Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Kejadian di Petshop

27 Desember 2022   21:59 Diperbarui: 27 Desember 2022   22:11 513 0
Waktu itu bulan Februari. Musim hujan masih terus berlangsung dan hujan bisa turun sewaktu-waktu. Udara lembab menyisakan aroma tak sedap. Bukan hari yang cocok untuk berjalan-jalan.

Tapi toh aku tetap harus pergi ke petshop untuk membeli makanan kucing-kucing kesayanganku. Maksudku, sebenarnya, kucing-kucing kesayangan istriku. Aku toh menyukai mereka hanya untuk menyenangkan hati Nina. Dia penyayang kucing dan aku sempat menentangnya di awal pernikahan kami. Tapi sekarang aku mengalir saja mengenai kucing. Aku bosan bertengkar tentang kucing. Lagipula kadang kucing menyenangkan, terutama yang masih anak-anak.

"Bagaimana kabar si empus, Pak? " tanya pelayan petshop dengan ramah. Aku menyukai keramahan itu walaupun aku paham sepenuhnya bahwa keramahan itu semata-mata demi kelangsungan bisnis petshop itu sendiri. Tapi, apa pun masih lebih baik.

"Mereka baik," ujarku. Hampir saja kukatakan bahwa si Tobi yang buntutnya mirip buntut kelinci itu sedang kuyu. Tapi aku tak ingin memperpanjang keramahan yang tak otentik itu. Jadi, biarlah mereka tak tahu menahu tentang Tobi.

"Semuanya empat puluh delapan ribu, Pak, " kata pelayan. Lalu kesibukan membayar, menerima belanjaan dan kembalian berlangsung hingga seorang perempuan masuk dengan seekor kucing di gendongannya.

"Prim!" secara reflek aku memanggil kucing yang digendong perempuan itu. Perempuan itu seketika memandangiku dengan kening berkerut. Mungkin ia sudah menyimpulkan bahwa aku sok kenal.

"Miauw! " kucing itu bereaksi melihatku. Itu memang Prim. Dia mengenaliku.

"Anda kenal kucing ini? Saya memungutnya dari pasar barusan. Tak tega saya melihatnya kebingungan dan hampir setiap kaki yang didekatinya memberinya sambutan berupa tendangan. Saya tak habis pikir seseorang yang tega membiarkan makhluk lucu yang malang ini di pasar."

"Tidak," sahutku tanpa melihat Prim lagi yang tampak berbinar melihatku, "Ia mirip dengan kucing saya yang sudah mati. Namanya Prim."

"Prim?" tanya perempuan itu. Aku mengangguk,  dan seketika kucing itu meronta dari gendongannya, melompat ke bawah dan menghambur ke kakiku. Ia lalu mengendus ibu jari kakiku dan berguling-guling manja.

"Tapi, ia seperti terbiasa dengan anda?" kata perempuan itu.

"Mungkin ia mencium aroma kucing, karena di rumah saya ada beberapa kucing," aku berbohong. Perempuan manggut-manggut.. Kurasa dia percaya. Apalagi ketika pelayan petshop ikut-ikutan dan mendukung alasan aku.

"Siapa tadi, nama kucing anda yang sudah mati itu?" tanya perempuan itu.

"Prim."

"Oh, ya. Prim. Apa saya boleh memakai nama itu untuk dia?"

Tentu saja, kan kucing itu memang Prim.

"Silakan saja."

Perempuan itu kemudian membopong kembali Prim yang sepertinya masih ingin bergulat dengan kakiku. Ia kemudian menyusuri rak-rak untuk memilih makanan kucing. Aku ingin sekali mengatakan bahwa Prim paling senang dengan pakan kering berbentuk ikan. Tapi tak mungkin aku mengatakannya. Itu sama saja dengan mengakui bahwa, akulah yang telah meninggalkan Prim di pasar tempo hari. Prim, dan kesebelas yang lain!

Ah, ya, begitulah. Mungkin terdengar kejam. Aku segera memperbaiki sikapku karena Prim berusaha mencariku meskipun ia dalam gendongan majikan barunya, dan di saat bersamaan rasa bersalahku membuncah kembali.

Malam itu kami memutuskan untuk 'memindahkan' dua belas ekor kucing di Pasar Puri. Nina sangat keberatan awalnya, tapi ia akhirnya menyerah karena kenyataannya enam belas ekor kucing menjadikan rumah kami serupa kandang, bukan rumah orang. Kau bisa bayangkan aromanya. Setiap saat kau menemukan tahi kucing, atau kau mencium tengiknya baju di lemari yang dikencingi anak-anak kucing itu.

Sudah kami coba untuk mencari para pecinta kucing untuk mengadopsi mereka. Tapi kebanyakan menginginkan kucing impor yang bagus dan gratis. Sementara Prim dan sebelas yang lain adalah kucing kampung yang mula-mula hanya seekor saja. Seekor kucing yang tersesat dan kami pelihara. Tapi dalam dua tahun berkembang biak menjadi dua puluh delapan ekor. Beberapa ekor diadopsi dan yang lain mati terkena virus. Enam belas ekor yang tersisa itulah yang membuat rumah kami tak keruan dan kami kewalahan.

Selama berhari-hari aku dan Nina dihantui rasa bersalah, sekarang aku semakin merasa bersalah karena salah satu dari dua belas kucing itu, Prim, diambil seseorang yang merasa iba, dan entah apakah ini satu kebetulan atau bukan, Prim dengan majikan yang baru bertemu denganku di petshop.

Prim beruntung ada yang memungutnya dari pasar, tapi bagaimana dengan sebelas yang lain? Ah.

"Terima kasih," kataku pada pelayan petshop dan keluar tanpa menoleh kearah Prim lagi.    

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun