Politik saat ini bisa jadi telah menjelma menjadi salah satu kata yang paling populer di samping cinta dan budaya. Politik sering dipikirkan, sering dilakukan, namun sangat jarang dirasakan. Hal ini sangat berbeda jauh dengan cinta dan budaya; dua hal ini terlebih dahulu perlu dirasakan untuk kemudian dilaksanakan. Politik semakin jarang melihat estetika, politik bermain dengan logika. Ah, apa itu politik? Persetan dengan semua hal yang berbau politik, selama politik tetap sama seperti apa yang aku pikirkan saat ini. Politik oleh para ahli diartikan dengan menjiplak pemikiran-pemikiran Yunani, padahal ada India dan Persia (sekarang Iran) yang menjadi sumber sejarah. Istilah politik yang digembar-gemborkan selalu seputar istilah Yunani :Â
polis, politeia, politika, politikos. Kenapa tidak dipopulerkan dengan bahasa Arab yang berasal dari kataÂ
siyasah, yang sekarang disarikan sebagai kata siasat
? Pengertian-pengertian dari akar Yunani itu pun menjadi bahan (yang harus) dihafalkan secara tekstual di pelajaran sekolahan atau pun kampus. Biasanya dalam menghafal harus benar menyebutkan titik-koma sekali pun. Jadi tidak heran jika berbagai ahli politik selalu tergila-gila dengan pengertian yangÂ
teksbook, mendewakan buku-buku politik tulisan pakar barat, mendoktrin muridnya dengan segala tetek bengek pikiran para filusuf (ahli filsafat) yang notabene tidak pernah mereka lihat langsung. Murid dan mahasiswa pun ikut-ikutan ingin terlihat mentereng dengan menenteng buku-buku filsafat politik yang tebalnya melebihi ketebalan kitab suci agama. Jika diminta untuk berpendapat, maka mereka yang berasal dari latar belakang politik biasanya memberikan jawaban yang berputar-putar
, njelimet, panjang, tidak simpel, penuh dengan istilah yang sulit dimengerti orang awam. Mereka seakan bangga dengan itu, dan kadang merasa paling pintar jika berhasil membuat orang di depannya melongo (bukan karena kagum, tapi bingung). Biasanya yang menjelaskan tersenyum puas, yang mendengarkan tersenyum gemas.
KEMBALI KE ARTIKEL