Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Masih Buruh vs Kelas Menengah (Ngehek)

7 November 2013   23:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:27 253 0
Kaget. Ada buruh yang berpenghasilan sebulan Rp 2,2 juta, punya motor Kawasaki Ninja 250 cc yang harganya bisa mencapai Rp 50 juta. Lucunya, si buruh tersebut ikut demo menuntut kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) menjadi Rp 3,7 juta. Ketika ditanya, dengan duit itu, baru bisa nutup cicilan motor tersebut dan hidupnya sejahtera. Itu yang ditulis media-media waktu ada demo-demo yang sempat menjadi caci maki para penduduk kota Jakarta, atau disebut oleh para pendukung buruh dengan sebutan kelas menengah (ngehek). Ada yang pakai tanda kurung dan ada juga yang tidak.

Kenapa media lebih menyorot buruh yang memiliki motor ninja ketimbang menyorot kesejahteraan yang lagi diperjuangkan para buruh itu? Ya karena buruh punya motor ninja itu sebuah nilai berita. Aneh. Sesuatu yang aneh. Jika berpikir menggunakan logika, buruh tidak akan bisa nyicil motor ninja yang harganya puluhan juta itu. Itulah yang membuat berita itu naik cetak. Dan tentu saja kita yang baca akan dibuat kesal oleh buruh. "Bisa beli ninja kok masih demo nuntut kesejahteraan?". Sepertinya ungkapan itulah yang terlintas dipikiran kita. Yang mungkin kita juga termasuk ke dalam kelas menengah (ngehek).

Banyak hujatan kepada buruh. Mulai dari bikin macet atau apalah itu. Setelah itu mulai muncul tulisan-tulisan dari para blogger yang mendukung aksi buruh. Dari yang saya perhatikan, tulisan itu mengesampingkan buruh yang punya ninja itu. Toh, tulis mereka, mereka yang gajinya tak sampai Rp 10 juta berani nyicil mobil yang harganya ratusan juta. "Masa buruh gak boleh punya motor ninja. Apa senang senang cuma punya kelas menengah (ngehek) aja? Apa cuma kelas menengah (ngehek) aja yang bisa beli sepatu nike jutaan rupiah dan mengadakan lomba maraton yang sekarang lagi ngehits sampai nutup jalan? Kami yang menuntut kesejahteraan malah dihujat."

Macam itulah tulisan mereka. Ada yang salah dari tulisan itu? Tidak. Ada benarnya juga tulisan mereka. Tanpa kita sadari, kita juga sering membuat kerugian bagi saudara-saudara kita yang kekurangan. Kita malah mungkin sebenarnya sirik dengan si buruh. Atau mungkin para pembaca punya alasan lain? Terserah. Di sini yang saya sorot adalah kesenangan dan kesejahteraan. Hal tersebut yang ada dalam masalah itu.

Cerita dikit.

Saya punya teman. Dalam urusan keuangan, dia bisa mengirit seirit-iritnya untuk beli sesuatu yang dia senangi kalau yang saya pikir, bukan kebutuhannya. Atau kalau dalam percakapan biasa, "Lo ngapain sih beli gituan?".

"Anjiiir. Keren kali ya gw kalo punya moge (motor gede. Katanya sih bisa dibilang moge kalo cc-nya di atas 250 cc)," kata teman saya itu.

"Ya semua orang make motor itu ya keren lah. Yang jelek pun keren pake motor itu," jawab saya sekenanya.

"Harus punya nih gw. Harus," jawabnya dengan penuh semangat. Kami sama-sama anak kos. Teman saya itu punya kios hp hasil patungan sama saudaranya. Jadi per bulan itu dia dapat dikirimi Rp 2 juta lah kurang lebih. Uang itu tak tentu juga sih. Tergantung keuntungan yang dia dapat. Itu uang sakunya sebagai mahasiswa. Mahasiswa lho ya.

Beberapa bulan kemudian, setelah libur lebaran, saya bertemu lagi dengannya. Dia ngedumel. Ternyata dia berani membeli motor gede 700 cc bekas  (lupa mereknya) seharga Rp 30 juta.

"Gw minjem duit tante gw dulu buat bayar itu. Ya per bulan gw ganti. Sebulan Rp 1,1 juta lah gw transfer ke tante gw. Kampret, gw makan apa ya?" dia ngedumel sendiri.

"Lha lo ngapain pake beli gituan?" tanya saya. Seperti yang saya tulis di atas.

"Mumpung ada tuh motor. Dan gw dapet murah segitu. Lumayan lah," dia masih bisa senang.

"Trus. Kenapa lo ngeluh?" tanya saya lagi. Sudah malas sebenarnya dengar keluhannya. Mengeluh tapi senang. Bingung.

"Ya itu. Kadang gw bingung mau ngapain. Makan sekarang sehari sekali gw," ucapnya memelas.

"Ya derita lo lah. Kalo mau seneng ya jual aja. Simple," kata saya.

"Lha jangan. Sayang tu motor. Bagus," alasannya.

Itu sedikit cerita dari saya. Ada yang cukup menyentil cerita dari saya. Kalau kata saya, kesenangan itu tidak bersifat mutlak. Kaya itu senang. Tidak. Kesenangan itu milik orang masing-masing. Menurut versi mereka. Pernah lihat ada orang beli mobil-mobilan hot wheels harga ratusan bahkan jutaan rupiah? Kalau ditanya "ngapain?" pasti jawaban mereka "karena gw seneng aja".  Kesenangan itu gak ada batasnya. Senang menurut mereka belum tentu menurut kita. Kita malah mungkin bilang itu nyusahin.

Sama dengan kesejahteraan. Bisa diukur darimana kesejahteraan itu? Gak tau diukur darimana. Kalau ada yang bisa kasih tahu. Toh, ada pedagang cilok yang bisa menyekolahkan anak dan bisa makan dan bahkan bisa memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Padahal penghasilan tak tentu.

Dari peristiwa buruh vs kelas menengah (ngehek) ini adalah kita seharusnya bisa belajar berhemat. Saya yakin, di antara kita jika dapat uang Rp 10 juta secara tiba-tiba, pasti akan membeli sesuatu yang kita ingin tanpa kita ketahui manfaatnya. Kadang seperti itu. Ya, mulailah berhemat. Rp 3,7 juta pun bisa habis seketika dan bilang belum sejahtera dengan uang segitu apabila gaya hidup kita tidak berubah. Ini untuk semua ya. Gak cuma buruh aja. Ato kelas menengah (ngehek) aja. Ini semua tergantung kita menyikapinya. Ada orang yang hanya hidup dengan uang sebesar Rp 1,5 juta saja. Itu bisa terjadi buat mereka yang sudah berkeluarga lho. Gak usah sirik-sirikan. Toh dalam Al Qur'an tertulis:

“Dan janganlah kamu tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan di dunia, agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.” (Thaha: 131).

Hiduplah sesuai kebutuhan. Hiduplah sesederhana mungkin. Nyadar diri. Senang sih senang. Tapi jangan menyusahkan diri sendiri. Apalagi menyusahkan orang  lain.  Ya, kali ini saya mencoba menjadi Mario Teguh dengan kalimat-kalimat positif. Pada kenyataannya? Itu saya kembalikan pada Anda. Kalau gak sesuai  dengan kenyataan jangan salahkan saya.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ” (QS 13:11).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun