Kecamatan Dlingo bisa dicapai kurang lebih 30 menit dengan kendaraan bermotor dari Kota Yogyakarta, atau 45 menit dari Kota Bantul sendiri. Sebab bila dari kota Bantul arahnya memutar, baik yang melewati arah utara maupun selatan (lewat Imogiri). Dengan demikian Dlingo adalah kecamatan yang termasuk sulit untuk berkomunikasi dengan tatap muka. Pegawai kecamatan ataupun kalurahan akan mengalami berlipat ganda (secara waktu) bila harus menyelesaikan administrasi dengan pusat pemerintahan kabupaten.
Sebagaimana biasanya, penyelenggaraan kejuaraan tingkat kabupaten, sepengetahuan saya dilaksanakan di sebuah perkantoran atau sekolah, mengingat membutuhkan ruangan yang cukup banyak. Untuk kejuaraan STQ saja paling tidak membutuhkan 8 ruang untuk cabang perlombaan dan beberapa ruang penunjang. Mengapa di desa Muntuk berani melaksanakan even yang cukup besar? Sementara fasilitasnya sangat terbatas?
Panitia berani menyelenggarakan lomba STQ ini, karena pemerintah kecamatan dan kalurahan setempat ingin membuktikan bahwa masyarakat di desa Muntuk siap untuk menjadi tuan rumah dengan segala resikonya. Masyarakat setempat ingin mendapat pengakuan dari para peserta dan pengunjung serta daerah lain, bahwa sekalipun daerahnya di pegunungan, namuntetap mampu melaksanakan hajat STQ yang diselenggarakan setiap 4 tahun. (2 tahun STQ, 2 tahun MTQ-Musabaqah Tilawatil Quran).
Seberapa besar kantor kecamatan, kantor kelurahan? Seberapa luas perkantoran di tingkat desa? Ternyata, dengan keterbatasan tempat tidak menyurutkan semangat dan menyajikan yang terbaik untuk orang lain. Cabang lomba yang dipertandingkan bertempat di rumah-rumah penduduk. Itupun hanya sebatas di ruang depan. Jangan heran bila ada rumah yang hanya berlantai semen biasa, tanpa keramik. Meja dan kursi untuk yuri dan peserta juga dari perabot rumah setempat. Pengunjung disediakan tikar, itupun diluar ruangan. Sound system pembaca tahu sendirilah.
Jarak parkir umum dengan tempat penyelenggaraan kira-kira300 meter jalannya naik dan berkelok. Saya lihat peserta dan official yang tidak terbiasa jalan, wajahnya nampak kusut dan sedikit cemberut. Disisi lain saya juga melihat sepanjang jalan menuju lokasi telah berjajar ibu-ibu kelompok PKK desa setempat menyambut setiap tamu dan tersenyum menyapa setiap orang yang lewat. Senyum khas pedesaan. Senyum yang tulus, tidak dibuat-buat.
Peserta diantar dari parkir umum ke lokasi dengan iringan drum band pelajar SMP, rampak rebana, iringan barisan dari pelajar SD. Intinya tamu dimuliakan.
Mungkin kalau dibanding dengan daerah kabupaten lain, penyelenggaraan seperti ini sudah biasa. Apalagi untuk kabupaten di luar jawa. Tetapi menjadi tidak biasa kalau di daerah Istimewa Yogyakarta. Jarak antar kabupaten yang relatif pendek, dan ketersediaan kantor atau sekolah juga telah representatif.