SBY terpilih sebagai presiden RI secara langsung tahun 2004. Sehari sebelum pemilihan presiden, SBY mempertahankan sidang disertasinya di IPB yang memfokuskan pada isu ketahanan pangan dilihat dari aspek ekonomi politik. Ketika dilantik sebagai presiden bulan Oktober 2004, SBY telah berhak mendapat gelar doktor di depan namanya.
Dalam kurun waktu pemerintahannya saat ini (2004-2014), SBY telah berhasil menggolkan impiannya untuk membuat sebuah universitas baru, yaitu Universitas Pertahanan. Saya tidak tahu persis bagaimana kedudukan universitas ini, tetapi yang pasti universitas ini mendapat sokongan penuh dari Kementrian Pertahanan untuk menyelenggarakan beberapa program master di bidang pertahanan. Beasiswa pun juga diluncurkan untuk menarik para peminat program-program studi. Saya tadinya beranggapan bahwa mahasiswa yang kuliah di universitas ini adalah orang-orang yang berkarir dan tertarik di bidang pertahanan. Nyatanya tidak. Kebetulan, adik ipar saya pun kuliah di universitas ini dengan beasiswa yang disiapkan oleh kampus tersebut. Adik saya ini bekerja di KPU dan tidak begitu paham sekali tentang konsep pertahanan hingga tesisnya selesai ditulis. Artinya saya ingin menegaskan dalam bagian ini adalah universitas ini adalah proyek ambisius sang presiden yang saya tidak dan belum mengerti ingin mau dibawa seperti apa. Ironisnya anak sulungnya SBY, Agus, pun kabarnya disiapkan untuk meneruskan impian sang bapak di universitas ini.
Lalu apa yang bisa dilanjutkan berikutnya? Menurut pengakuan rektor Unhan, SBY rutin melakukan pengajaran yaitu sebanyak 4 kali dalam setahun. Kemudian, rektor tersebut juga mengatakan bahwa SBY tengah mengumpulkan kredit untuk mendapatkan gelar professor. Oleh karenanya SBY rajin mengisi ceramah dan seminar di dalam dan luar negeri. Kalaupun lancar, ini menurut prediksi saya, beliau pasti akan mendapat gelar professor sebelum turun sebagai presiden di bulan Oktober.
Sekarang pertanyaannya, bagaimana seorang doktor di kampus manapun di negeri antah berantah ini bisa memperoleh gelar professor dan berapa lama?
pertama, seorang doktor tentu saja harus mengumpulkan kredit yang didapatkan dari tiga aktivitas utama seorang dosen: pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Seorang dosen yang disebut "dosen profesional" oleh Kemdiknas adalah dosen yang mengajar sebanyak 12 SKS yang setara dengan 3-4 mata kuliah di semua program sarjana hingga paska sarjana. Di samping itu, dosen juga dituntut untuk melakukan penelitian untuk menunjang pengajaran. Lagi-lagi, Kemdiknas menuntut para dosen profesional ini untuk menghasilkan artikel-artikel di jurnal internasional bergengsi, tidak ecek-ecek dan bisa dicek dalam berbagai kanal database riset internasional. Di samping itu, dosen juga berhak untuk melakukan berbagai aktivitas pengabdian masyarakat seperti mengisi seminar, menjadi panitia ini itu dan lainnya. Dari ketiga aktivitas utama dosen ini sebenarnya diperlukan untuk mengumpulkan kredit-kredit yang diperlukan di setiap jenjang fungsional dosen. Semisal, untuk menjadi professor, seorang doktor harus sudah mengumpulkan 850 kredit, sementara asisten ahli (dosen muda bergelar master) hanya dituntut mengumpulkan 150 kredit. Ini yang dimaksud sebagai usaha serius seorang dosen doktor untuk menjadi professor.
kedua, Kemdiknas yang memiliki otoritas penuh dalam penentuan jabatan fungsional dan karir dosen sedang serius menuntut dosen melakukan banyak hal karena terkait dengan adanya pemberian tunjangan-tunjangan dosen seperti sertifikasi dan lainnya. Oleh karenanya, saat ini semua dosen di negeri antah berantah ini sedang bingung, galau dan hanya mengelus dadanya masing-masing karena mereka diminta melakukan banyak hal tetapi reward yang didapat tidak signifikan, bahkan jauh dari harapan. Seperti apa, nanti akan saya balik ke tema ini. Tetapi saya ingin bercerita bahwa seorang dosen diminta oleh Kemdiknas untuk melakukan banyak aktivitas dan tes-tes tertentu untuk naik pangkat/golongan serta jabatan fungsionalnya. Semisal, seorang lektor kepala bergelar doktor, dia harus mengikuti tes tpa dan tes bahasa inggris serta mengumpulkan artikel jurnal internasionalnya. Begitu juga, seorang dosen yang belum dilabeli sebagai dosen profesional harus mengikuti tes-tes tersebut kalau ingin mendapat sertikasi tersebut. Di samping itu, saat ini juga Kemdiknas sudah mengatur bahwa kenaikan jabatan fungsional seorang dosen tidak lagi mudah untuk diraih. Dari satu jabatan fungsional, misalkan, lektor kepala untuk ke professor, seorang dosen doktor harus menunggu 3 tahun dalam masa jabatan itu. Artinya pengaturan secara detail telah dilakukan oleh Kemdiknas.
Sebelum saya lanjutkan ke tema tentang gelar professor pak SBY, saya akan sedikit mengulas mengapa dosen-dosen saat ini sedikit gerah. Bulan November lalu, presiden baru saja mengesahkan sebuah aturan untuk adanya tunjangan remunerasi PNS di Kemdiknas dimana dosen dan guru tidak berhak di dalam aturan ini. Anggapannya, dosen sudah memiliki hak dengan sertifikasi dosen dimana akan mendapat tambahan satu bulan gaji. Sementara, remunerasi ini adalah hak melekat dan tidak mengharuskan pegawai untuk mengikuti tes sana sini dan mengumpulkan kredit ini itu sebelum mendapatkan tambahan satu kali gaji. Sehingga, dosen yang diminta untuk professional dan memiliki beban yang begitu besar harus dituntut macam-macam oleh Kemdiknas sementara penghasilan yang diterimanya tidak signifikan. Ditambah lagi, menjadi professor pun sudah tidak mudah dan segampang dahulu dengan berbagai aturan yang njelimet tersebut.
Artinya saya ingin bercerita bahwa, seorang dosen doktor yang bukan siapa-siapa dan tidak memiliki jabatan politis, tidak begitu hebat di dunia persilatan ilmu pengetahuan, harus menempuh paling tidak 10-15 tahun untuk memperoleh jabatan professor yang dimulai dari asisten ahli. Bahkan bisa jadi lebih lama. Kalau dari segi penghasilan, dosen asisten ahli tersebut saat ini mungkin memiliki penghasilan sekitar Rp.3 juta ( bila belum tersertifikasi) dan berharap akan mendapatkan jabatan professor dengan gaji sebesar Rp.13-14 juta (sudah tersertifikasi).
Lalu apa yang bisa ditarik dengan kasus SBY dan gelar professornya? Pertama, saya merasa aneh dengan aktivitas kedosenan beliau selama 10 tahun belakangan. Saya tidak pernah menemukan nama beliau di jurnal-jurnal internasional. Saya juga tidak tahu apakah dengan kesibukan yang sangat tinggi tersebut beliau sanggup mengajar 3-4 mata kuliah satu semester dan membimbing disertasi mahasiswa doktor. Sedangkan, dalam aktivitas pengabdian masyarakat saya sangat percaya karena undangan seminar sana sini pasti ada dalam kapasitas beliau sebagai presiden, bukan sebagai dosen doktor. Kedua, berapa total kreditnya yang sudah dikumpulkan beliau? artinya dimana posisinya sekarang apakah masih lektor atau lektor kepala? Ini yang juga harus diperjelas. Bahkan tragisnya ada beberapa dosen di sebuah grup dosen Indonesia Facebook menanyakan tentang data pak SBy di database dosen Indonesia. Artinya status ke-dosen-an beliau kita pertanyakan. ketiga, apakah pak SBY juga mengikuti berbagai tes-tes yang diperlukan untuk kenaikan jabatan itu. tentu tidak karena beliau adalah spesial, begitu pasti jawaban para kacungnya presiden.
So, apa maknanya? Saya hanya melihat ini sebagai sebuah rangkaian politik balas budi terhadap peran-peran SBY dalam melakukan aktivitasnya sebagai presiden. Entah kenapa saya juga merasa bingung kenapa para pejabat-pejabat kementrian kita begitu masih berpikir untuk "memuaskan" hasrat-hasrat terpendam bos-bos besar mereka tetapi mengabaikan hal-hal penting bagi kepentingan yang lebih besar seperti kasus para dosen yang sedang gerah tersebut. Dosen-dosen diminta untuk berkarya dengan pengabdian yang luar biasa tetapi reward serta sistem pendukungnya tidak maksimal. Sementara, ketika presiden negeri antah berantah ini ingin sekali menjadi professor, segala cara pasti dimudahkan! Hmhm.. inilah negeri antah berantah dimana semua mafia dan bandit-bandit masih sering bermain seenak udelnya mereka!