Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Just Go(d) - Bagian 4

2 Agustus 2014   19:33 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:36 28 0
Bel berbunyi, anak –anak satu per satu keluar dari kelas. Bagaikan narapidana yang  keluar dari penjara, aku melangkah keluar dan merenggangkan badanku. Rasanya tubuh bisa berkarat juga kalau terlalu lama duduk. Entah kenapa juga dunia luar tiba-tiba jadi terasa lebih terang. Sedikit menyipitkan mata, aku langkahkan kakiku perlahan.

Terlihat sebuah gedung sederhana dengan tembok warna hijau muda. Beberapa anak yang tengah duduk di luar gedung cukup kaget melihatku mendekat. Seperti bos penjahat saja, semua mata mengarah padaku. Tidak kuhiraukan, aku duduk dan melepas sepatu.

Beberapa saat aku hanya duduk sejenak dan membiarkan kakiku lemas. Seiring waktu, tempat itu semakin ramai. Tiba-tiba punggungku ditepuk dari belakang. Seseorang jongkok dan memandangku.

“Ei Han, perasaan dulu kau bilang kamu non.” Selang beberapa detik sebelum aku mengenali bahwa itu anak yang dulu menanyakan agamaku.

Aku tersenyum. “Itu dulu.” Jawabku singkat.

Seketika aku teringat sesuatu.

“Hey, dari mana kau tahu namaku Han? Aku baru sadar juga waktu itu kau telah memanggil namaku”

Wajahnya mengkerut sedikit. “Eh, maaf, aku diberitahu temanku. Ayolah, siapa yang gak tahu orang yang selalu duduk sendiri dan membaca buku hingga sore setiap harinya?”

“Dan kau berani menyapaku padahal kita belum kenalan?”

“Apa itu salah? Komunikasi antar manusia bukan terbatas pada pengenalan secara formal bukan? Apakah kita harus ber-‘Hai, salam kenal, namamu siapa?’ ke setiap orang sebelum kita dapat menyapa?”

“Well, kalau seperti itu aku jadi mempertanyakan pepatah ‘tak kenal maka tak sayang’.”

“Itu kalau makna kenalmu sempit, sebatas nama. Aku tidak tahu namamu sebelumnya pun, aku mengenalmu sebagai anak kutu buku.”

“Apalah arti sebuah nama.”

“Ngomong-ngomong, hai Han, namaku Rayya. Salam kenal.” Tangannya menjulur.

Aku sambut tangannya dan kita pun berjabat tangan. “Oh, hai juga Ray, salam kenal.” Setelah berpandangan sejenak, tawa kita meledak bersama-sama. Semua mata seketika mengarah pada kami beberapa saat, sebelum semua pemilik mata itu kembali ke urusan masing-masing.

Beberapa saat hanya ada tawa dan suara obrolan anak-anak lain.

“Jadi kau mu’allaf akhirnya?” Ujarnya kemudian.

“Masih status aku rasa” Aku mengangkat bahu.

Ia tertawa. “Kau akan tahu Han. Ayo ambil wudhu, sudah tahu caranya kan?”

Tak menjawab, aku hanya tersenyum dan berdiri.

Aku menatap atap bangunan itu, pantulan cahaya matahari membuat benda berbentuk kubah lancip itu seakan bersinar. Sebuah kebiasaan baru. Rutinitas baru. Terdengar suara lantunan yang orang-orang sebut iqamah, tanda ritual sudah mau dimulai, aku bersama Rayya mempercepat langkah.

***

“Jadi anak itu bernama Rayya?” Zen bertanya.

Kami masih duduk di bawah pohon, menatap kendaraan yang tiada henti berlalu di jalanan, mengeluarkan suara-suara seperti nyamuk sebagai akibat dari efek Doppler. Aku jadi teringat sebuah fakta ilmiah yang mengatakan manusia modern menghabiskan 1/3 dari energi tubuhnya hanya untuk menahan suara yang masuk ke telinga. Boros.

“Yup, itu perkenalan paling konyol yang pernah ku alami sepertinya. Sejak saat itu aku jadi tidak canggung pada siapapun yang belum ku tahu namanya.” Aku tertawa sejenak.

“Tapi jangan sok kenal juga Fin, orang-orang jadi menganggapmu gila entar.” Tangannya terenggang ke atas, diikuti hembusan napas.

“Kapan-kapan kau harus gantian bercerita Zen.” Ujarku.

“Santai fin, hidupku tidak menarik untuk diketahui. Lagipula aku tidak pandai bercerita.” Kali ini ia memutar badannya lebih dari 90 derajat ke kanan dan ke kiri. Aku bisa mendengar suara tulangnya gemeretak. “Bagaimana rasanya saat itu?”

“Berpindah agama terasa berbeda sih awalnya, termasuk orang-orang di sekitarku.” Kembali aku menatap langit, menstrukturkan memori dalam bayang-bayang.

***

Bel sekolah berbunyi cukup lama, menandakan waktu pulang telah tiba. Anak-anak terburu-buru keluar kelas begitu guru di depan mengakhiri pelajaran. Aku masih duduk santai di bangkuku.

Beberapa lembar lagi satu bab selesai. Tanggung.

Sampai di kalimat terakhir, buku ber-hardcover itu ku tutup keras. Senang rasanya mendengar suara buku tertutup, ada sensasi tersendiri. Melihat ke sekeliling, ku sadari aku tinggal sendiri. Lingkungan sudah sepi, hanya beberapa anak yang masih mengikuti kegiatan ekstra terlihat di luar. Santai ku ambil tas dan melangkah menuju parkir.

Parkir sepeda tak jauh dari kelasku. Di sana hanya terlihat tiga sepeda tersisa. Mataku melayang pandang, ada yang tak wajar. Ku perhatikan seksama, aku mendekat ke sepedaku. Ah, memang benar ada yang tak beres. Aku berjongkok.

Ban belakang tidak lagi terlihat terisi udara penuh. Ada bekas ditusuk paku.

“Hmm? Siapa pula ini gak ada kerjaan ngempesin ban.” Aku bergumam.

Sambil ku periksa sejenak, terdengar suara langkah mendekat.

“Hei han? Kau belum pulang? Ada apa?” Pemilik langkah itu berbicara.

“Oh ray. Iya ni, kempes.” Kataku menoleh selagi menunjuk ban di depanku.

“Eh?” Ia ikut berjongkok. “Siapa yang melakukannya?”

“Entahlah.” Bahuku terangkat. “Tapi sepertinya anak-anak non. Sejak aku masuk islam sikap mereka berubah banyak padaku”

Tangannya menepuk pundakku, keras tapi tak menimbulkan rasa sakit. “Sudahlah, gak usah berprasangka buruk. Siapapun yang melakukannya, cukup ambil hikmahnya.” Ia tersenyum.

“Ya sudahlah” Aku berdiri, dengan mata masih mengarah pada sepeda kecil berwarna perak itu. “Sepertinya aku hari ini jalan saja.”

“Kau tinggal di mana?” Rayya bertanya.

“Kau tak perlu tahu.” Aku menoleh dan tersenyum padanya sejenak. “Yang jelas aku mau ke taman dulu sekarang.”

“Ya sudah bareng aja. Searah dengan tujuanku.”

“Emang kau mau ke mana?”

“Kau tak perlu tahu.” Ia mengangkat bahu, kemudian tertawa. Melihat rupanya, aku merasa ia seperti orang dengan penuh tanda tanya.

“Well, terserah padamu.”

Kami kemudian melangkah bersama ke luar gerbang sekolah. Sepertinya langit sedang ingin bersahabat saat itu. Sekumpulan awan berkali-kali menghadang ganasnya matahari, membuat suasana cukup sejuk untuk sekedar menikmati kaki melangkah santai. Sudah lama. Sejak sepeda itu diberikan padaku beberapa bulan yang lalu.

Terkadang aku merasa berjalan memiliki filosofinya sendiri. Betapa dalamnya makna melangkah murni dengan kaki, tidak dengan roda ataupun mesin.

***

“Dan karena itu kau mengajakku berjalan terus sekarang?” Zen menodongku dengan pertanyaan spontan.

Kami masih belum berpindah dari tempat kami duduk. Ku biarkan Zen istirahat dulu. Biru langit sudah mulai melebur dengan panjang gelombang yang lebih tinggi sebagai akibat dari sudut matahari yang mengubah dispersi.

“Mungkin.” Aku menepuk pundaknya. “Kau akan tahu betapa teknologi sekarang mereduksi makna satu langkah kaki”

“Dan kita berada pada zaman dimana orang mulai mengabaikan makna.” Ia merespons datar.

“Ah, kau benar-benar ingat.” Aku tertawa kecil. “Makna waktu, makna melangkah, makna melakukan apapun sebagai diri kita sendiri, semua terdegradasi.”

“Ku rasa sudah hampir 5 kali kau mengucapkan kalimat itu padaku Fin, bagaimana aku tidak lupa.” Wajahnya terlipat sedikit. “Walau sebenarnya pemahamanku belum seperti yang kau sadari.”

“Semua karena eksistensi mendahului esensi. Tidakkah kau sadar itu Zen? Makna adalah kesatuan pola, proses, dan struktur. Ketika semua dimudahkan, dimana lagi letak makna itu? Merasuk ke segala sisi, bahkan agama pun sudah kehilangan maknanya.”

“Memang Fin, aku merasa sekarang banyak yang beragama tapi tak ber-Tuhan.”

Aku menoleh, memandang Zen sejenak. “Kau sudah mulai bijak sepertinya.”

“Gara-gara kebanyakan dengar ocehanmu.” Ia terkekeh. Matanya lurus menatap jalanan yang selalu penuh dengan mesin beroda yang mengeluarkan asap tak kasat mata tiada henti.

Aku kembali meluruskan kepalaku, membiarkan mataku menangkap apapun yang ada di depan sana. Kosong. “Semua tidak berproses dengan semestinya. Bagai bayi yang lahir prematur. Zaman penuh kekacauan.”

“Mau gimana lagi” Zen diam sejenak, memperbaiki posisi duduknya. “Hei Fin, tidakkah kau berpikir, karena Tuhan ada bagi mereka yang kesusahan, ketika semuanya serba mudah, apa lagi gunanya memikirkan yang di luar rasio?”

“Kalau begitu salahkan lah semua teknologi ini.” Aku tersenyum. “Benar-benar eksistensi mendahului esensi. Orang-orang membual mengenai manfaat teknologi sampai mulut mereka berbusa pun, makna satu langkah kaki tetap tak bisa tergantikan.”

“Dan kita memang berada pada masa dimana makna tidak lagi menjadi kesadaran.”

Aku tersenyum. “Sudahlah, mau bagaimana pun aku merasa semua ini adalah kewajaran. Seperti halnya manusia purba tidak bisa menghentikan perubahan-perubahan yang terjadi pada otak mereka sendiri. Ya, perubahan tidak pernah berhenti di alam.”

“Lalu?”

“Kita nikmati saja tiap langkah kita dengan integritas. Bertahan pada dunia yang selalu dinamis. Di saat orang-orang kemana-mana terikat pada alat, bukankah kita lebih bangga bila lebih bisa bersabar dengan kaki sendiri? Cobalah pahami Zen, filosofi berjalan lebih dari sekedar kaki melangkah.” Aku berdiri. Diam sejenak menatap sekeliling. Tak ada yang bisa mengalahkan indahnya suasana sore hari.

Selama beberapa saat aku melebur diri dalam atmosfer sekeliling yang dipenuhi dengan beragam emosi, lantas menoleh pada Zenyang masih duduk. “Seperti bagaimana proses kita dalam mencari Tuhan, bukan sekedar agama yang disuap dengan kemudahan. Ayo jalan lagi Zen, sudah cukup lama kita duduk.”

“Duh.” Wajahnya mendadak lemas, walau akhirnya ia berdiri juga. “Aku jadi merasa sebagai manusia kita memang harus pandai mengambil hikmah. Memaknai segala sesuatu.”

“Bukankah di situ makna kebijaksanaan?” Aku diam sejenak menatap langit sebelum kakiku mulai melangkah. “Ayo Zen, keburu sore.”

***

Suasana yang persis sama juga mengiringi perjalananku dari sekolah sore itu. Bersama Rayya. Pada dasarnya aku menyukai kesendirian, menikmati dunia dengan pikiran sendiri, membuatku jarang melakukan sesuatu bersama orang lain. Tapi sepertinya akhir-akhir ini banyak yang berubah, kemarin Asa, sekarang Rayya, duh. Mungkin memang aku tak akan bisa mencegah perubahan yang terjadi pada diriku sendiri.

“Hey Han.” Ujar Rayya spontan menarikku keluar dari lamunan. Tanpa ku sadari sejak keluar dari gerbang sekolah kami hanya diam membisu. “Kau tak banyak bicara eh?”

“Hm? Tidak juga, sedang meresapi seluruh atmosfer sore hari saja.” Aku memandang sekeliling. Beragam fenomena terjadi dalam satu bingkai realita. Tidak ada yang bisa mengalahkan suasana sore hari, aku rasa. Banyak yang bilang pagi hari adalah suasana terbaik dalam 24 jam, tapi entah kenapa, akhir dari perjalanan matahari, tetap yang terindah bagiku.

Jalanan mulai kembali memenuhi rutinitasnya, semakin ramai oleh orang-orang yang pulang kerja, sementara anak-anak terlihat melintas ke sana kemari sepulang sekolah. Penuh emosi, penuh sukacita. Akhir jadi terasa yang terbaik ketimbang awal. Di atas semua itu, kaki kami terus melangkah ringan.

Rayya tertawa kecil. “Kau memang melankolis Han. Sudah ku tebak sejak dulu kuperhatikan kau selalu sendiri.”

“Biarin.” Jawabku singkat datar.

“Han, kau kenapa pindah islam?” Tanya Rayya, cukup membuatku kaget dengan pertanyaan langsung seperti itu. Tapi kejadian akhir-akhir ini membuatku terbiasa dengan hal-hal frontal.

“Ah, suatu hal yang panjang. Tapi singkatnya, dipaksa.” Kataku setelah berpikir beberapa detik.

“Dipaksa? Seperti hal yang berat. Disengaja atau tidak, ku rasa agama jadi terkesan keras bila terasa ‘dipaksa’”

Not literally Ray. Aku tahu agama harus dilaksanakan sepenuh hati, apapun itu. Yaa, walau menimbulkan banyak pertanyaan”

“Pertanyaan akan selalu ada bagi mereka yang ragu.” Ia melirikku sambil tersenyum.

“Mungkin. Sejak dulu keraguan selalu menguasaiku. Toh ini yang membuatku senang membaca. Keraguan membuat selalu ingin tahu. Tak apalah.”

“Agama itu keyakinan Han. Dan yakin adalah antonim dari ragu.”

“Well, entahlah, aku masih belum bisa memutuskan. Jadi terkesan wajar bila agama mencegah kita terlalu banyak bertanya.” Aku mengusap-usap dagu sejenak, berpikir, sebelum akhirnya kepikiran sesuatu. “Ray, apa agama yang menentukan tidakanmu? Apa agama yang menentukan perasaanmu?”

Rayya menggaruk-garuk kepalanya. “Hmm, gimana ya. Aku sendiri masih bingung apa aku punya kehendak bebas. Semua tindakan dan perasaanku pastilah dipengaruhi persepsi. Persepsi timbul dari sistem keyakinan, yang secara spesifik merujuk pada agama yang dianut. Jadi ya, secara tidak langsung agama yang menentukan tindakan dan perasaan tiap orang, atau mungkin lebih tepatnya kualitas agamanya.”

Sekelompok anak-anak berjalan di seberang jalan, menyapa singkat Rayya yang dibalas dengan lambaian tangan.

“Gitu ya...” Aku terdiam, hanyut kembali dalam badai pikiran yang tak pernah reda di alam batinku.

“Hey, tak ku sangka kau malah mengajakku berdialog topik seperti ini. Kalau semua orang yang kau ajak bicara kau serang dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, tak akan ada yang mau dekat denganmu.” Ia menepuk pundakku ringan. Entah berapa kali ia melakukan itu sejak tadi siang.

“Lha kau sekarang? Lagipula aku memang suka sendiri.”

“Kebetulan aku nyambung dengan pembicaraanmu Han.”

“Orang-orang sekarang terjebak dalam ilusi. Takut untuk keluar dari zona nyaman dan mempertanyakan segalanya untuk pemahaman yang lebih baik.”

“Bukan salah mereka. Kesadaran orang beda-beda bukan?”

“Berpegang teguh pada agama masing-masing adalah yang terbaik, sebenarnya. Anggap saja itu identitas layaknya suku atau bangsa.”

“Tapi kebenaran yang terbentuk akhirnya beda-beda Ray.”

“Aku jadi ingat, Buddha Sakyamuni pernah bersabda, ‘jika kau menemukan kebenaran dalam agama atau kebijaksanaan manapun, terimalah kebenaran itu tanpa prasangka’.”

Spontan aku menoleh kaget. “Dari mana kau bisa tahu ajaran Buddha?”

Ia mengangkat bahu. “Tentu saja aku pelajari Han. Sudah lama aku tertarik untuk mempelajari Buddha, beliau memang benar-benar orang yang bijaksana.”

