Sejak awal tahun ini, PSSI diguncang oleh insan sepakbola nasional terkait tuntutan revolusi di PSSI setelah Nurdin Halid dan antek-anteknya gagal total dalam memimpin PSSI selama dua periode. Prestasi timnas bukannya meningkat, justru menurun. Kompetisi amburadul dan sistem pendanaan serta jadwal yang carut marut membuat nyata bahwa apa yang telah diperbuat Nurdin cs tidak sesuai harapan masyarakat tanah air. Ngototnya Nurdin dalam pencalonan kembali menjadi ketua umum PSSI periode 2011-2015 didemo besar-besaran oleh aliansi suporter dari berbagai penjuru kota di Indonesia. Terlebih lagi, asosiasi internasional FIFA telah beberapa kali memberikan teguran kepada PSSI. Pun juga dengan pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga dan juga Komite Olahraga Nasional Indonesia.
Media cetak maupun elektronik, jejaring sosial, unjuk rasa dan wakil rakyat pun telah ramai-ramai meminta Nurdin Halid untuk mundur dan tidak mencalonkan lagi. Namun, bukan ‘legowo’ yang diperlihatkan mantan narapidana kasus korupsi ini, melainkan sikap egois dan keras kepala dengan tetap keukeuh dengan sikapnya-memimpin organisasi PSSI yang sudah tidak sebersih dulu.
Ke-ngotot-an Nurdin Halid jelas membuat amarah yang semakin mendalam bagi semua elemen masyarakat Indonesia. Tidak hanya penikmat sepakbola Indonesia saja, bahkan para pedagang, petani, PNS, Polri, TNI, guru, pejabat dan selebritis yang jauh dari ranah sepakbola ikut memberikan antipati terhadap Nurdin Halid. Apalagi perseteruannya dengan Menegpora Andi Alfian Malarangeng semakin menyudutkan posisinya.
Dari kalimat terakhir inilah, kini dapat diketahui dengan gamblang seolah-olah PSSI sudah tidak lagi masalah sepakbola dan perangkatnya. Sepakbola sudah tidak lagi hanya tentang dua puluh dua pemain merebut satu bola di lapangan. Sepakbola sudah tidak lagi menjadi hiburan yang positif bagi masyarakat. Apalagi menyangkut prestasinya.
Nurdin dan Golkar