Curhat seorang produser maupun filmmaker yang filmnya tidak laku di bioskop biasanya adalah “Penonton Indonesia itu aneh, dibikinin film bagus mereka gak pada dateng. Sekalinya ada tema setan-setanan, komedi dan seks mereka bergerombol masuk bioskop”.
Lantas yang kemudian terjadi adalah, produser lalu menyalahkan penonton Indonesia yang tidak cerdas, hanya mau menonton film yang ecek-ecek, pasaran dan tidak bermutu. Sebelum lebih jauh mari kita coba untuk melihat statistik penonton 10 besar fim Indonesia 2012 di judul-judul bawah ini :
- The Raid --- 1.836.311 penonton
- Negeri 5 Menara --- 765.425 penonton
- Nenek Gayung --- 427.558 penonton
- Rumah Bekas Kuburan --- 279.144 penonton
- Pulau Hantu 3 --- 241.375 penonton
- Love Is U --- 220.678 penonton
- BrokenHearts --- 189.394 penonton
- Malaikat Tanpa Sayap --- 161.682 penonton
- Hi5teria --- 148.074 penonton
- Santet Kuntilanak --- 133.941 penonton
Data diambil dari filmindonesia.or.id
Yang sangat disayangkan untuk sebuah film yang digaungkan dengan award terlebih dulu, yang tidak masuk 10 besar diatas adalah Modus Anomali dengan 106.448 penonton (data diambil minggu ke-2 bulan Mei 2012). Lantas apakah The Raid dengan 1,8 Juta penontonnya bisa dikatakan sukses secara ekonomi? Bisa saja mungkin. Saya sengaja tidak berlanjut untuk mencari data pelengkap seperti budget produksi, promosi, marketing effortnya, dll. Karena coverage film ini masih meluas, 2 minggu lalu film ini mulai ditayangkan di Inggris dengan respon penonton yang baik. Jadi tren positif film ini masih akan meningkat.
Mari kita bahas film-film dibawahnya saja. Dan karena saya sendiri bukan film expertise dan tidak pernah belajar film secara resmi,jadi tulisan ini akan lebih banyak dipandang dari kacamata seorang mantan pekerja agensi iklan yang kini tetap menjadi Desainer, Filmmaker amatir, Branding Interested dan seorang Pengajar Komunikasi Visual.
Negeri 5 Menara, film yang diangkat dari cerita novel yang cukup terkenal. Novel ini berhasil menjual 170.000 eksemplar dalam 2 tahun, yang juga disebut-sebut sebagai salah satu buku dengan rekor penjualan terbanyak Gramedia dalam 37 tahun.
Kemudian mari kita lihat data dan info singkat Nenek Gayung. Jika dari sisi saya pribadi, saya baru mendengar urban legend ini (kalau bisa disebut seperti itu) tidak terlalu lama. Cerita ini disampaikan seseorang dalam sebuah forum populer di Indonesia, dalam awal-awal tahun ini tentang kejadian mistis yang dia alami di Jakarta. Mendapat respon yang baik di viewer rating dan feedback yang bermacam-macam dari pembaca yang mengalami kejadian serupa di forum itu, menyebabkan isu tentang si Nenek itu terus ngetop. Produser dengan jeli melihat fenomena ini, lantas merekamnya dalam sebuah film. Hasilnya 400 ribuan penonton.
Well, cant you read my mind? 2 tahun = 700ribu penonton versus 3 bulan = 400ribu penonton. Jika saya menempatkan novel Negeri 5 Menara itu menjadi salah satu marketing effort film ini, maka dibutuhkan waktu hingga 2 tahun untuk menancapkan brand tersebut sehingga ada dalam top of mind pembaca. Yang kemudian terkonversi jadi penonton, dan akhirnya mau membeli tiket dan menonton. Sebaliknya, jika cerita tentang nenek yang suka mandi ini ternyata adalah sebuah issue blowing dari sang produser, dan merupakan proses dari marketing mereka, selamat! Dari kacamata bisnis, ini merupakan grafik pertumbuhan yang tajam dan signifikan terlebih lagi singkat!
Namun analisa diatas bisa saja tidak adil, kenapa? Dua film dengan dua genre berbeda, dengan Segmen Target dan Positioning yang berbeda, dengan karakter penonton yang berbeda pula, tidak bisa dengan adil disejajarkan. Ini seperti membandingkan dua produk yang berbeda. Hanya saja uniknya dua produk berbeda dengan karakter penonton yang berda pula ini dijual dengan harga yang sama. Harga yang sama ini adalah tiket bioskop. Pernahkah kita melihat film dengan budget tinggi dijual dengan harga tiket yang lebih mahal? Pernahkah kita melihat perbedaan lini film dan film lain, seperti halnya kita melihat perbedaan lini sabun cuci Rinso dan Surf dari Unilever kemudian So Klin dan Daia dari Wings. Yang ada saat ini adalah genre bioskop, perbedaan kota bahkan perbedaan lokasi dalam satu kota dijual dalam harga yang bervariatif.
Satu-satunya pembeda dalam setiap film ini adalah nilai tambah mereka. Apalagi jika menyangkut mass consumption, film tidak lagi merupakan karya seni namun juga produk industri. Karena film adalah produk dan bioskop adalah gerai mereka, maka sudah semestinya film juga harus bisa melahirkan keputusan menonton bahkan sebelum film tersebut premiere.
Ini sebuah proses dasar perilaku konsumen dimana diawali dengan Menganalisa kebutuhan, Menilai sumber dan referensi, Menetapkan tujuan, Mengidentifikasi alternatif, Keputusan membeli dan terakhir Perilaku setelah membeli. Ada 4 perilaku pembeli yang harus dirancang dan dikawal oleh seorang produser film sebelum akhirnya membeli, dan akhirnya perilaku setelah membeli/menonton haruslah positif sehingga melahirkan kembali penonton-penonton baru.
Itu kenapa film haruslah seperti sabun di rak-rak supermarket, dan jangan seperti permen-permen di dekat kasir. Produk-produk di rak dalam itu adalah sebuah situasi peperangan antar merk dalam tempat yang berdekatan, mereka yang unggul adalah produk yang sudah ada dalam top of mind calon konsumen sebelumnya. Mereka yang dari rumah sudah tahu ingin membeli brand apa, tidak akan terpengaruh dengan alternatif brand lainnya . Sedangkan permen di rak dekat kasir adalah produk yang mendorong impulsive buying, “kayaknya lucu ya coklat ini”, “oh iya baterai senter di rumah hampir abis”, “permen mint penting kayaknya ngilangin bau mulut pas rapat ama klien”....dan lain sebagainya.
Bioskop itu supermarket, dan film itu produknya. Bioskop juga bukan rak permen di dekat kasir yang mendorong pembelian spontan, tapi adalah rak di deretan dalam yang sudah melahirkan keputusan penonton jauh-jauh sebelum mereka datang kesana.
Jadi jika ada sebuah film yang tidak laris, jawabannya sangat sederhana sekali. It’s not on their mind! :)