Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Tanjung Pakis - My Dream My Lost Angel

25 Oktober 2023   17:14 Diperbarui: 25 Oktober 2023   17:17 428 0

Nara duduk sendiri menikmati malam yang cerah, angin malam yang semilir membelai wajahnya yang sendu, dipetiknya gitar ditangannya dengan berlahan, keluarlah nada lembut bernuansa klasik yang seolah jeritan dari hatinya yang pilu.
“Nara, makan dulu, Nak, Mamah sudah menyiapkan makan malam, Mamah tunggu di meja makan ya.” ujar Monik dengan nada lembut, Ia tahu betul apa yang dirasakan oleh Anak laki-lakinya itu.
“Sebentar lagi, Mah, Nara belum lapar.” jawab Nara tanpa menoleh ke Ibunya.

Monik menghampiri Anaknya, dibelainya rambut nara dengan lembut.
“Percayalah, Nak, apa yang Orang Tuamu inginkan, itu yang akan menjadi hal baik buat kamu.” ucapnya mencoba meyakinkan anaknya.
“Iya, sekalipun Nara harus mengorbankan cita-cita Nara. Dari dulu memang Ayah tak pernah mengerti Nara, Tak pernah mengapresiasi apa yang telah nara raih.” jawab Nara, suaranya nyaris tak terdengar.
“Nak, tak ada orang tua yang tak merasa bangga dengan anaknya, terlebih Ayah dan Ibumu, Kami sangat bangga kepadamu, Nak.”

“Mah, mana bukti kalau Ayah bangga dengan Nara Mah! Mana?” suara Nara makin meninggi.
Monik menghela nafas. Sebagai seorang ibu, Monik faham betul apa yang menjadi keinginan anaknya. Ia sangat mengerti, anaknya juga berhak meraih apa yang menjadi cita-citanya, Monik sudah melihat bakat itu dari Nara masih SD. Ia sangat berbakat di bidang sastra. Saat usianya masih sembilan tahun, Nara sudah menjuarai lomba puisi di tingkat kabupaten, itulah awal dari bakat Nara dibidang seni khususnya sastra mulai terlihat. Bahkan di usianya yang masih 12 tahun, saat itu Nara sudah memenangkan lomba musikalisasi puisi tingkat provinsi. Diusianya yang masih kanak-kanak, Ia sudah mampu menyusun notasi menjadi sebuah lagu. Jika dihitung sampai sekarang, hampir tak terhitung lagi prestasi Nara dibidang seni.

Bakat seninya diturunkan dari Ibunya, Dulu, sebelum menikah dengan Keenan, Monik penulis novel, dan juga penulis lagu yang handal, rupanya darah seninya menurun keanaknya. Tapi sayang, karena suatu hal, Keenan melarang keras anaknya menuruni bakat Ibunya. Betapa segalanya masih melekat jelas di ingatan Keenan, gara-gara novel itu, gara-gara lagu itu, Keenan nyaris kehilangan Monika, wanita yang disayanginya dengan segenap jiwa dan raga. Malapetaka bagi Keenan, rupanya darah Seni Monika menurun juga keanak laki-lakinya. Nara Ferdian Putra, satu-satunya anak laki-laki yang diharapkannya, tak mungkin dibiarkannya menjadi seorang penulis novel, atau penulis lagu. Bagi Keenan, seorang penulis pekerjaannya hanya menghayal, dan tak mungkin, Keenan membiarkan anaknya menjadi seseorang yang kerjaannya tukang menghayal. Maka Setelah Nara lulus SMA, Keenan langsung mendaftarkan anaknya di fakultas ekonomi, di sebuah universitas ternama di Semarang. Nara tak mungkin memberontak pada kemauan ayahnya, maka dengan berat hati, terpaksa Ia harus memendam dalam-dalam untuk bisa kuliah di fakultas sastra. Dan memang Nara anak yang cerdas, loloslah Ia mendaftar di fakultas ekonomi sesuai harapan Ayahnya.
Kendati Keenan tahu apa yang dimaui anaknya, tapi Ia tetap bisa tersenyum bangga pada Nara.
“Ayah yakin, Mah, nanti Nara juga akan menikmati kuliahnya, walaupun awalnya Ia menganggap aku memaksakan kehendaku. Anak seorang Keenan kok mau jadi penghayal, Anakku, harus jadi seorang bisnisman yang handal.” ujar Keenan kepada Istrinya seraya tertawa jumawa. Monik hanya tersenyum hambar menanggapi apa yang Suaminya ucapkan.

Hari ini, merupakan hari dimana Nara akan mulai merantau, di kota dimana Ia menempuh pendidikan. Hari yang sangat terasa hambar bagi Nara.
“Mau kamu bawa kemana tuh gitar, Ra?”
 tanya Keenan saat melihat gitar di barang bawaan Nara.
“Dibawa ke kos, Yah, buath hiburan.” jawab Nara.

“Tak usah kau bawa-bawa barang yang nggak penting, kamu ni mau kuliah, bukannya mau ngamen!” ujar Keenan tegas.
Tapi Yah, ini cuma buat hiburan Nara di kosan!” jawab Nara.
“Kamu mau hiburan Apa? Laptop baru, Hp baru, motor baru, Ayah turuti! Asal jangan kau bawa gitar ini ke kosmu! Ayah tidak suka nanti kerjaanmu cuma main gitar sama teman-temanmu, kau lupakan tujuan awal untuk belajar.” ujar Keenan.
“Tapi Yaah!” Monik mulai membuka suara, tapi langsung dipotong oleh Suaminya.
“Aaah! Sudah lah! Tak perlu kau bela anakmu! Biarkan Dia belajar dengan tekun!”
Merasa tidak ada artinya berdebat dengan Keenan, Monik dan Nara lebih milih diam.

Semarang, 28/08/2018

Nara tiba di Semarang dengan kereta api. Di Stasiun, Nizam, (sodaranya) sudah menunggu kedatangannya, mereka saling peluk saat bertemu di stasiun, tentang Nizam dan Nara, memang mereka lama sekali tidak bertemu. Terakhir mereka bertemu dan main bareng waktu mereka masih kelas dua SMP, dulu, lalu Nizam pindah ke Singapura ikut Orang Tuanya yang mengembangkan bisnis di sana.
“Wih, tambah ganteng aja nih Sepupu Gue, padahal dulu waktu kecil suka ingusan.” celoteh Nizam.

“Ah Bisa aja Lu.” ujar Nara sambil menonjok pelan bahu Nizam.
“Nah Brother, kita masih menunggu seseorang di stasiun ini sebentar, Cewek Gue sama Temannya, keretanya datang jam 16.30. Nggak papa kan?”

“Yes, no problem, Brother, kebetulan Guwe juga pengin ngeliat bentuknya Amelia, dulu waktu masih SMP cuantik, sekarang pasti makin cuantik.” Celoteh Nara.
Tentang pacaran, memang Nara perlu mengacungi empat jempol sekaligus pada Nizam dan Amelia, mereka Sudah menjalin hubungan dari SMP kelas satu, dan hubungan itu bertahan hingga sekarang meskipun Mereka menjalani LDR empat tahun lamanya.

Mereka ngobrol dengan asik di warung kopi yang letaknya di depan stasiun, saling berceloteh, saling berbagi pengalaman. Nara tidak bisa menahan untuk tidak bercerita dengan Nizam, tentang apa yang dialaminya, bahwa Ia kuliah benar-benar merasa salah jurusan, karena dipaksa Ayahnya, terpaksa Ia masuk ke Fakultas ekonomi.

“Nggak papa, Ra, bukannya kuliah di fakultas ekonomi nggak ngehalangin Lu buat tetep berkarya?” ujar Nizam.
“Gimana Gue mau tetep berkarya, Zam, jangankan untuk berkarya menulis cerita, menulis lagu. Untuk sekedar main gitar aja, Ayah ngelarang Gue.” ujar Nara seraya tertawa getir.

Nggak lama kemudian, kereta yang Mereka tunggu tiba, Nizam tersenyum menyambut kedatangan Seorang gadis manis berambut panjang. Ia adalah Amelia, pacarnya. Seketika, tas ransel besar yang disandang di bahu Gadis itu berpindah ke bahu Nizam. Sementara di samping Amelia berdiri seorang gadis berpenampilan sederhana, hanya mengenakan sweater biru, rok yang berwarna senada dan rambut yang tertutup hijab berwarna coklat, benar-benar sederhana, malah sekilas cewek itu cuek dengan penampilannya. Secuek dan sedingin sikapnya.
Oh iya Ra, ni Arina, temen Gue dari SMA.” Ujar Amelia mengenalkan temannya pada Nara.
“Hai, Nara.” ujar Nara seraya menyodorkan tangan pada AArina.
“Rina.” jawab Gadis itu seraya menyambut uluran tangan Nara.

Dan selama perjalanan dari stasiun, sampai mereka mampir makan di daerah kota lama, hingga mereka tiba di kosan Nizam, Nara dan Rina bertukar kata hanyalah sebatas saling memperkenalkan namanya masing-masing, selebihnya samasekali nggak ada percakapan lagi sampai Amelia pamitan untuk pulang ke kosnya, dan tentunya mengajak Rina.

“Eh Zam, Cewek elu ambil jurusan apa? Tadi Guwe lupa tanya.” tanya Nara Saat mereka hendak tidur. Jam di dinding sudah menunjukan pukul 23.20.
“Ah Elu, Amelia kan ambil prodi dan fakultas yang sama dengan Lu, Awas kalau lu macem-macem sama Cewek Gue!”
“Ah, lu Zam, curigaan mulu pikirannya sama gue, mana mungkin Gue ngerebut Amel dari Lu, kecuali kalau Amelnya mau. Hahha!”
Nara senang menggoda Nizam, melihat Nizam yang bersungut-sungut, persis ngambeknya kaya cewek yang lagi baru datang bulan, katanya.
”Kalau temennya Amel, Zam? Siapa itu namanya?” tanya Nara.
“Oh, Rina? Dia ambil fakultas keguruan, Jurusan Pendidikan bahasa dan sastra Indonesia..”

Mendengar Nizam menyebutkan kalimat sastra, Nara merenung sejenak, kembali lagi Ia teringat akan cita-citanya yang mungkin telah kandas. Nara yakin, setelah lulus kuliah nanti, Ayahnya akan memaksa untuk melanjutkan ke jenjang magister, atau memintanya memegang perushaan penginapan yang telah lama dirintisnya, dan telah memiliki cabang di hampir setiap kota besar. Nara masih memikirkan, bagaimana caranya, agar Ia terus menyatu dengan seni. Di sampingnya, Nizam sudah terlelap dengan damai, terdengar dengkur halusnya, cowok itu wajahnya terlihat tampak damai dan tenang saat tertidur, memang, Nizam bisa dibilang lebih beruntung dari Nara, kedua Orang Tuanya selalu mendukung apa yang dicita-citakan oleh Nizam, atau mungkin tepatnya, yang dicita-citakan selalu tepat dengan keinginan kedua Orang Tuanya. Kini Ia berhasil masuk di fakultas hukum, di kampus yang sama dimana Nara berkuliah.

Hari itu, Nara pulang sore karena selain jadwal kuliah yang full sampai sore, Nara juga sempat mengikuti rapat setelahnya. Ia memang mengikuti beberapa organisasi, baginya, kuliah salah PRODI bukan berarti Ia harus membenci segalanya. Itu sebabnya, Ia mengikuti beberapa organisasi, seperti himpunan mahasiswa, dan yang lainnya.

Sore itu, entah apa yang membawanya berjalan melewati gedung Fakultas Keguruan, padahal jarak dari fakultasnya ke fakultas Keguruan cukup jauh, harus berjalan memutar pula, tapi sore itu Nara berjalan sejauh itu.
”Katanya, Arina anak FKIP? Udah pulang belum ya dia?” tanyanya dalam hati.

Lalu, mungkin ini bisa dibilang suatu kebetulan, dari jauh Nara melihat sosok yang dikenalnya (Rina). Entah mengapa, degug jantungnya terasa mengencang setelah Ia benar-benar melihat keberadaan Gadis yang pendiam itu. Gadis itu tengah berjalan sendirian, berjarak sekitar 30 meter dari tempatnya berjalan.
“Susul nggak ya?” hatinya berkecamuk sendiri.
“Ah biar ku susul aja, kalau nggak, kapan bisa kenalnya.” ujarnya dalam hati.

Nara mempercepat langkahnya, menyusul langkah Rina. Tentang Rina, entah mengapa semenjak Nara tahu Rina kuliah di jurusan sastra, Nara menjadi sangat penasaran dengan Gadis itu.
“Haai Rin.” ucapnya setelah Ia berhasil menjejeri langkah Rina.
“Hai.” balas Rina.
“Pulang sendirian nih?” tanya Nara.
“Iya.”
“Boleh bareng nggak?” tanya Nara.
“Silahkan aja.” jawabnya.

Merekapun akhirnya pulang bareng, masih naik angkot karena Nara saat itu belum membawa mobil, rencananya semester depan Ayahnya akan memfasilitasi mobil untuk Nara.

Tapi karena pristiwa sore itu, Nara dan Rina menjadi akrab, dan berawal dari keakraban itulah, Nara jadi tahu, ternyata Nara dan Rina mengalami nazib yang seperti tertukar.
“Jurusan ekonomi cita-citaku, Ra, dari SMK aku ambil akutansi, karena aku sangat berminat diilmu ekonomi. Hanya nazib yang membuat aku masuk ke PRODI keguruan.” ucap Rina, di suatu sore.
“Orangtua aku tidak mampu menguliahkan aku di ekonomi, biayanya terlalu besar. Aku kuliah full pakai biasiswa, Ra.” lanjutnya. Lalu, gadis itu kembali berucap
“Tapi bukanya jadi guru juga merupakan hal mulia, tak semua orang bercita-cita menjadi guru, Ra, tapi hampir semua cita-cita datangnya dari seorang guru.”
“Aku kagum sama kamu, Rin, yang dengan lapang hati menerima kenyataan.” ujar Nara akhirnya.

Dan semenjak sore itu, Nara dan Rina jadi sering jalan bareng. Sore itu, seperti biasa, setelah pulang kuliah, dan rapat sebentar, Nara mengajak Rina jalan.
“Udah nunggu lama, Rin?” tanya Nara setelah Ia melihat Rina sudah menunggunya di tempat Ia janjian.
“Nggak kok, baru sebentar.”
Nara melihat Rina sangat cantik sore itu, matanya berbinar ceria saat melihat kedatangan Nara.
“Terus, mau kemana nih kita?” tanya Nara.
“Terserah kamu aja lah, aku mah tinggal ikut kemana kamu mau.” jawab Rina sambil memakai helem.

Sengaja sore ini Nara membawa Motor Nizam, karena Ia mau mengajak Rina jalan. Nizam mendukung banget kalo Nara sampai deket sama Rina, apalagi kalau mereka berdua menjalin hubungan yang lebih serius. Begitupun dengan Amelia, bahkan Nara curiga Nizam dan Amelia sedang mendekatkan Nara dan Rina.
“Kita ke pelabuhan aja yaa, Rin. Kita liat sunset di sana.” ujar Nara dengan suara setengah berteriak, mengimbangi deru angin dan mesin motor.
“Iya, terserah kamu, aku ikut kemana kamu mau ngajak aku.” jawab Rina.
“Berati kalau aku ngajak kamu ke penghulu juga kamu mau dong?” celoteh Nara.
“Kenapa?”
“Kalau aku ngajak kamu ke penghulu kamu mau?” Rina memukul pundak Nara setelah denger Cowok itu ngomong apa.

Sesampainya di pelabuhan, mereka berdua duduk dengan kaki terendam di air, Entah mengapa Nara hari ini sangat suka memandangi wajah Rina. Baginya, Rina terlihat berbeda, Cantiknya semakin natural.
“Ciee yang menang lomba puisi tingkat provinsi, katanya nggak suka sastra, tapi juaranya sampai mau ke nasional.” goda Nara.
“Aku nggak pernah bilang ke kamu kalau aku nggak suka sastra, Ra. Aku hanya penikmat sastra, tapi untuk jadi seorang sastrawan, itu bukan cita-citaku.” jawab Rina.
“Iyaa iya deh, terserah kamu mau berpendapat apa, yang jelas aku ngucapin selamat buat kamu.”
“Thanks, Ra.” jawab Rina seraya tersenyum.
“Sama-sama Rin. Oh iya, ngomong-ngomong, kapan nih nasionalnya, terus dimana, Rin?”
“Tanggal 29 ini, Ra, di Pangkal Pinang.” jawab Rina.
“Wah, jalan-jalan geratis ke Pangkal Pinang, nih. Semangat ya Rin, sukses selalu, jangan lupa oleh-olehnya.”
Rina hanya tersenyum menanggapi celotehan Nara.  Lalu,
“Aku pengin nitip sesuatu ke kamu,, Ra.” ucapnya tiba-tiba.
“Wow, boleh tuh, mau nitip apa? Nitip hatimu yang harus ku jaga saat kau jauh dariku?” Nara masih menanggapi ucapan Rina dengan nada bercanda.
“Nggak! Serius ini, Ra!” ujar Rina kesal.
“Iyaa, iya. serius amat, emang mau nitip apa sih, Non?”
Rina mengeluarkan sesuatu dari tasnya, terlihat sebuah buku bertuliskan My Lost Angel. Nara belum memahami apa isi buku itu.
“Ini buku cerita yang lagi aku tulis, Ra. Kalau pergiku lama, tolong kamu lanjutin ceritanya dulu, ya.” ucap Rina dengan nada serius.
“Set dah! Kirain mau nitip apa, tampangnya serius abis, ternyata mau minta tolong ngelanjutin NUGAS.”
Rina tertawa menanggapi celetukan Nara.
“Emang mau berapa hari kamu di Pangkal Pinang, Rin?” tanya Nara.
“Tiga hari sama perjalanan, Ra.” jawab Rina. Entah mengapa, semenjak menitipkan buku itu, Nara melihat ada sesuatu di sorot mata Rina.
Mata gadis itu tampak sayu, tapi yaa, pikir Nara paling biasa, Cewek ini kalo lagi minta tolong kan suka masang wajah memelas.

Mereka berdua sama-sama terdiam, menatap perahu nelayan yang tampak di kejauhan, yang seolah menyusuri garis cakrawala.
“Indah ya.” ucap Nara tiba-tiba.
“Iya, dari dulu aku paling suka sama sesuatu yang berhubungan dengan bandara, dan pelabuhan, Ra.” ujar Rina.
“Lo, kenapa, Rin?” tanya Nara.
“Sebab, pelabuhan dan bandara tempat yang paling sering menjadi saksi bisu didalam proses pertemuan dan perpisahan.” ujar Rina.
“Heleh! Mentang-mentang lagi nyunset, ceritanya ngegalau nih.” mereka berdua tertawa bersama.

Malamnya, Nara malah hanyut sendiri dengan kisah yang ditulis Rina, Ia tertawa sendiri, kadang juga ingin nangis seniri. Buku My Lost Angel itu menceritakan tentang seorang cowok yang berpacaran dengan gadis penderita kangker otak, sayangnya Cowok itu tidak tahu kalau pacarnya mengidap penyakit parah tersebut, sampai suatu saat, si Cewek ngilang karena sakitnya makin parah, tapi Cowok itu malah menganggap ceweknya telah berhianat dan setelah sebulan Cowok itu berpacaran dengan Gadis lain, Cowok itu mendengar Cewek yang dipacarinya lebih dulu telah meninggal dunia. Penyesalan memang datang di belakang, hingga cowok itu memutuskan untuk tidak menjalin hubungan dengan gadis manapun selama hidupnya.

Minggu, 28/10/2018

Sore itu, Nara tiba di Jakarta dengan kondisi basah kuyup, Rina menyusulnya di depan gang karena motor Nara terendam banjir, kondisi masih hujan deras sore itu. Rina tertawa sekaligus kasian melihat Nara yang mengigil kedinginan, siapapun akan merasa iba melihat Nara yang wajahnya sudah sangat pucat, dan bibirnya membiru karena kedinginan. Termasuk kedua Orang Tua Rina, juga merasa iba melihat Cowok itu. Bahkan Ibunya Rina menyuruh Rina membuat air hangat untuk mandi Nara.

Nara memang merasa perlu ke Jakarta hari ini, tujuannya yaa agar besok bisa mengantarkan keberangkatan Rina ke bandara. Ia sangatt mencintai sastra, dan bagi nara prestasi Rina juga prestasinya, Ia benar-benar merasa bangga, selayaknya dirinya sendiri yang berhasil meraih prestasi itu.

Malamnya, Rina mengajak Nara ke salasatu KaVe yang ada di dekat rumahnya. Mereka saling bercanda ceria sambil menikmati kopi.
“Ra, aku tahu selama ini kamu belum bisa menerima, dan kamu masih menganggap kalau kamu kuliah salah jurusan. Bagi aku nggak ada istilah itu, Ra. Setelah aku kenal kamu, aku merasa kita merupakan dua indifidu yang memiliki cita-cita yang tertukar. Perjuangan aku sampai dititik ini, semuanya buat kamu, dan aku titipkan cita-citaku sama kamu, Ra. Semangat kuliahnya yaa, jangan lagi merasa salah jurusan. Bahagiakan Orang Tua kamu, buat mereka merasa bangga dengan apa yang kamu raih. Tulisan yang kemarin aku titipkan, anggap saja itu tulisan kamu, Ra, jadi terserah kamu yaa, mau kamu lanjut, apa mau kamu berhentikan ceritanya.” ujar Rina panjang lebar.
“Aku nggak tau arah pembicaraan kamu kemana, Rin. Tapi mulai malam ini aku berjanji, aku akan menikmati kuliahku, dan aku akan melakukan yang terbaik, terutama untuk kamu yang memiliki cita-cita ini, dan untuk Orang Tuaku yang menginginkan cita-cita ini.” jawab Nara.
“Aku percaya kamu, Ra, pasti kamu mampu menjaga, dan melanjutkan cita-citaku.” ujar Rina.
“Aku mampu karena kamu mampu, Rin.” jawab Nara.

Mereka di kafe sampai jam 21.00 malam, banyak yang ingin Nara ungkapkan pada Rina, terutama tentang cita-cita dan masadepan, tapi biarlah, biarlah mereka bicara dari hati kehati, karena mereka yakin mereka saling mengerti satu sama lain.

Jakarta, Senin  29 Oktober 2018

Nara mengantarkan Rina ke Bandara soekarno-hatta. pagi itu, Rina akan berangkat ke Pangkal Pinang. Pesawat yang ditumpangi Rina akan berangkat pukul 06.10 WIB dan sesuai jadwal akan tiba di Pangkal Pinang pada Pukul 07.10.
“Aku titip cita-citaku, Ra.” ujar Rina saat menyalami Nara,.
Air mata Gadis itu berlinang, dan entah apa yang terjadi, tiba-tiba Nara merengkuh Rina kedalam pelukannya.
“Aku janji, Rin, aku janji akan membuatmu bangga demi cita-citamu, seperti aku bangga sama kamu yang mewujudkan cita-citaku.” Nara semakin luluh saat merasakan cairan hangat membasahi bajunya, dan tembus ke dadanya.

Dan saat pesawat Boeing 737 MAX 8 yang ditumpangi Rina terbang menggebu ke langit Jakarta, Nara benar-benar merasakan tulang sendinya terasa dilolosi. Nara merasa heran dengan dirinya sendiri, mengapa Ia seberat ini melepaskan kepergian Rina? Mungkinkah Ia telah jatuh cinta pada Gadis itu, Tapi Rina hanya Tiga hari pergi, dan setelah itu mereka akan kembali selalu bersama, menimba ilmu dalam naungan kampus yang sama.

Pesawat yang ditumpangi Rina adalah pesawat jenis Boeing 737 MAX 8. Berangkat dari bandara soekarno-hatta pukul 06.10 WIB dan sesuai jadwal akan tiba di Bandar Udara Depati Amir Pangkal Pinang pada Pukul 07.10. Pesawat itu membawa sebanyak 181 penumpang, dan delapan orang awak.


Setelah pesawat itu tak lagi terlihat, Nara kembali pulang kehotelnya, Ia minum kopi, dan makan roti yang terasa hambar di lidahnya. Semuanya menjadi semakin kabur saat tayangan berita di televisi yang memberitakan tentang sebuah pesawat yang hilang contact dengan ATC beberapa menit yang lalu, gelas di tangannya terjatuh saat pembawa berita menyampaikan pesawat itu berangkat dari bandara soekarno-hatta menuju ke Pangkal Pinang.
“Oh My God! Semoga bukan pesawat itu!” ujarnya yang hanya didengar oleh dirinya sendiri.

Tapi harapan tinggalah harapan, pesawat yang jatuh itu, memang pesawat yang ditumpangi Rina. Pesawat dari salah satu maskapai di Indonesia, pesawat itu diberitakan telah jatuh di Tanjungpakis, Pakisjaya, Karawang setelah 13 menit lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta,. Berita itu mengabarkan bahwa Pesawat itu dikabarkan sempat akan kembali menuju Bandara Soekarno-Hatta (Return to Base) sebelum terjatuh. Tak lama diberitakannya pesawat tersebut telah jatuh, dikabarkan pula Badan SAR Nasional telah menemukan puing-puing, perlengkapan, dan pelampung yang diduga terkait dengan jatuhnya pesawat tersebut. Berita itu telah membawa kabar buruk bagi seluruh keluarganya Rina, kampus, Teman-teman dekatnya, khususnya Amelia, Nizam, dan Nara. Mereka masih berharap Rina ditemukan selamat, tapi harapan itu semakin pudar bahkan lenyap setelah jenazah Rina ditemukan dua hari setelah jatuhnya pesawat.

Jakarta, Senin 05/11/2018

Nara duduk terlungkuk di atas gundukan tanah merah yang masih basah.
“Aku akan meneruskan cita-citamu, Rin, aku janji aku akan meneruskan cita-citamu. Mungkin jazadmu terkubur di sini, tapi tidak dengan cita-citamu! Cita-citamu, hidup didalam diriku, biarlah cita-citaku yang terkubur jauh bersama Dirimu. Aku akan menepati janjiku, Rin.” ucap Nara dalam tangisnya.

Sepeninggalan Rina, tak ada lagi penyesalan di hati Nara yang menganggap kuliahnya salah jurusan. Bahkan jika dirinya teringat akan anggapan itu Nara malu pada diri sendiri, Rina, sahabat dan Perempuan yang dikasihinya, harus memendam cita-citanya sampai akhir hayatnya. Bagi Nara, Rina adalah sosok Bidadarinya yang hilang di Tanjung Karawang bersama cita-citanya. Ia adalah jelmaan dari bidadari yang dikirim oleh Tuhan untuk membuka matanya, agar Nara tak memendam rasa kecewa kepada Ayahnya terlalu berlarut-larut, agar Ia menjalani sesuatu yang diinginkan oleh Orang Tuanya dengan hati yang ikhlas.

TAMAT

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun