Lebih baik memiliki seorang pemimpin yang otoriter namun tahu dan berani bertindak benar daripada pemimpin yang tunduk pada desakan dan kemauan golongan sepihak.
Namun, sejarah mencatat bahwa pemimpin kuat (otoriter) yang membawa perubahan (positif, maupun negatif), biasanya menyebabkan anomali sistemik. Sepeninggalnya, biasanya akan muncu protes yang menentang saat kepemimpinannya, namun akan terbentuk pondasi negara yang kuat. Pemerintah menjadi lebih kuat dibandingkan negara yang diwakili oleh konstitusi dan UU. Sebut saja Singapura di bawah pimpinan Lee Kuan Yew contohnya.
Belakangan ini sedang terjadi isu panas penistaan agama yang menyeret nama Calon Gubernur Petahana DKI Jakarta, Ahok. Isu yang diangkat oleh seorang mantan dosen LSPR yang menyebabkan pro-kontra di masyarakat. Di satu sisi ucapan Ahok memang sekilas terdengar kasar namun jika ditelaah secara cermat oleh pihak yang berwawasan dan berkepala dingin, maka dengan mudah dapat disimpulkan maksud dari ucapannya yang tidak bermaksud menyerang/menistakan. Namun di lain sisi, ada pihak yang tersinggung, terlebih karena agama adalah masalah yang sensitif. Situasi tambah memanas dengan dikait-kaitkannya isu ini dengan masalah politik. Dengan adanya provokator dengan tujuan apapun, baik itu membela agama maupun menjegal lawan politik, namun yang jelas hal ini sudah menjadi masalah yang besar.