Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Just Go(d) - Bagian 3

2 Agustus 2014   00:10 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:39 40 0
Suara klakson itu segera membuat kepala semua orang di sekitar situ menoleh. Cukup panjang untuk mengindikasikan yang membunyikannya tidak cukup sabar menghadapiku yang kembali kehilangan fokus. Aku cepat-cepat mengarahkan sepedaku kembali ke jalur yang benar. Tanpa ada jeda sedikit pun, mobil itu langsung melaju kencang. Pengemudinya terlihat menggumamkan sesuatu dengan muka mengkerut.

Ah, biarlah. Aku kembali mengayuh sepedaku. Jalanan pun kembali normal.

Entah kenapa aku akhir-akhir ini terlalu banyak melamun, membuatku kehilangan konsentrasi pada berbagai kondisi. Sudah dua kali aku hampir celaka oleh sebab yang sama hari ini. Entah. Pikiranku tidak keruan. Tidak jelas lagi apa yang sebenarnya aku pikirkan dan apa yang aku rasakan. Jadi ku biarkan saja.

Baru 2 hari berlalu sejak kejadian itu. 2 hari yang penuh kesunyian dan keheningan. Selama 2 hari itu pula pikiranku tak menentu entah kemana. Dan efeknya masih ada hingga sekarang.

Beberapa menit kemudian, seperti biasa, aku memarkir sepeda dan langsung duduk di tempat biasa, yang saat itu masih kosong. Taman tidak seramai biasanya, atau mungkin itu hanya perasaanku saja. Beberapa anak-anak terlihat tengah asik bermain di bawah salah satu pohon. Aku duduk agak lama sendirian menatap kejauhan.Entah kenapa aku hanya ingin duduk saja menikmati angin dan matahari, tanpa buku di tangan.

Hingga akhirnya yang sebenarnya aku harapkan muncul juga. Terdengar suara batuk-batuk kecil.

“Han? Tumben, kau selama ini kemana saja?” Sumber suara batuk itu berbicara dan mendekat.

“Mencari kebenaran, mungkin” kataku singkat mengangkat bahu. “Kau tak apa?”

Baru seminggu tak bertemu, keadaannya semakin tak kuasa ku lihat. Aku bantu dia duduk, sementara ku dengar nafasnya membentuk suara bagai biola yang asal digesek.

“Makasih Han, sepertinya tubuhku makin payah saja.”

“Jangan paksakan dirimu.”

“Tak masalah.” Jawab Asa sambil terbatuk-batuk lagi. Suaranya terdengar lemah. “Aku berhenti minum obat sejak kemarin.”

“Eh?...bosen?”

“Mungkin. Tak ada gunanya lagi, semua itu hanya memperparah diriku.” Ia tersenyum sedikit.

“Yah, nikmati saja setiap detik dalam hidup.”

“Tentu, tidak dengan berbaring di kamar atau minum setumpuk obat. Kalau memang hidupku akan berakhir ya berakhir aja.”

“Kau mengatakan itu tanpa hambatan sama sekali.”

“Kenpa harus ada hambatan. Kejujuran bukanlah hambatan terhadap apapun, bahkan pada dirimu sendiri.” Tawa kecil muncul di ujung kalimatnya.

“Astaga Asa, kau meniru kata-kataku”

“Haha. Tak masalah kan? Aku tak tahu apa yang Tuhan telah berikan padaku. Toh tidak meyakini keberadaannnya tidak memberiku apa-apa.”

“Sudah memutuskan agama sebelum pergi?” Aku melirik sejenak.

“Sebenarnya aku telah punya pendirian sejak lama. Bukan seperti kau yang tidak pernah merenungi sedikit pun akan makna hidup...” Melirik balik padaku, namun dengan wajah yang tak bisa ku deskripsikan, antara sekarat dan bahagia. “Apapun namanya, apapun tradisinya, bagiku mereka semua sama. Daripada bingung, apapun latar belakangku, yang ku yakini adalah yang aku yakini, dengan semua itu aku cukup pahami.”

Jeda. Seperti biasa. Beberapa detik mengamplifikasi suara lingkungan.

“Aku bahkan meminta orang tuaku tidak memerlakukanku khusus lagi. Biar aku merasa menjadi remaja normal seperti biasa.” Lanjutnya.

Aku mengangguk. “Terkadang aku merasa yang biasa adalah yang tidak biasa.”

“Lucu Han. Dasar.” Jawabnya menyindirku. “Eh, hei, tumben kau tidak membawa apapun kesini.”

“Hmm... bosen, ya bosen aja baca buku terus, bisa mutasi lama-lama mataku.”

“hm? Tidak seperti kau bosen melakukan sesu...” Tiba-tiba ia terbatuk lagi. Kali ini lebih keras dan bahkan, darah encer keluar dari mulutnya.

Segera ku ambil kertas tisu yang biasanya aku kantongi. “Kamu menikmatinya eh?”

“Bukankah kita harus menikmati tiap detik hidup yang kita punya? Biarpun itu sakit.”

“Jika kau menikmatinya bukan sakit lagi namanya. Apa makna yang kau dapat dari sakit itu apabila itu sama saja dengan perasaan lain?”

“Hmm”. Ia diam sejenak, menatapku lekat. Bahunya kemudian terangkat singkat. “Mungkin. Kau tahu? Kemarin aku mencoba sholat, sekedar memenuhi rasa pensaranku sebelum hidupku berakhir.”

“Dan?”

“Ya begitulah. Seperti meditasi dalam buddha ataupun Yoga dalam Hindu, itu semacam pencarian kesdaran penuh akan diri sendiri dan realitas tunggal. Ya, mereka menyebutnya Allah.” Ia diam lagi. “Sejak berusaha bertindak normal, aku merasa lebih menjadi manusia.”

“Normal?”

“Maksudku tidak seperti orang sekarat.”

“Kau tak bisa membohongi tubuhmu.”

“Memang. Tapi sugesti itu penting.” Diam kembali menyelimutinya sesaat. “Kau tahu? Aku iri denganmu yang selalu bisa menganggap segalanya dengan biasa.”

“Dan aku iri denganmu yang selalu bisa mencari makna di tiap hal yang kau alami.”

Tawa seraknya muncul kembali, diikuti sedikit senyumanku.

“Oh ya.” Aku mengambil buku kecil yang ku simpan di kantong sejak tadi. “Nih”

Asa menatap sedikit bingung. “Apa ini?”

“Novel, ya daripada kau tidak mati bosan dalam kamarmu tiap hari.”

Masih dengan tatapan bingung, ia tertawa. “Makasih han, ya lumayan lah, daripada menatap langit-langit kamar yang gelap dan lembab.”

Suara klakson terdengar keras di kejauhan. Sepertinya ada yang mengalami hal yang sama sepertiku. Jalanan semakin ramai, begitu pula taman kecil ini. Biru langit mulai dikikis oranye dari horizon. Posisi kami masih tidak berubah, duduk menatap kejauhan, membiarkan pikiran kami berkelana sementara percakapan tetap berjalan.

Aku menoleh sejenak. “Hey sa, apa yang kau rasakan?”

“Hmm? Pertanyaanmu itu ambigu. Perasaan ya banyak.”

“Maksudku yang berhubungan dengan keadaanmu.”

“Entah, perasaanku sudah hampir mati seperti tubuhku sepertinya. Semua perasan itu muncul akibat dari ketidakpastian hidup, dan sekarang takdir sudah jelas tertulis untukku. Sebuah kepastian.” Ia menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Lagipula aku ingin menghadapi Tuhan dengan tenang, tidak dengan panik, atau perasaan apapun.”

“Jika memang kau akan bertemu dengan-Nya”

“Haha, apa salahnya berharap? Ia bisa menjawab semua pertanyaan-pertnyaanku.” Ia mendongak, beralih menatap langit. “Ada pernyataan menarik dari pembukaan sebuah buku : “Tuhan ada atau tidak ada, tak mesti jadi pernyataan, kerena niscaya anda tahu Tuhan sangat bisa anda lihat dengan jelas, dengan mata anda sendiri

“Dan tebak, Di saat akhir pembukaan buku-buku lain memberi ucapan selamat membaca, pada akhir pengantar buku tersebut malah tertulis “Berhentilah membaca, berlatihlah praktik, berupayalah mengalami”.

“Haha, kau menyindirku?”

Asa mengangkat bahu. “Aku tak mengatakannya.”

Tiba-tiba sepintas muncul sesuatu dalam pikiranku.

“Ei sa, kau mau melakukan sesuatu untukku?” Aku bertanya.

“Apa?”

Aku menggosok-gosokkan tangan sejenak. “Jika kau memang bertemu dengan-Nya nanti, tolong sampaikan salamku pada-Nya, plus permintaan maaf dan terima kasih.”

Asa terlihat sedikit bingung. “Permintaan aneh.” Namun kemudian ia tersenyum. “tapi tentu, kuusahakan”

Aku jadi merasa bahwa orang yang paling bahagia adalah orang yang mau mati. Siapa yang tidak bahagia akan bertemu dengan Sesuatu yang membuat manusia gelisah selama ribuan tahun, siapapun nama-Nya, apapun bentuk-Nya. Puas, bahagia. Tapi heran, malah banyak orang takut akan kematian. Ya biasalah, manusia.

***

“Tidakkah kau merasa seperti itu Zen?”

“Eh, apa?” Anak itu menoleh sejenak. Ia tengah membeli lumpia basah dari pedagang kaki lima di pinggir jalan. Entah sudah berapa kali ia jajan sejak siang hari.

“Hey, sudah berapa kali kau makan cemilan hari ini? Dasar perut gak pernah bisa penuh.”

“Ayolah fin, ceritamu selalu membuatku lapar.” Ia menyeringai lebar. “Kau bertanya apa tadi?”

“Apa kau takut mati?”

Ia melongo sesaat. “Hmm? Pertanyaanmu frontal. Kayaknya tergantung cara matinya sih.” Ia mendekat dengan sekantung lumpia basah siap makan di tangannya.

“Banyak orang takut mati, padahal tiap ada awal selalu ada akhir. Siklus yang membangun semesta. Tidakkah kau merasa aneh? Yang terindah dari matahari adalah saat ia terbit dan saat ia tenggelam. Memang yang indah dari segala sesuatu adalah awal dan akhir.”

“Karena kalau tengah-tengah masih panas” Zen menjawab sambil sedikit membuka kantung plastik di tangannya. “Fin, duduk yuk, mau ku makan nih. Gak baik makan sambil jalan, lagipula kakiku pegel sejak tadi siang jalan terus.”

“Ah payah, yaudah, di situ ada tempat duduk” Kataku sambil berjalan menuju suatu pohon yang dibawahnya ada batu besar berbentuk bangku.

Begitu duduk, tanpa menunggu ia langsung melahap makanannya. Hingga akhirnya ia berhenti sejenak. “Ah ya, mengenai pernyataanmu tadi aku setuju. Apapun prosesnya, saat proses itu berlangsung tidak pernah enak, yang menyenangkan selalu saat itu mulai dan berakhir.”

“Nah, tidakkah aneh bila orang takut mati?”

“Entahlah, karena persepsi paling. Atau takut dengan apa yang terjadi sesudah mati?”

“Beda urusan, kurasa. Karena masalah sesuatu sesudah mati tu tiap orang punya keyakinan berbeda-beda, tapi rasa takut mereka sama.”

Aku terdiam sejenak. Zen kembali meneruskan menghabiskan makananya.

Sesuatu sesudah mati. Sesuatu setelah matahari terbenam adalah malam. Seandainya orang-orang takut pada malam, apakah itu berarti mereka juga takut pada terbenamnya matahari? Ah, sudahlah.

“Kau mau melanjutkan ceritamu tidak?” Suara zen sedikit memecah pikiranku.

“Sebentar, butuh waktu untuk menyusun rangkaian peristiwa dengan baik. Memoriku tidak setajam gajah.”

***

Rumahku, yang selalu sepi.

Suara sepedaku memecah hening. Beberapa meter dari rumah, tanganku sudah menekan tuas rem.

Aku melihat ada yang sedikit aneh. Sebuah mobil yang cukup mewah terparkir di depan. Ada tamu. Sebenarnya jarang ibu atau bapak kedatangan tamu, apalagi yang kelas atas dengan mobil seperti ini. Selagi bertanya-tanya, ku tuntun sepedaku mendekat dan segera ku kunci.

Pintu terbuka. Tanpa pikir panjang, kakiku melangkah masuk.

Kebingunganku mengenai keberadaan mobil di depan rumah terjawab dengan apa yang ku temui di ruang tamu, walau akhirnya menimbulkan kebingungan lain. Bersama ibu, ada sekitar empat orang dewasa duduk rapi di kursi. Salah satunya memakai pakaian muslim, lengkap dengan peci di kepala. Yang ku kenali hanya satu, adik dari ibuku alias pamanku terlihat lebih tua sejak aku terakhir menemuinya beberapa tahun yang lalu. Meski terasa asing, aku merasa sepertinya yang lain juga keluarga ibu. Karena keadaan agama, jarang aku dapat menemui salah satu dari keluarga ibu ataupun bapak.

Semua mata mendadak beralih padaku yang masih berdiri di ambang pintu. Jeda. Hening.

“Umm... Assalamu’alaikum.” Aku berkata pelan.

“Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh.” Semua yang ada di dalam ruangan menjawab serempak.

“Statusnya kristen, tapi bisa juga mengucap salam.” Kata seseorang dengan pakaian muslim.

“Tentu, saya yang ajari dia” Ujar ibu sambil tersenyum. “Ayo Han, duduk di sini.”

Sedikit bingung, aku masih tidak bergerak dari posisiku semula. Mataku menyisir seluruh ruangan “Ada apa bu?”

“Ini adalah ustadz Fikri, dia akan membimbingmu masuk islam.”

“Islam?!”

***

“Islam?”

“Ya, dan sejak itu kalimat syahadat keluar dari mulutku.”

“Jadi kau ‘dipaksa’ masuk islam?”

“Aku tak bisa bilang itu dipaksa. Tapi ya mungkin, melihat kondisinya, saat itu sepertinya aku terpaksa.” Aku mengangguk. “Pada akhirnya semua selalu dimulai dari paksaan bukan? Ayolah, kau juga ‘terpaksa’ lahir di dunia ini.”

“Ya, dan sepertinya aku juga ‘terpaksa’ mendengar ceritamu.” Zen menyeringai. Lumpia basah di tanganya sudah habis sejak tadi.

“Dasar.” Aku abaikan kata-kata dia barusan. “Aku ingat jelas pertama kali mengucapkannya ‘Asyhadualla ila ha illallah, wa’asyhaduanna muhammad rasullullah’. Awalnya tanpa makna, namun sekarang sudah cukup memberiku banyak makna.

“Saat itu statusku beralih islam, terus apa? Ingin rasanya sekedar menikmati semua ketidakpastian seperti biasa, tapi pada akhirnya mau tidak mau pikiranku tidak bisa melepaskan diri darinya. Cerita hidupku makin terasa lucu saja. Jika dibuat serial komedi mungkin lumayan bisa laku. Ha!. Dipermainkan oleh tradisi, kepalaku jadi makin terasa aneh.”

“Fin? Ceritamu sama sekali tidak lucu.” Wajahnya mendadak berubah serius.





- Bersambung -

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun