Golput pun kini masih menjadi pilihan alternatif karena telah terjadi krisis kepercayaan di masyarakat akibat degradasi moral para anggota dewan yang 'katanya' terhormat itu. Jadi, apakah selalu menyalahkan masyarakat ketika angka golput semakin tinggi? Mereka hanya menginginkan pemimpin yang merakyat, mereka menginginkan yang benar-benar wakil rakyat bukan wakil parpol. Tapi, adakah yang seperti itu? Banyak, banyak yang mengaku seperti itu, mengklaim keberhasilan sana-sini yang bahkan tak terlihat sama sekali. Masihkah kita termakan janji-janji parpol? Masihkah kita ingin menerima lembar rupiah yang hanya cukup untuk makan setengah hari dengan mengorbankan 5 tahun?
Semua parpol menyarankan agar kita menggunakan hak pilih kita di Pileg nanti, itulah satu-satunya hak yang diberikan kepada kita, bahkan ada yang rela membayar kita agar menggunakan hak pilih kita. Setelah itu, hak kita akan dirampas secara sadar. Hak untuk hidup layak, hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, bahkan hak untuk menghirup udara yang segar pun dirampas. Lihat kan bagaimana mereka bersosialisasi dengan memaku gambar mereka di pohon-pohon yang notabene penghasil oksigen? Pada pohon saja yang menyuplai udara segar untuk mereka tak mereka pedulikan apalagi kita? Lihatlah bagaimana mereka berkampanye dan menyisakan sampah dimana-mana, macet dimana-dimana, konvoi sambil melanggar peraturan lalu lintas. Masihkah kita akan memilih?
Saya teringat perbincangan saya dengan seseorang beberapa bulan yang lalu, beliau juga mencalonkan diri sebagai anggota DPRD pada Pileg kali ini. Beliau meminta saya untuk datang mencoblos pada Pileg nanti, beliau tidak meminta saya untuk memilihnya, melainkan meminta saya untuk menggunakan hak pilih saya, beliau juga (yang mungkin satu-satunya) caleg yang tidak memasang baliho sosialisasi di daerah pemilihannya ketika caleg lain sudah mulai menyebar 'sampah' visual pada saat itu. Dengan bercanda saya mengatakan pada beliau bahwa saya akan datang memilih jika ada uang transport dan uang makan. Pada saat itu tiba-tiba ada orang yang berlalu di depan kami yang membawa anjing beberapa ekor dan beliau bertanya kepada saya, "kamu tahu berapa harga seekor anjing itu?". Kujawab tidak tahu. "Harganya seekor itu 500 ribu, masa iya kamu lebih murah daripada anjing," jawabnya sambil tertawa. Serasa menelan pil pahit meski saya hanya bercanda mengucapkannya. Bukan ada benarnya, tapi memang benar yang beliau katakan. Sekali lagi, Tuhan mengajarkan saya melalui beliau bahwa kita masih punya harga diri yang tak ternilai harganya.
Sekali lagi, jadilah pemilih yang cerdas. Para caleg yang memberi kalian uang pada dasarnya sudah tak menghargai diri kalian. Dan ketika kalian menerimanya, artinya sama saja, kalian memang sudah tak punya harga diri lagi. Semoga pemilu kali ini membawa bangsa ini menuju perubahan yang lebih baik dan bermartabat. Aamiin...