Aku menepuk jidatku. “Tak heran kau santai mengikuti pembicaraanku.” Aku terdiam, mataku kembali menyapu sekitar. “Dan aku cukup kaget ada yang sepaham denganku sekarang.”

“Dunia itu luas Han, bila kau kerjaannya baca buku mana kau bisa tahu pemikiran-pemikrian orang selain yang ditulis. Paradoks sih, makanya aku tidak setuju pada mereka yang mengatakan buku adalah jendela dunia.” Ia menepuk bahuku lagi. “Pengalaman tetap guru terbaik.”

“Aku hanya ingin mencari kebenaran dengan kesadaranku sendiri, tidak disuap ataupun diturunkan. Yah, walau mungkin aku harus sedikit keluar dari lembaran-lembaran kertas.” Kami berhenti sejenak. Menunggu jalanan cukup sepi untuk disebrangi. Mataku menatap kosong kendaraan-kendaraan yang melaju tanpa ada jeda. “Kau tentunya juga seperti itu Ray.”

“Tentu saja. Dalam Sutra Lamkara tertulis, ‘kebenaran sesungguhnya tidak pernah dikhotbahkan oleh Sang Buddha, sebab seseorang harus menyadarinya di dalam dirinya sendiri’. Dan sayangnya, kita tak bisa memaksa orang untuk sadar. Jadi, ya bukan salah siapapun jikalau orang-orang nyaman dengan ketidaktahuannya.” Tangannya terangkat ketika ada celah untuk melangkah, sebuah mobil pickup yang awalnya melaju kencang dari jauh melambatkan kecepatannya, memberi kami kesempatan untuk menyeberang.

“Kau benar-benar menghafal semua sutra itu?”

“Tentu saja tidak. Al-Qur’an saja masih sangat sedikit yang ku hafal. Masa’ aku lebih memahami yang bukan agamaku.” Ia tertawa singkat “Aku hanya memilih yang bagus-bagus saja untuk diingat-ingat.”

“Duh, aku malah lebih ingat bagaimana teori kuantum berkembang dan perlahan mengubah paradigma sains menuju post-modernisme.” Aku ikut tertawa.

Kami tiba di suatu pertigaan kecil. Lampu lalu lintas tetap melaksanakan tugasnya walau persimpangan itu tidak terlalu ramai. Tiba-tiba Rayya berhenti.

“Kau bukannya mau ke taman kan? Berarti di sini kita berpisah, kau lurus, aku ke kanan.”

“Eh? Rumahmu disana?”

“Enggak, aku mau ke rumah saudaraku dulu, agak jauh dari sini. Mau bantu-bantu, mumpung besok hari minggu.”

“Aku pikir kau beneran gak akan memberi tahuku tujuanmu.” Aku tertawa. “Ya sudah, sampai ketemu.”

“Duluan Han.” Ia melangkah pergi dengan tangan melambai singkat.

“Hati-hati Ray.”

Aku berdiri diam sembari menatap Rayya yang berjalan menjauh. Satu lagi ketidakpastian hidup menabrakku. Semakin membelokkan takdirku dari rencana semula yang hanya lurus-lurus saja. Perubahan memang pasti terjadi.

Siapalah aku bisa mencegah perubahan yang terjadi pada diriku sendiri.

Punggung Rayya semakin terlihat mengecil. Angin bertiup halus lembut, mengusap seluruh pikiranku dalam kesunyian sesaat. Kombinasi matahari dan angin yang menghasilkan suhu dan kelembapan berada dalam kondisi yang sempurna, ditambah langit yang mulai terlihat kehilangan warna birunya, dan suasana masyarakat yang dipenuhi sensasi dan perasaan, membuat dunia benar-benar seakan berada pada puncak keindahannya.

Setelah beberapa saat menikmati ketenangan yang tercipta, aku melihat jam di pergelangan tangan kiriku. Tanpa berpikir lagi, kakiku melanjutkan perjalanan. Hingga beberapa saat kemudian, aku sudah sampai di tempat yang biasa ku tuju setelah rutinitasku berganti.

Mataku menyisir sekeliling, celingak-celinguk dalam harapan kecil. Akhirnya ku temukan juga. Aku berjalan santai langsung menuju tempat itu, dan seperti biasa ia duduk di situ. Seorang wanita kurus kecil dengan muka pucat berisi mata yang menatap kekosongan.

-Bersambung-

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun