Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Tetanggaku Yang Dermawan (1)

3 Juni 2013   08:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:37 247 0
Kami menjadi penduduk di Bogor pada Mei 2004 yang lampau. Rumah kami terletak di sebuah kavling yang penghuninya sebagian besar adalah pegawai negeri di instansi tersebut di Bogor. Usia pernikahan aku dan isteriku baru 2 bulan. Sejak menikah, kami coba menyewa sebuah rumah di kawasan Pasar Minggu, namun tidak cocok cuacanya yang agak panas, dibandingkan Bogor yang ketika itu masih dingin dan sejuk.

Sebelum menikah, memang aku sudah tinggal selama 11 bulan di kota Bogor, dipinggiran sungai Cisadane. Suasanya pepohonan yang rindang dan suara deras air sungai Cisadane itu tetap merindukanku selama sekitar dua bulan kami menetap di Jakarta sebagai pasangan pengantin baru.

Rumah ini adalah rezeki pertama di awal pernikahan kami. Ketika kami menempati rumah tersebut, istriku baru saja mengandung dengan usia kandungan 2 bulan putra kami yang pertama.

******

Disebelah kiri rumah kami masih tanah kavling kosong. Disebelah kanan kami bertetangga dengan seorang pegawai negeri di instansi tersebut. Didepan agak kanan pun tetangga kami pegawai negeri di instansi lembaga penelitian biologi di kota Bogor, agak kirim di depan dan berseberangan dengan kamar tidur utama kami diseberang jalan ada sebuah rumah yang diisi oleh keluarga suami isteri dengan 2 orang putra kedua suami isteri mengelola sebuah cabang panti asuhan di Bogor. Dua tetangga yang berseberangan di depan rumah kebetulan masih berkeluarga dekat, mereka masih sepupuan, sehingga mengesankan agak kompak.

Tetangga kami yang bekerja di panti asuhan yang berkantor pusat di kawasan Kramat, Jakarta Pusat, ini agak unik. Mereka cukup dermawan di lingkungan kami. Ketika ada acara perlombaan 17 Agustusan, hadiah untuk para pemenang lomba difasilitasi oleh pasangan ini. Mulai handuk, sabun, dan beberapa keperluan sehari-hari yang dihadiahkan kepada anak sekitar komplek dan anak kampung sekitar. Bahkan logistik pun keluar dari rumah tangga pasangan pengelola cabang panti asuhan ini.

Ada juga sebuah masjid, yang ketika kami datang ke komplek itu terbengkalai, baru terpancang fondasi disekelilingnya, sebagai penghuni baru penulis berusaha berbuat baik dengan melakukan inisiatif melanjutkan pembangunan kembali. Pasangan ini cukup aktif dan seakan berlomba tak mau kalah dengan tetangga lain yang menyumbangkan hartanya untuk pembangunan masjid itu. Intinya mereka tidak mau kalah dengan yang lain dalam hal berbuat kebaikan.

Dengan kata lain, tetangga sekitar pun terinspirasi untuk berderma dan berbuat kebaikan. Bahkan penduduk asli (baca: pribumi) pun terbuai dengan perbuatan baik dan semangatnya berlomba berbuat kebaikan.

Dari segi finansial pun tetanggaku ini cukup makmur dan berkecukupan. Ketika para tetangga bertamu pun semua kebutuhan pokok pun ada di rumah itu. Sebagai tamu, para tetangga cukup dimanjakan. Bahkan ketika anak pertamaku, sepekan sebelum lahir, kami sudah dihadiahi selimut yang biasanya dipakai untuk dewasa. Hadiah untuk putra pertamaku tak tanggung-tanggung selimut untuk dewasa, bukan untuk bayi.

*****

Setelah kami tinggal di komplek itu sekitar 2 tahun, kami mendapat kabar bahwa istri tetanggaku itu sakit diabetes, dan dirawat disebuah rumah sakit di Bogor. Ada sekitar dua pekan di rumah sakit sebelum akhirnya meninggal dunia lalu dikubur di kampung di Jawa Tengah.

Memang ada sekitar 3 bulan belakangan, si suami jarang pulang ke rumah. Ternyata jarang pulang si suami ini karena si suami berpoligami dengan janda asal Bogor.  Merasa disakiti batinnya, kadar gula si istri melonjak tajam dan membuat stress si istri.

Persoalan rumah tangga ini membuat si suami dipecat dari pekerjaannya mengelola cabang panti asuhan. Sementara sang istri harus bergulat dengan diabetes sekaratnya. Putranya yang besar yang kuliah pun jadi terbengkalai akibat broken marriage orang tuanya dan meninggal ibunya, sementara yang kecil pun dirawat di panti asuhan tempat orang tuanya dulu bekerja. Putranya yang besar bahkan sempat sering kulihat menjadi pengamen di angkot sekitar Bogor. Si suami malah berjualan kedondong di Pasar Bogor.

Para tetangga lalu teringat, sewaktu rumah tangga mereka normal, ketika pulang pasangan suami-istri ini selalu bawa sirup, biskuit kaleng, dan berbagai keperluannya ke rumah seakan tanpa batas. Mungkinkah sirup dan gula itu yang akhirnya bersarang di tubuhnya. Dan ternyata mereka dipecat dari panti asuhan, karena sering membawa hak-hak anak yatim piatu dan salah mengelola sumbangan-sumbangan dari masyarakat, yang harusnya masuk ke kas panti, justeru masuk ke kantong suami isteri itu.

Aku teringat ketika Idul Adha yang jatuh pada Desember 2004 atau sekitar peristiwa tsunami itu, pasangan ini meminta bantuan kepadaku untuk menyembelih hewan qurban di rumahnya tersebut. Ketika itu aku baru saja aqiqah putra pertamaku, jadi tidak memotong hewan qurban saat itu. Dengan baik sangka, aku sembelih lah seekor domba sedang di depan rumah dengan bacaan Bismillah-Allahu Akbar. Setelah menyembelih aku tinggalkan sembelihan itu diurus oleh tuan rumah, aku berkunjung ke kerabat di Jakarta dan menginap disana.

Kebetulan, keesokan harinya ada acara khitanan putra kedua dari pasangan suami istri tersebut. Ketika keesokan harinya aku kembali dan menanyakan kepada tetangga yang dhuafa dan kebetulan membantu di rumah kami, "apakah kemarin diberikan daging qurban oleh tetangga depan?", dijawab oleh si teteh itu, "tidak". Ternyata daging qurban itu tidak dibagikan kepada tetangga, melainkan disajikan sebagai hidangan pesta khitanan putranya tersebut.

Gelagat yang kurang baik, memang sering terlintas dalam fikiran kami sebagai tetangganya. Apakah wajar, seorang dengan penghasilan sewajarnya adalah sederhana koq hidup "semewah" itu dilingkungan kampung. Dan seringkali kami melihat ditengah malam buta atau dinihari, si suami menyapu lantai beranda rumahnya tanpa baju, padahal cukup dingin cuaca dilingkungan kami di Bogor. Wallahu a'lam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun