Kepanikan nampak jelas menyeruak dalam benak pikir tiap insan hidup di padat ibu kota. Masker jadi aksesoris terkini dan sanitizer diletakan di segala sudut strategis. Pemerintah dengan pola bicaranya yang kusut seolah menyiratkan warganya untuk waspada. Disaat genting ini hal sepele seperti batuk dan bersin harus ditahan jika tak ingin mematik curiga. Semua khawatir dengan bayang Corona.
Di beberapa kota dunia pemandangan yang serupa terjadi. Untuk penjuru tanah Italia sistem lockdown diberlakukan. Sistem yang mengharuskan setiap individu untuk melakukan isolasi pribadi. Membatasi mobilitas dan menghindari temu satu sama lain untuk memutus jalin penularan pandemi. Lockdown biasa berjalan selama 7-14 hari guna membiarkan virus mati dengan sendirinya.
Per 16 Maret, Jakarta menunjukan gelagat yang sama. Meski belum secara resmi diproklamirkan, pengurangan armada transportasi, pembatasan jam operasi, tutupnya beberapa kantor layanan publik hingga pemberlakuannya sistem work from home pada beberapa instansi mempertegas wacananya.
Sementara yang jadi permasalahan utama adalah kesiapan masyarakat dan pemerintah merespon situasi lockdown atau karantina seperti yang dituang dalam UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina. Persiapan meliputi syarat, cara hingga kewajiban pemenuhan kebutuhan dasar yang harus tetap dipenuhi.
Dari segi masyarakat sendiri agaknya wajib teredukasi mengenai apa yang akan terjadi selama masa karantina berlangsung guna menunjang keefektifan tindakan yang diambil dan menghindari kepanikan masal. Selain itu harus ada kesepakatan antar masyrakat dan pemerintahan guna menghindari miskomunikasi dan perbedaan presepsi. Terutama penerangan polemik terdasar pada masyarakat urban ikhwal perekonomian yang harus tersendat lajunya sementara waktu. Untuk itu sosialiasi ekstensif agaknya harus kelak dilakukan sebelum penerapannya benar dilakukan.