Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Belajar Kitab Biru

12 September 2014   04:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:56 133 0
Setiap selasa malam, tepatnya malam rabu saban 2 minggu sekali, di kampungku belajar membaca kitab biru. Sejenis kita kuning, yang dikoordinir takmir masjid, Memakai kitab biru, karena sampulnya warna biru. Kertasnya hvs warna putih. Tidak lagi kuning selayaknya kitab kuning. Hurufnya bahasa arab meskipun bahasanya jawa.
Pengajian ini diikuti mayoritas bapak-bapak yang bahasa jawa halusnya masih halus. Berbeda jauh dengan generasiku yang bahasa jawanya masih compang camping sekenanya. Ngoko lagian masih kasar. Tapi kenapa komunikatif banget? Itulah bahasa sebagaikomunikasi dan bahasa sebagai fungsi status sosial.

Belum ada target kapan mau selesai. Meskipun sebenarnya bisa direncanakan. Misalnya tiap malam 3 atau 4 halaman. Satu buku ada 200 an halaman. Kalau konsisten berarti 50 kali pertemuan usai. Berarti butuh 25 bulan atau setara 2 tahun. Peserta bisa diwisuda.

2 tahun tergolong pendek seperguruan dengan D2 kalau masih ada. Jaman dulu, D2 sudah boleh mengajar setingkat SMP atau SD? Artinya ilmu yang didapat dengan membaca kitab biru, mestinya sudah boleh mengajar untuk anak seumuran SD atau SMP. Persoalannya apakah ilmu tersebut masih layak diajarkan untuk masa sekarang? Sementara tafsir al Misbah, atau tafsir tematik lainnya sudah gampang diperoleh.

Kitab dipelajari tentu untuk mencari solusi agar kehidupan ini menjadi rahmatan lil alamin. Artinya perkembangan masyarakat yang tidak bisa dipungkiri ditandai dengan laju teknologi, tentu menghasilkan masyarakat yang dinamis. Bukan statis. Kalau masyarakat mengalami laju budaya, laju teknologi, tentu kitabnyapun mestinya mengalami perkembangan. Tidak stagnan. Kitab biru yang saya dan kawan-kawan pelajari tiap 2 minggu sekali merupakan buku lama. Pakai banget. Karenannya mestinya bukan kitab itu yang dibahas. Melainkan tafsir modern yang mampu menjawab perkembangan jaman.

Persoalan lain yang sempat saya catat tentang kitab biru tersebut, adalah bahasa dan sumber referensi.
Bahasa yang dipakai merupakan bahasa jawa semi halus. Bahasa yang menurut hemat saya bukan bahasa komunikasi di kampungku. Tentu ada yang merasa kesulitan dalam memahami kandungan kitab tersebut. Sebab bahasa sangat mempengaruhi pemahaman suatu buku.

Referensi yang dipakai juga tergolong lawas. Bagi yang mendalami ilmu tafsir, budaya, sosial kemasyarakatan merupakan harta yang berharga. Sebab di kalangan penggila kajian, referensi merupakan sumber utamadiakuinya sebuah karya ilmiah. Referensi hendaknya merupakan salah satu sumber sebuah karya. Semakin banyak referensi, semakin baik karya ilmiahnya.

Sebagai warga yang ingin disebut baik, toleransi harus dikedepankan. Meskipun tidak paham secara keseluruhan, baik bahasa, apalagi isinya, saya sempatkan untuk mengikuti kajian kitab biru. Toh masih ada kacang godog, ketela rebus, pisang dan penganan lainnya khas desa. Hidup di desa memang nyaman penuh kekeluargaan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun