Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Malioboro City Walk

16 Agustus 2013   11:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:15 504 1

Rasanya mendengar bunyi kereta yang ingin kita naiki berangkat sedetik setelah sampai tepat di stasiun adalah ‘sesuatu banget’. Managemen waktu saya bisa dibilang kacau pada hari itu. Oleh karena ada beberapa urusan dan keterlambatan ini itu, saya terpaksa naik bus pukul 10.30. Rasanya stress karena jadwal kereta berangkat sekitar 10 menit lagi ketika saya masih disibukkan oleh urusan yang belum selesai. Belum lagi, yang tidak saya sadari adalah trayek bus yang berputar di rute tertentu. Awalnya saya memprediksikan bus akan tepat sampai di Malioboro 10 menit tepat. Akan tetapi bus yang saya tumpangi berbeda trayek dari yang biasa saya ikuti. Memang sampai 15 menit di stasiun , itupun juga harus setengah berlari dari halte bus. Sirine kereta terdengar ketika saya menapaki pintu luar stasiun. Dengan kecewa saya pesan tiket untuk keberangkatan selanjutnya yang ternyata baru dibuka pukul 12.30 untuk reservasi.Apa yang bisa dilakukan untuk menunggu selama itu? Akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari stasiun untuk berjalan jalan. Setelah menyadari cantiknya langit hari itu, tercetuslah ide untuk melakukan city walk di sepanjang jantung kota Yogyakarta, Malioboro.

Ketika saya kecil, saya menyebut kereta kuda dengan sebutan tik – tok. Tik tok disini cukup unik karena semua kusirnya menggunakan blangkon sebagai aksesori khusus kusir kereta kuda di wilayah Yogyakarta. Selama berjalan jalan, penumpang akan dimanjakan dengan pemandangan pedagang yang berderet mengisi teras pertokoan. Seringkali mereka akan berhenti untuk sekedar membeli baju, tas, aksesori atau makanan ringan.

Perjalanan ke pasar saya akhiri dengan mengunjungi los bumbu-bumbu di sisi belakang Beringharjo. Sayur, bumbu, daging, buah buahan, alat masak bahkan bahan jamu kering tersedia lengkap di pasar ini. Sebetulnya saya ingin membeli pala, jintan dan berbagai bumbu lainnya namun tidak jadi karena Ibu saya bilang benda benda tersebut masih ada sedikit di dapur. Akhirnya saya putuskan untuk membeli buah asam Jawa. Cukup untuk membuat makanan di rumah.

Satu hal yang sering terlewatkan oleh saya adalah adanya Pecinan di daerah Malioboro. Saya tidak melihat banyak bangunan berarsitektur Cina di kota ini. Menurut saya hal ini bisa dipahami karena Yogyakarta bukanlah kota pesisir seperti halnya Semarang. Kota ini kota Keraton Jawa, tentunya lebih banyak arsitektur tradisional khas Jawa melingkupi setiap sudutnya. Oleh karena saya jarang merasakan suasana oriental, kampung ini akan menjadi salah satu tempat yang harus saya kunjungi ketika Imlek tiba.

Titik nol kilometer adalah pusat nongkrong anak muda di malam hari.Sebenarnya siang hari pun, tempat ini cukup ramai dengan berbagai mahluk di dalamnya. Anak anak yang bermain di sela tiang, pengamen, ibu ibu yang numpang duduk, tukang becak dan fotografer. Akan tetapi kehidupan akan lebih ‘hidup’ kala malam tiba. Anak anak muda memenuhi latar dengan berbagai aktivitas. Cosplay, fotografi, skateboard, pantomim atau sekedar nongkrong menyepi dalam keramaian. Rupanya sedang ada demo yang dilakukan oleh mahasiswa dari Papua. Sebenarnya tidak terlalu banyak jumlah pendemo namun cukup memakan badan jalan. Pengendara harus berhati hati untuk lewat karena demo berada tepat di titik tengah persimpangan nol kilometer.

Jika kita melanjutkan perjalanan lurus menembus titik nol kilometer, pengunjung akan menemukan alun alun utara dengan keraton di dalamnya. Sayang saya sedang tidak berminat berjalan jalan lebih jauh karena diburu waktu untuk mendapatkan tiket kereta. Untuk bisa sampai ke keraton Jogja, becak dan kereta kuda cukup menjadi alat transportasi yang nyaman sambil menikmati suasana kota. Harga yang didapat tergantung dari kesepakatan tukang becak dan penumpangnya. Pengunjung tetap bisa menawar harga becak dan kereta kuda untuk sekali perjalanan.

Malioboro, jantung nadi Yogyakarta, sungguh indah namun banyaknya kendaraan yang diparkir di kiri jalan membuat jengah pemandangan. Saya memimpikan bisa menikmati city walk tanpa harus terganggu dengan lika- liku kendaraan yang memenuhi badan jalan. Mungkin suatu saat jajaran parkiran sepeda motor bisa digantikan dengan sepeda atau pit onthel. Lahan teduh di bawah pohon seharusnya menjadi tempat duduk pengunjung yang melepas lelah, bukan menjadi tambahan lahan parkir. Menikmati sore di tengah kota, bercengkerama dengan teman atau keluarga pasti lebih menyenangkan karena suasana ramai orang yang berjalan jalan untuk sekedar melepas penat, jeng jeng, ngabuburit atau apalah namanya, bukan ramai kendaraan yang diparkir.

Saatnya melanjutkan perjalanan, tiket kereta sudah menanti. Waktu tersisa akan membuat saya diam di peron menunggu kereta tiba. City walk hari ini cukup membuat saya tidak lagi merasa kecut karena kacaunya jadwal. Bahagia dengan hal hal sederhana.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun