Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Propaganda, Global Warming, Kearifan Lokal

20 Februari 2012   05:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:26 583 0
Akhir-akhir ini sering kali terdengar perbincangan mengenai isu-isu global. Mulai dari pemanasan global, deforesterisasi, bencana alam, dan perubahan iklim. Perbincangan seperti ini mungkin belum banyak terdengar pada tahun 70an-80an. Ada beberapa penyebab ramainya isu global yang baru saat ini (dua sampai tiga dekade terakhir) muncul. Selain adanya kesadaran manusia akan lingkungan yang semakin rusak, media merupakan faktor utama yang berperan meyebarkan propaganda isu-isu global.

Hadirnya media-media (barat) yang dengan gencarnya menjejalkan informasi-informasi terkait isu-isu global, contohnya perubahan iklim (climate change) berhasil menyadarkan jutaan manusia untuk sadar akan kerusakan yang ditimbulkan terhadap lingkungan mereka. Mayoritas manusia abad ini menyambut baik informasi-informasi tersebut. Memang saat ini dirasakan seolah-olah terjadi perubahan iklim yang sangat drastis. Masyarakat awam pun telah mengakui isu tersebut (isu iklim). Dilapangan terdengar keluhan-keluhan petani yang bingung dengan musim tanam, musim hujan dan kemarau yang tidak sesuai jadwal, bencana alam silih berganti, semakin menguatkan  keyakinan akan perubahan iklim yang terjadi. Kemudian berangsur-angsur manusia memulai aksi untuk mengurangi polusi, membatasi penggunaan bahan bakar minyak, menanam pohon disana-sini, melarang penebangan hutan, dan yang paling kontroversial adalah Carbon trading. Dapat dikatakan bahwa dramatisasi isu perubahan iklim oleh media (khususnya barat)  berhasil.

Mengapa dikatakan dramatisasi?, karena setelah dikaji ulang oleh ahli-ahli dibidang cuaca sebenarnya perubahan iklim yang terjadi dibumi tidak sedramatis yang diberitakan media. Ada sesuatu yang janggal, isu global pertama kali dicetuskan oleh barat (eropa dan AS) padahal mereka adalah penyumbang terbesar emisi karbon di atmosfer bumi, karena rata-rata Negara eropa adalah Negara industri. Dari sinilah muncul ide carbon trading. Dengan carbon trading, Negara-negara industri maju membayar sejumlah uang kepada negara-negara yang memiliki potensi alam untuk melestarikannya. Sejumlah uang tersebut juga sebagai konsekuensi emisi yang mereka keluarkan.

Kebijakan carbon trading sangat sarat kepentingan. Bagaimana tidak, dengan hanya kompensasi uang, negara-negara industri tetap  seenaknya mengeruk kekayaan alam dan mengotori lingkungan serta tidak membiarkan negara-negara berkembang membangun industry besar dengan membatasi pemanfaatan alamnya. Seolah-olah barat dengan egois memajukan dirinya dan melarang negara lain untuk sama majunya seperti mereka. Untuk itu perlu dikritisi setiap kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan yang dating dari barat. Khususnya Indonesiaperlu mengkritisi hal tersebut.

Saat  ini mayoritas kebijakan peletarian alam meliputi konservasi hutan, pembukaan lahan, pembuatan taman nasional dan yang lainnya masih mengacu pada barat. Ini perlu dievaluasi karena belum tentu sesuai dengan kebutuhan nasional. Contoh yang baik adalah negara Jepang. Di jepang tidak dikenal istilah taman nasional. Mereka sama sekali tidak mengacu pada barat mengenai kebijakan pelestarian lingkungan. Mereka sangat percaya diri dengan cara mereka. Indonesia perlu mencontohnya. Di Indonesia terkenal istilah local wisdom atau kearifan lokal.  Solusi yang ditawarkan untuk pelestarian alam di Indonesia agar terhindar dari kepentinga kapitalis barat adalah dengan menggunakan kearifan lokal. Memang saat ini kearifan lokal belum dipercaya secara ilmiah. Maka harus ada kajian ilmiah terhadap kearifan local disetiap daerah sehingga dapat dibuat secara sistematis sehingga dapa dipercaya oleh semua kalangan.

hasil dialog tokoh dengan Dr. Arif  Satria. Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun