Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Mengajak Anak Berfikir Logis

3 Oktober 2012   05:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:19 429 2

Saya mengenal pelajaran logika pertama kali di SMA. Bidang pelajarannya, matematika. Saat itu perdebatan kecil muncul sewaktu pelajaran, karena logika yang diajarkan tidak sesuai dengan realita. Logika yang kenalkan saat itu “jika-maka”. Saya pertama kali mendengar istilah negasi, yang bermakna lawan pernyataan. Ada juga istilah konjungsi, disjungsi, implikasi dan istilah lainnya. Masing-masing mempunyai simbol yang sekaligus penggunaan yang berlainan pula.

Guru kami memberi contoh :

Jika Adi naik kelas maka akan dibelikan sepeda.

Ada 4 buah kemungkinan yang terjadi, bila memakai logika matematika

Jika Adi naik kelas maka akan dibelikan sepeda. Pernyataan benar

Jika Adi tidak naik kelas maka tidak akan dibelikan sepeda. Pernyataan salah

Jika Adi naik kelas maka tidak dibelikan sepeda. Pernyataan salah

Jika Adi tidak naik kelas maka tidak dibelikan sepeda. Pernyataan Benar.

Inilah yang memicu perdebatan kami. Sebab ada teman yang mengatakan walaupun Adi tidak naik kelas, tetapi kalau dalam kenyataan dibelikan sepeda, tidak menyalahi aturan. Akhirnya, kalau cuma menang-menangan hanya yang bersuara lantang saja yang jawara.

Logika tetaplah logika. Sebagaimana matematika, kebenarannya bersifat tertutup. Aturan yang dipakai dalam matematika telah teruji secara secara sain dan bersifat universal.

Logika muncul pertama kali dari Yunani Kuno ( 3 -2 SM). Kalangan filsafat menyebutkan Pra Yunani. Studi ini terus berlanjut sampai pada masa keemasan Islam Andalusia ( 8 – 11 M), menjalar ke kawasan Eropa (15 – 18 M), dan akhirnya sampai pada sistem logika sekarang ini.

Di masa Yunani, pengetahuan yang berkembang didasarkan pada pola pikir yang rasional. Pikiran manusia menjadi sentral untuk mengembangkan peradaban. Namun bukan berarti penganut dogmatisme mati. Pusat pemerintahan juga mendukung aktifitas untuk mengembangkan budaya pikir.

Sifat empirik eksperimental lebih kental mendominasi  perkembangan pemikiran pada masa Islam Andalusia. Kekhalifahan sangat mendukung perkembangan pengetahuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Bahkan Ilmuwan muslim, mendapat tempat dan kedudukan terhormat dihadapan khalifah.

Pengetahuan yang berbasis empiris eksperimental inilah sebagai pondasi dasar  berkembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Segala aktifitas umat manusia menjadi lebih mudah, karena ditopang dengan teknologi.

Sebagaimana sifat yang dimiliki manusia, lalai, kajayaan Islam Andalusiapun surut. Ilmu pengetahuan berpindah ke daratan Eropa (baca : barat). Mulailah revolusi Industri menggilan ke seluruh aspek kehidupan. Eropa, hingga kini masih memegang kendali bukan hanya teknologi, tapi merambah ke ekonomi, keamanan dan kebudayaan. Namun kehadiran iptek yang dikembangkan di Eropa disertai dengan sifat : materialisme, hedonisme, individualism dan semacamnya.

Implikasi yang ditimbulkan dengan memanfaatkan teknologi yang datang dari barat, berakibat pada pola pikir yang berkembang di masyarakat. Nilai yang berkembang berbenturan dengan nilai yang dianut oleh masyarakat, yang lebih bersifat humanisme. Bila pola ini dibiarkan, tanpa disaring, akan membahayakan generasi muda.

Apabila logika yang dibangun dengan pondasi berfikir bebas dan mengandalkan otak semata, yang muncul di kalangan pelajar adalah pembenaran segala cara. Sehingga muncul istilah pukul dulu, urusan belakangan. Tawuran yang sekarang sedang hangat dibicarakan, akibat dari individualisme yang kuat. Pola pikir ini menafikan orang lain. Aku dan kelompokku menjadi pilihan satu-satunya. Gang ini tidak mengenal kata kita, kami.

Namun bila pondasi dasar ilmu pengetahuan dan teknologi berdampingan dengan agama atau nilai luhur, akan melahirkan generasi yang seimbang. Cekatan dalam berfikir dan kuat dalam cerdas dalam bermasyarakat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun