Pukul delapan malam saat itu. Di dalam sebuah ruangan sempit dengan meja, kursi, dan diterangi cahaya seadanya, berjalan aktivitas yang tak biasa. Dilingkupi antusiasme hebat sekaligus ketakutan dan kecemasan. Perasaan mereka bergejolak, ada keraguan, tapi juga keinginan yang begitu besar.
Malam itu mereka berencana untuk pertama kalinya menyatakan ketidaksetujuan terhadap pemerintah. Aksi ini mereka namakan Ballot Revolution. Ya, sesuai namanya, keinginan dibalik aksi ini adalah terjadinya revolusi terutama di proses pemungutan suara. Hal ini tentu bukan tanpa dasar. Pemilihan umum terakhir tahun 2007 memakan begitu banyak korban, menyisakan tangis, duka, dan trauma di benak warga Kenya.
Boniface yang saat itu masih menjadi seorang jurnalis foto menjadi saksi hidup direnggutnya kedamaian dari Kenya. “Itu sulit. Saya takut tapi saya tetap datang untuk melakukan pekerjaan. Saya sering mengatakan tidak takut, padahal sesungguhnya saya takut,” ungkapnya.
Bagaimana tidak, saat itu orang-orang tak lagi ingat mereka sebangsa meskipun memilih kandidat yang berbeda. Kericuhan terjadi dimana-mana. Lebih dari 1.100 jiwa melayang dan hampir 600.000 orang terlantar. Api yang berkobar, hujan kerikil yang dilempar orang-orang, air mata, darah, semua itu menggambarkan kemarahan, ketakutan, serta kesedihan yang begitu dalam.
Melihat hal itu, Boniface tak ingin tinggal diam. Ia tak ingin menjadi seorang pengecut. Bersama teman-temannya, malam ini mereka akan menyuarakan apa yang selama ini menjadi beban pikiran. Namun kali ini tanpa keributan, tanpa suara dan teriakan, tanpa kekerasan.
Pukul sepuluh malam, mereka sudah pindah ke pusat Kota Nairobi. Berbekal satu buah tangga, puluhan kaleng cat semprot, desain gambar yang diproyeksikan ke dinding, dan beberapa seniman yang siap bekerja, aksi ini pun dimulai. Dinding yang tadinya polos dan membosankan lama-lama dipenuhi goresan-goresan cat. Mural yang digambar tentu bukan sekedar seni tapi simbol protes mereka.
Di situ ada banyak gambar dan tulisan, salah satunya adalah burung pemakan bangkai yang menjadi lambang pemerintahan dan pimpinan saat ini. Mereka rakus, memakan pajak yang dibayar oleh masyarakat, mengambil tanah warga, akan tetapi orang-orang masih memilih burung pemakan bangkai ini untuk duduk di parlemen.
BUM! Seketika perhatian banyak orang teralih. Seperti ada ledakan besar dalam diri masing-masing orang yang menyadarkan situasi yang sebenarnya. Mural pertama karya Boniface dan teman-temannya menjadi tamparan awal bagi masyarakat dan juga pemerintah.
Tentu saja aksi ini tak lantas dibiarkan. Banyak politisi yang mencoba mendekati Boniface dengan alasan ingin bekerja sama tapi ditolaknya. Belum lagi ancaman yang datang. Serta polisi yang kemudian menangkap pria ini.
Namun, penangkapan tersebut tak membuat dirinya berhenti. Lewat media sosial, ia mengerahkan massa untuk datang ke kantor polisi. Dan sekali lagi, berhasil! Boniface akhirnya dibebaskan tanpa tuduhan apa pun.
Tekanan dari pekerjaannya dulu sebagai foto jurnalis sempat membuat Boniface frustasi. Keinginan bunuh diri sempat ada dalam benaknya, tapi akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya itu. Foto-foto Boniface sempat memenangi beberapa penghargaan karena sangat kuat dan mampu menggambarkan situasi Kenya saat itu.
Foto-foto yang diambil Boniface lantas disadarinya sebagai cara lain menggugah kesadaran masyarakat. Dari sinilah, pameran foto yang dilakukan di jalanan pun dimulai. Orang berdesakan untuk melihat foto-foto tersebut. Beragam reaksi timbul. Namun yang paling kental terasa adalah kesedihan yang tercermin dari linangan air mata, decak keprihatinan, dan raut pilu dari orang-orang yang melihat foto-foto ini.
Perjuangan tak biasa ini terus berlanjut. Mural dan pameran foto terus bergulir di berbagai kota. Menuai kesadaran masyarakat dan ketakutan pihak-pihak yang dituduh bersalah. Tak selalu berjalan lancar, kesedihan harus dihadapi Boniface dan timnya ketika pameran mereka ditutup, dibubarkan, bahkan dibongkar oleh pemerintah setempat.
Satu aksi lagi yang diorganisasi kelompok ini, mengirim 49 peti mati ke depan gedung parlemen. Bukan untuk menghukum anggota parlemen, tapi untuk mengubur sifat buruk mereka. Iring-iringan masyarakat ke depan gedung parlemen menyuarakan pendapat mereka dengan damai mengisyaratkan, yang diinginkan hanyalah kembalinya kedamaian di tanah mereka.
Tak lama setelah peti mati itu diletakkan, langsung petugas keamanan membereskannya. Tentu hal ini membawa kekecewaan. Usaha dan jerih payah masyarakat tampak tak dihargai. Masyarakat seperti mengusahakan sesuatu yang sia-sia.
Hal ini tentu disadari Boniface dan timnya ketika memulai perjuangannya. Banyak pengorbanan yang harus dilakukan. Banyak keringat dan air mata yang harus ditumpahkan. Banyak waktu yang harus dilalui. Akan tetapi itulah harga sebuah perubahan.
“Kita tidak harus kehilangan harapan. Perubahan tak datang dalam satu malam. Mungkin apa yang saya lakukan sekarang akan diselesaikan oleh anak saya nanti. Tapi harapan saya adalah hal ini terjadi secepatnya,” ujar Boniface.
Perjuangan jelas belum berakhir. Justru hal itu baru saja dimulai. Layaknya seorang yang jatuh dan mencoba berdiri lagi, tentu dibutuhkan usaha yang tak mudah. Itulah yang sekarang coba dilakukan negeri ini. Kenya mulai bangkit. Hiruk pikuk Kenya tak lagi sama.
(Berdasarkan video milik AlJazeera yang diunggah di Youtube, "Activate - Kenya Rising -")