Mohon tunggu...
KOMENTAR
Book

Barbarossa (Bagian ke-1)

11 Februari 2023   21:08 Diperbarui: 11 Februari 2023   21:09 208 0
Seorang laki-laki berdiri di haluan perahu layar yang sedang mengarungi gelombang Laut Aegea, kemilau bintang di langit mengiringi pelayarannya.

Kedua bola matanya yang tajam menerawang jauh ke laut lepas. Hidungnya mancung, tulang pipinya menonjol, kumis dan janggutnya yang merah dibiarkan tumbuh subur.
 
Kerasnya kehidupan di laut membuat wajahnya terlihat lebih tua dari usianya yang sebenarnya. Laki-laki itu bernama Oruc, seorang pelaut muda yang lahir dan besar di Pulau Midilli.

Oruc merupakan anak kedua dari Yakup Aga, seorang pengusaha tembikar keturunan Turki-Albania yang disegani di pulau itu.

Seperti umumnya anak-anak yang lahir dan dibesarkan di pulau dan tinggal di dekat pantai, membuat kehidupan Oruc dan saudara-saudaranya sangat dekat dengan laut. Laut yang luas bagi mereka adalah teman yang penuh dengan misteri.

Oruc dan anak-anak lainnya setiap hari menatap lautan yang luas, dan mereka meyakini masa depan mereka ada di ujung lautan itu.

"Jangan mengaku sebagai laki-laki kalau kamu takut pada laut. Laut adalah sahabat para lelaki sejati. Laut adalah masa depan kita!"

Kalimat itu selalu diucapkan oleh Yakup Aga untuk memotivasi keempat anak laki-lakinya.

Kalimat yang membuat Oruc dan saudara-saudaranya termotivasi untuk menjadi pelaut.

Setelah remaja, Oruc dan ketiga saudara laki-lakinya, Ishak, Hizir dan Ilyas ikut membantu usaha ayahnya itu. Sang ayah membagi tugas kepada keempat anak laki-lakinya.

Si sulung Ishak diminta membantu mengurusi keuangan perusahaan, Oruc yang sudah lebih dulu menyatakan keinginannya untuk menjadi pelaut, diberi tugas untuk membawa dan menjual barang dagangan mereka keluar pulau. Si bungsu Ilyas juga memutuskan untuk mengikuti Oruc berlayar. Sementara Hizir diberi tugas mengurusi produksi dan penjualan tembikar.

Saat ini Oruc sedang berlayar dari Tripoli menuju Pulau Midilli bersama empat pemuda lainnya. Mereka semuanya adalah para pelaut dari Pulau Midilli. Baru tadi siang mereka meninggalkan dermaga Tripoli untuk kembali ke Pulau Midilli.

Keempat pemuda lainnya, Ilyas, Umit, Petros dan Vasilius sedang sibuk mengatur layar agar angin yang masuk ke ruang diantara layar-layar di perahu itu memiliki kecepatan yang cukup untuk melajukan perahu mereka.

Cuaca malam ini cukup cerah. Jika tidak ada halangan, mereka akan tiba di Midilli besok pagi. Oruc tersenyum puas, misi dagang mereka kali ini bisa dibilang yang paling sukses.

Oruc dan adiknya Ilyas bersama ketiga orang anak buah mereka itu baru saja menyelesaikan misi dagang di negeri Arab. Ratusan tembikar, minyak zaitun, dan tanaman adas yang mereka bawa, semuanya telah terjual habis.

Dalam perahu itu, mereka juga membawa pulang tembakau, buah kurma, tekstil dan karpet yang mereka beli dari para pedagang Arab untuk dijual lagi di Pulau Midilli.

Tidak berapa lama kemudian, Ilyas datang menghampiri Oruc.

"Angin malam ini cukup bersahabat. Besok pagi kita akan tiba di Mitilini."

Oruc mengangguk dan menepuk pundak adiknya itu. "Iya, Alhamdulillah. Barang-barang yang kita bawa juga semuanya habis terjual. Ayah pasti akan sangat senang."

Ilyas mengangguk. "Aku juga sudah membeli kerudung pesanan ibu."

"Oh, ya. Seperti apa?" tanya Oruc.

Ilyas mengeluarkan bungkusan yang disimpan di saku bajunya, lalu mengeluarkan selembar kain sutera dan menyerahkannya ke Oruc.
 
"Lembut sekali," kata Oruc sambil mengusap-usap kain itu.
"Kata Jalil, itu sutera dari Cina," kata Ilyas lagi.

Oruc menggangguk tersenyum. "Ibu pasti sangat menyukainya."
 
Ilyas memang sangat dekat dengan ibunya, setiap berlayar dengan Oruc, dia tidak pernah lupa mencari oleh-oleh untuk menyenangkan ibunya itu.

Ilyas adalah adik bungsu Oruc, usianya masih 17 tahun. Ilyas masih terlalu muda untuk mengarungi kerasnya kehidupan di laut luas, namun keinginannya yang kuat untuk menjadi pelaut tidak tertahankan.

Meskipun ibunya berat untuk melepaskannya pergi melaut, namun dengan kegigihannya, dia berhasil meyakinkan ibunya untuk mengizinkannya pergi melaut. Tidak terasa, dua kakak-beradik ini sudah hampir dua tahun berlayar bersama.

Cuaca masih cukup cerah, tengah malam pun menjelang. Hembusan angin laut membuat Oruc mulai terserang kantuk.
 
"Sudah larut malam, adikku. Ayo, kita istirahat dulu," ajak Oruc.
 
"Silahkan. Aku masih ingin disini," jawab Ilyas.

"Baiklah," kata Oruc.

Oruc turun ke dek bawah, lalu membaringkan tubuhnya diatas tumpukan karpet dan karung tembakau. Keletihan membuatnya langsung tertidur pulas.

Ilyas masih duduk sendirian di haluan perahu sambil memandangi gelombang laut di hadapannya.

Tidak berapa lama kemudian, anak muda itu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari kantong celananya. Ilyas membuka kotak itu, di dalam terdapat sebuah cincin emas.

Tanpa sepengetahuan Oruc, Ilyas membeli cincin itu di pasar, tidak jauh dari Dermaga Tripoli. Cincin itu akan dia berikan kepada seorang gadis yang bernama Theona.

Theona adalah seorang gadis yang sederhana. Wajahnya putih-pucat, matanya biru, bibirnya merah delima, dan rambutnya yang pirang dikuncir rapi hingga punggungnya. Dia adalah anak seorang guru di Mitilini.  

Malam itu, seperti biasa, setiap akan pergi berlayar, Ilyas akan menemui Theona di bawah pohon zaitun, tidak jauh dari rumah orang tua Theona. Mereka duduk berdua di atas bangku panjang yang terbuat dari kayu.

"Besok aku akan berlayar lagi, Theona. Kami membawa banyak tembikar, minyak zaitun, dan tanaman adas untuk dijual di Tripoli," kata Ilyas antusias.

Theona tidak menanggapinya. Ilyas selalu antusias setiap mengabarkan rencana kepergiannya, sementara bagi Theona itu adalah kabar buruk.

Setiap Ilyas pergi berlayar, hati dan pikirannya selalu dipenuhi oleh kekhawatiran yang berlebihan. Theona membayangkan, hari-harinya akan kembali dipenuhi dengan rasa rindu dan cemas.

"Kenapa, kamu diam saja?" protes Ilyas.

Theona tetap diam, suasana hatinya benar-benar sedang kelabu, seperti mendung di langit malam itu.

Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Sesungguhnya, gadis itu ingin sekali melarang Ilyas untuk pergi berlayar, tapi itu tidak mungkin dia lakukan karena dia sangat paham Ilyas memang sangat menyukai pelayaran.

 "Berapa lama kamu di sana?" tanya gadis itu akhirnya.

"Tidak tahu, semua tergantung pada penjualan tembikar kami. Kami juga akan membeli tembakau, buah kurma, tekstil dan karpet di sana," jawab Ilyas.

Theona kembali terdiam. Gadis itu berhitung dalam hati, paling tidak dia harus menunggu satu sampai dua minggu lagi untuk bertemu pemuda pujaan hatinya itu. Ilyas pun menyadari kegundahan kekasihnya itu.

 "Setibanya dari berlayar, aku akan langsung ke sini menemuimu," kata Ilyas mencoba menenangkan hati gadis itu.

"Sungguh?" tanya Theona.

"Ya, aku berjanji," jawab Ilyas cepat.

Tiba-tiba suara petir di angkasa mengagetkan mereka. Langit malam semakin kelabu, ranting dan dedaunan pohon zaitun bergoyang tertiup angin, pertanda tidak lama lagi akan turun hujan.

"Malam sudah mulai larut, sebentar lagi turun hujan. Pulanglah," kata Theona.

Ilyas mengangguk, namun dia tidak bergerak dari tempat duduknya.

"Theona..." kata Ilyas sambil menatap wajah pujaan hatinya itu.

Gadis itu menoleh dan membalas tatapan pemuda itu. Sesaat mereka saling bertatapan mesra, jantung mereka berdegub kencang.

"Theona, aku sangat menyayangimu. Maukah kau berjanji untuk selalu setia menantiku?" pinta Ilyas.

Gadis itu mengangguk cepat.

"Aku akan selalu menantimu sampai kapan pun," jawab Theona mantap.  

Pemuda itu tersenyum lega, lalu mengecup dahi kekasihnya itu.
 
"Maukah kau berjanji untuk selalu kembali untukku?" pinta Theona.

Pemuda itu mengangguk cepat.

"Aku akan selalu kembali untukmu," jawab Ilyas.

Theona tersenyum manis. "Terima kasih."

"Selamat tinggal, Theona," kata Ilyas sambil bangkit dari duduknya.

"Selamat jalan, sampai jumpa lagi," jawab Theona.

Ilyas lalu melangkah pergi meninggalkan kekasihnya itu.

Ilyas meyakini Theona adalah cinta pertama dan terakhirnya. Harapannya, ketika dia telah cukup dewasa kelak, dia akan menikahi Theona dan mengajaknya berlayar hingga ke Istanbul.

Ilyas masih tersenyum menghayalkan wajah Theona sambil duduk di haluan perahunya, namun itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba di hadapannya muncul galai, kapal dayung yang ukurannya tiga kali lebih besar dari perahunya.

Kapal galai itu terus melaju ke arah perahunya, seakan ingin menabraknya. Ilyas seketika panik.

(Bersambung)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun