suap bantuan sosial COVID-19. KPK mengakui Juliari sebagai tersangka korupsi bansos COVID-19 pada 6 Desember 2020 setelah melakukan operasi OTT terhadap perwakilan Kementerian Sosial dan sektor komersial.
Pasca penangkapan Menteri Sosial yaitu Juliari Barubara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan kasus tersebut yaitu bantuan dana sosial untuk masyarakat yang terdampak Covid-19 telah menjadi himbauan bagi Presiden Jokowi Dodo untuk lebih banyak mengigatkan jajarannya dan berhati-hati dalam menggunakan anggaran bencana, terutama dana Pandemi Covid-19.
Pada kenyataannya, begitu Majalah Tempo melihat kasus Rasuah yang memiliki nilai fantasi, korupsi pembayaran bansos bagi warga terdampak Covid-19 mengejutkan kesadaran publik. Hal ini agar warga yang menderita dapat terlindungi dan dirawat akibat wabah Covid-19 berkat alokasi uang tunai (khusus) pemerintah yang cukup. Uang tersebut berasal dari relokasi anggaran menteri dan badan (K/L), yang penggunaan prioritasnya masih dapat ditangguhkan. Komitmen pemerintah dalam mencegah dan mengendalikan wabah Covid-19 ditunjukkan dengan pembayaran uang dukungan sosial sebesar Rp62 triliun.
Ada dasar kekhawatiran berbagai pihak tentang kemungkinan korupsi terkait pembayaran bansos. Sejak KPK pertama kali memperkenalkan program JAGA pada 5 Juni 2020, KPK misalnya, telah menerima 118 pengaduan masyarakat atas penyaluran pembayaran bansos melalui aplikasi JAGA. KPK menerima laporan masyarakat dari 78 pemerintah daerah, termasuk 71 kabupaten dan 7 provinsi. Sejumlah pengaduan terkait penyelewengan dana bansos disampaikan kepada Ombudsman RI, selain KPK. Pengaduan ini dapat dipecah menjadi lima bidang masalah: (1) distribusi bantuan yang tidak merata dari segi waktu dan orang-orang di daerah sasaran; (2) orang yang lebih membutuhkan makanan tetapi tidak terdaftar, atau sebaliknya; (3) orang yang terdaftar tetapi tidak menerima bantuan; dan (4) ketidakmampuan menerima bantuan.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) juga mencatat adanya isu dengan potensi penyalahgunaan dana bantuan sosial pada lima poin utama: (1) pendataan serampangan; (2) penerima bantuan yang dituju tidak benar; (3) dana bantuan digelapkan; (4) jumlah bantuan yang diterima tidak sesuai; (5) pungutan ilegal yang dilakukan oleh distributor bantuan yang tidak jujur; dan (6) anggaran bantuan dibiayai ganda (APBN/APBDesa/APBDesa).
Sejumlah daerah yang sebelumnya pernah mengalami bencana alam, yang salah satunya masyarakat Aceh yang menjadi korban tsunami di kepulauan Nias, Donggala, dan Sukabumi serta korban gempa bumi di Lombok, melihat adanya insiden korupsi dalam uang bencana terungkap. Dalam 10 tahun sebelumnya, setidaknya 87 insiden korupsi uang bencana telah diselidiki oleh polisi, jaksa, atau KPK, menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW). Tahapan tanggap darurat, rehabilitasi, dan pemulihan/rekonstruksi di lokasi bencana adalah tempat korupsi dalam uang bencana paling mungkin terjadi. Sebesar ratusan miliar rupiah, jumlah kerugian negara yang disebabkan oleh korupsi dalam pendanaan bencana juga cukup besar.
Kemudian tak lama setelah status tersangka ditetapkan, Juliari mendatangi Gedung KPK dan menyerahkan diri. Hanya sembilan hari berlalu sejak KPK mengidentifikasi mantan Menteri KKP Edhy Prabowo sebagai tersangka sebelum mengidentifikasi Juliari sebagai tersangka. Penangkapan dua menteri terakhir, Edhy Prabowo dan Juliari P. Batubara, merupakan "tamparan" bagi Kabinet Indonesia Maju, terutama mengingat mereka baru saja dilantik.
Banyak orang percaya bahwa Presiden Jokowi perlu "reshuffle" sebagai akibat dari keterlibatan dua menteri tersebut dalam Kabinet Indonesia Maju dalam kasus dugaan korupsi, menurut Hermanto Rohman MPA Universitas Jember. Hermanto mengingatkan Presiden Jokowi bahwa saat ini adalah waktu yang ideal untuk menilai efektivitas menteri-menteri Kabinet Indonesia Maju dalam rangka meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan.
Lebih lanjut, UU Nomor 2 Tahun 2020 yang menerapkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menyatakan bahwa ancaman COVID-19 merupakan ancaman yang membahayakan sistem keuangan negara dan mengancam perekonomian nasional, sehingga perlu adanya kebijakan "luar biasa", khususnya di bidang keuangan publik. Salah satu inisiatif tersebut adalah program bansos COVID-19 pemerintah yang notabene rawan disalahgunakan, meski Presiden Jokowi justru telah mengingatkan masyarakat untuk tidak main-main saat menangani COVID-19.
Selain itu, UU Nomor 2 Tahun 2020 yang mengkodifikasikan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menyatakan bahwa ancaman yang ditimbulkan oleh COVID-19 menimbulkan bahaya bagi sistem keuangan negara dan perekonomian bangsa, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah "luar biasa", khususnya di bidang keuangan negara. Salah satu aturan tersebut adalah kebijakan bansos COVID-19 pemerintah yang rawan disalahgunakan. Namun, Presiden Jokowi telah mengimbau semua pihak untuk tidak mengambil risiko saat menangani COVID-19.
Seperti yang disampaikan oleh I Wayan Titib Sulaksana, pakar hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, yang mengaku prihatin dengan penunjukan dua menteri yang diduga korupsi, khususnya korupsi yang melibatkan dana bansos untuk masyarakat di masa pandemi COVID-19. Alhasil, Wayan mencatat, UU Nomor 20 Tahun 2002 yang diubah dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor memiliki konsekuensi pidana yang paling adil bagi otoritas negara terkait hukuman mati. Namun, penangkapan kedua menteri itu juga mampu mengembalikan nama baik lembaga antikorupsi yang sempat diragukan menyusul modifikasi UU KPK, meski mencoreng kabinet Jokowi Ma'ruf.
Tidak memungkinkan bagi pemerintah untuk secara signifikan mengurangi atau menekan kasus korupsi meskipun telah banyak berusaha, termasuk disahkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 bersamaan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan pembentukan lembaga independen yang khusus menangani korupsi yang disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya frekuensi kasus korupsi yang mempengaruhi setiap bidang kehidupan masyarakat. Akibatnya, negara, dalam hal ini pemerintah, harus mempertimbangkan langkah-langkah efektif untuk memerangi kasus korupsi yang muncul di masyarakat.
Dengan memeriksa alasan mendasar mengapa individu terlibat dalam kegiatan korupsi yaitu, seperti tekanan ekonomi, gaya hidup, penyalahgunaan kekuasaan, atau karakter atau perilaku buruk pada orang, pemerintah harus mempertimbangkan tindakan atau tindakan pencegahan sebelum perilaku korupsi terus berkembang. Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) dan organisasi lain yang menangani tindak pidana korupsi dapat mengambil langkah-langkah pencegahan atau melakukan upaya untuk mengurangi tindak pidana pelanggaran yang terjadi di masyarakat dengan memahami motivasi mendasar dari mereka yang melakukan korupsi pemerintah.
Upaya individu masyarakat untuk menghindari perilaku korupsi ini biasanya dimulai dengan membangun karakter moral yang sangat baik berdasarkan standar yang diterima termasuk norma agama, norma hukum, norma adat, dan norma kesusilaan atau kebiasaan. Dari hal tersebut diharapkan bahwa pengembangan karakteristik manusia yang unik yang menempatkan prioritas pada cita-cita tinggi dan standar yang diterima akan dapat berfungsi sebagai pencegah perilaku tidak terhormat seperti korupsi.
Pembentukan karakter manusia sangat penting, terutama bagi pejabat di semua tingkat pemerintahan, mulai dari presiden dan menterinya hingga pemerintah terkecil seperti desa. Tata kelola desa merupakan cerminan dari pembangunan suatu bangsa. Pembangunan desa menjadi barometer bagi kemajuan suatu bangsa secara utuh. Tata kelola pemerintahan desa menjadi masalah utama bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya anggaran belanja negara (APBN) yang telah disalurkan pemerintah federal sebagai Dana Desa (DD). Selain itu, sebagai tanda keterlibatan negara dalam memberikan asuransi jiwa bagi masyarakat kurang mampu yang terdampak pandemi Covid 19 di desa-desa, banyak stimulan berupa Bantuan Sosial (Bansos), baik berupa uang maupun pangan berupa Sembilan Bahan Pokok (Sembako).
Pejabat di pemerintahan desa dan orang lain yang terlibat dalam pengiriman bantuan sosial sering menyalahgunakan niat pemerintah. Pejabat pemerintah desa yang tidak dapat dipercaya dan pihak terkait sering memanfaatkan kegagalan pemerintah desa dalam memberikan informasi tentang data penerima manfaat yang diperoleh dari pusat melalui Kementerian Sosial dan data yang disampaikan oleh desa itu sendiri dan pihak terkait dalam menentukan masyarakat sebagai penerima bantuan sosial. Selain itu, karena tidak ada mekanisme pengawasan dari pemerintah federal, otoritas penegak hukum, pemerintah daerah, masyarakat, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), orang-orang yang tidak bertanggung jawab bebas menyalahgunakan peran, tanggung jawab, dan posisi mereka untuk mencuri uang dari program Bantuan Sosial.
Baik penyebab internal maupun eksternal dapat berkontribusi pada korupsi dalam pembayaran bantuan sosial. Variabel internal, atau elemen yang berasal dari dalam diri orang atau aktor, dapat mencakup sifat atau karakter buruk pelaku, kurangnya pendidikan, atau cara hidup hedonistik mereka. Data yang tidak akurat, kurangnya sosialisasi tentang aturan bansos, kurangnya pengawasan, campur tangan dari pejabat pemerintah daerah, dan lemahnya sanksi pidana terhadap mereka yang mencuri dari dana bantuan sosial adalah contoh faktor eksternal, atau faktor yang berasal dari sumber selain pelaku itu sendiri.
Oleh karena itu, jelas bahwa korupsi pada dasarnya adalah penyakit jangka panjang yang merendahkan moral administrator negara dan berdampak langsung pada proses kemiskinan dan/atau kesulitan membebaskan penduduk dari rantai kemiskinan. Mengapa tidak? Pejabat dan mitranya (pengusaha dan sindikat) terbiasa melanggar hukum dan mengantongi sebagian dana publik yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Karena itu, perilaku korupsi sekarang dianggap sebagai musuh global. Keinginan masyarakat untuk mengakhiri korupsi yang endemik dalam jaringan pemimpin politik, birokrasi, dan pengusaha di era Orde Baru menjadi salah satu faktor yang mendukung gerakan reformasi di Indonesia dan negara lainnya. Artinya, di era reformasi, semua pihak yang memiliki mandat langsung maupun tidak langsung dari rakyat sebagai penyelenggara negara memiliki kewajiban mendasar untuk memberantas virus penyakit kronis, segera menunjukkan keutamaan pemerintahan yang bersih. Hal ini dicapai melalui implementasi kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan standar hidup sejumlah besar orang.
Namun, tujuan reformasi dan harapan publik masih sangat menantang untuk dicapai. Ketulusan menentukan bahwa korupsi sekarang jauh lebih buruk daripada di bawah pemerintahan Soeharto. Sebagai akibat alamiah dari keberadaan pemerintah daerah yang begitu kuat dalam mengelola birokrasi dan anggaran di daerah, masa desentralisasi dan otonomi daerah seolah turut andil meluasnya dan meletusnya praktik korupsi di berbagai daerah. Jelas dari penjelasan studi kasus di atas bahwa korupsi di Indonesia memiliki konsekuensi politik dan ekonomi, dan bahwa langkah-langkah dapat diambil untuk mengurangi perilaku korupsi ini.
Melalui pengawasan lembaga dan masyarakat secara aktif dan terpadu, dilakukan upaya pencegahan tindak pidana korupsi uang bantuan sosial. Aparat penegak hukum, seperti KPK, BPKP, dan aparat kepolisian, yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan langkah-langkah pencegahan korupsi dana bantuan sosial, aktif bekerja mencegah tindak pidana korupsi dalam dana bantuan sosial dalam pengawasan kelembagaan. Selain itu, upaya pemantauan masyarakat yang aktif dan terpadu di sini mengacu pada kerja sama antara semua aspek negara, termasuk pemerintah, lembaga Negara, LSM, dan masyarakat, untuk mencegah tindak pidana korupsi dalam dana bantuan sosial. Masyarakat juga perlu melakukan pemantauan secara aktif dan berkala sesuai dengan jadwal penerimaan bantuan sosial.
Perang melawan korupsi tampaknya tidak lebih dari slogan politik, seruan dukungan yang menggugah. Untuk memantau dan membuat keputusan politik untuk menghentikan penyebaran kanker korupsi yang meluas di Indonesia, diperlukan kecerdasan masyarakat sipil. Meskipun upaya untuk membatasi korupsi diperlukan, itu tidak membuat penghapusan korupsi menjadi lebih sederhana.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun