Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Berita dan Konstruksi Realitas

18 April 2012   07:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:29 2165 1

Produk utama dari sebuah surat kabar adalah berita. Berita inilah yang dikonsumsi oleh konsumen media cetak, yaitu pembaca. Berita adalah hasil olahan dari sebuah peristiwa dan fakta-fakta. Menurut Dr. William C. Beyer (dalam Djuroto, 2000: 47) berita adalah sesuatu yang baru yang dipilih oleh wartawan untuk dimuat dalam surat kabar.

Sebuah peristiwa layak diangkat untuk diberitakan jika memiliki apa yang disebut dengan nilai berita. Nilai berita menjadi standar dan ukuran bagi wartawan sebagai kriteria dalam praktik kerja jurnalistik (Eriyanto, 2007: 106). Menurut Eriyanto, ada lima nilai berita secara umum, yaitu:

a.Prominence: Kebesaran peristiwa dan arti pentingnya. Peristiwa yang diberitakan dipandang penting.

b.Human Interest:Mengandung lebih banyak unsur haru, sedih dan menguras emosi khalayak.

c.Conflict/Controversy: Peristiwa yang mengandung konflik.

d.Unusual: Mengandung peristiwa yang tidak biasa atau peristiwa yang jarang terjadi.

e.Proximity: Kedekatan peristiwa dengan khalayak media.

f.

Menurut kaum konstruktivis, berita adalah hasil konstruksi sosial di mana selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Berita yang kita baca adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik. Menurut pandangan konstruksionis, berita bersifat subjektif. Ini dikarenakan opini tidak bisa dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif.

Penyampaian sebuah berita ternyata menyimpan subjektivitas penulis. Bagi masyarakat biasa, pesan dari sebuah berita akan dinilai apa adanya. Berita akan dipandang sebagai barang suci yang penuh dengan objektivitas. Tapi, berbeda dengan kalangan tertentu yang memahami betul gerak pers. Mereka akan menilai lebih dalam terhadap pemberitaan, yaitu dalam setiap penulisan berita menyimpan ideologis/latar belakang seorang penulis (Vinsensius, 2011).

Selain itu, kebijakan perusahaan juga mempengaruhi pemberitaan. Para atasan seringkali punya kekuasaan untuk memberi keputusan. Para eksekutif terkadang membuat keputusan tentang peliputan berdasar kepentingan mereka. Bisa juga berdasar ideologi yang mereka anut (Vivian, 2008: 317).

Hal penting lainnya dalam produksi berita adalah gatekeeping. Proses ini berfungsi untuk menghilangkan, meringkas dan menambahi berita agar pesan lebih baik dalam penyajiannya. Proses gatekeeping juga melibatkan penilaian, dan mempengaruhi semua berita.

Dalam proses ini juga terjadi proses konstruksi realitas atas sebuah peristiwa. Mungkin melalui penonjolan atau penghilangan isu-isu tertentu agar diperhatikan atau dihiraukan publik. Gatekeeper tidak terlihat oleh audiens berita, bekerja dibelakang layar dan membuat keputusan penting tentang bagaimana sebuah peristiwa akan digambarkan dalam sebuah pemberitaan di dalam surat kabar (Vivian, 2008: 324).

Sementara menurut Fishman (dalam Eriyanto, 2005:100), berita adalah apa yang pembuat berita tulis. Menurutnya ada dua kecenderungan studi dalam melihat produksi berita. Pandangan pertama ialah selectivity of news (seleksi berita). Intinya, proses produksi berita ialah proses seleksi. Pandangan ini melahirkan teori gatekeeper seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Pandangan kedua ialah creation of news (pembentukan berita). Menurut perspektif ini peristiwa itu dibentuk, bukannya diseleksi. Wartawanlah yang membentuk peristiwa, dan dianggap aktif dalam proses pencatatan suatu peristiwa. Berita dihasilkan dari pengetahuan dan pikiran, bukan karena ada realitas subjektif yang berada di luar, tetapi karena orang akan mengorganisasikan dunia menjadi koheren dan beraturan yang memiliki makna.

Di Indonesia, media menjadi kekuatan yang cukup besar dalam menggiring opini publik. Kenapa? Ini tak lepas dari masifnya media dalam memberitakan suatu fenomena atau peristiwa. Sementara di sisi lain, masyarakat sebagai audiens yang menelan mentah-mentah apa yang disajikan oleh media melalui beritanya. Padahal seperti yang telah dijelaskan diatas, media tidak selalu menyajikan fakta secara apa adanya.

Ketergantungan yang tinggi terhadap media akan mendudukkan media sebagai alat yang ikut menentukan dan membentuk apa dan bagaimana masyarakat. Pernyataan ini selaras dengan pandangan bahwa media adalah agen konstruksi realitas, karena ketika masyarakat tergantung kepada media, kemungkinan akan tergiring oleh konstruksi yang dilakukan media menjadi cukup besar.

Ketika korporasi media sudah berbicara, arah kebijakan redaksi media seringkali harus patuh pada titah sang pemilik media. Sudah menjadi rahasia umum jika media di Indonesia saat ini dipegang dan mendapat pengaruh dari kekuatan-kekuatan politik di belakangnya. Tak perlulah dicontohkan media mana saja yang pemiliknya memiliki latar belakang dunia politik. Inilah yang ditakutkan, pasti akan ada benturan kepentingan antara pemilik media dan keharusan redaksi dalam menjaga netralitas dan independensi media.

Akibatnya, berita menjadi sasaran utama dalam proses konstruksi realitas. Melalui berbagai strategi dan proses yang panjang, sebuah peristiwa yang sama bisa saja dikemas secara berbeda oleh media yang berbeda pula. Langkah ini tergantung dari ideologi media tersebut, bisa pula karena kekuatan “invisible hand” yang mengatur media dari belakang layar. Jika kita sebagai khalayak tak pandai dan cermat dalam melihat sebuah berita, bersiaplah pemahaman kita akan digiring ke titik tertentu oleh pemberitaan media.

Melalui berita-berita yang ditampilkan, media massa selain menyajikan informasi juga memberikan pemahaman kepada khalayaknya. Berita yang ditampilkan memiliki pengaruh yang cukup signifikan bagi khalayak, terutama yang kurang memiliki media literacy atau tingkat melek media yang tinggi. Tanpa memilah-memilah dan memahami lebih dalam apa yang disajikan dalam berita, khalayak bisa terbawa dalam arahan konstruksi yang dibangun oleh media.

Lalu bagaimana solusinya? Bagi media massa terutama media cetak sebaiknya lebih menekankan asas keberimbangan dalam pembuatan suatu berita. Selain itu dituntut harus lebih objektif dan independen dalam memberitakan sebuah peristiwa, terutama konflik. Tidak terjebak dalam keberpihakan terhadap salah satu pihak.

Bagi masyarakat pada umumnya, dan pembaca pada khususnya sebaiknya tidak terlalu mudah terbawa pemahamannya oleh apa yang disampaikan dalam berita. Ini dikarenkan media massa terkadang tidak memberitakan fakta secara apa adanya, melainkan dikonstruksi sedemikian rupa melalui strategi-strategi tertentu.

Oleh karena itu disarankan agar tidak hanya mengkonsumsi berita dari satu jenis media saja. Hal ini dimaksudkan agar ada semacam pembanding dan perimbangan informasi dari berbagai media. Diharapkan dengan cara demikian, tidak akan terlalu mudah percaya dengan apa yang disampaikan media, karena ada balance dan kroscek jika ternyata ada perbedaan dalam pemberitaan.

Selain itu penting sekali penanaman akan media literacy bagi masyarakat awam, agar pemahaman masyarakat akan media lebih meningkat. Untuk itu diperlukan kerjasama yang komprehensif dan serius dari berbagai pihak, baik pemerintah selaku regulator, media massa, maupun masyarakat sendiri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun