"Eh, gambar di sini bagus kah?" "Bagus. Emang mau nonton apa?" "Mau nonton YKS." Percakapan di atas merupakan percakapan yang dilakukan oleh saya dan teman baru saya dari Palu, Sulawesi Tengah. Namanya Ajis. Dia baru kos di tempat yang sama dengan saya. Dia akan kuliah pascasarjana di Bandung. Percakapan di atas terasa lucu, kan? Itu pertanyaan pertama ketika baru selesai beres-beres kamar kosnya yang baru. Sebegitu pentingkah YKS -- sebuah acara komedi diÂ
Trans TV -- hingga dia menanyakan hal itu? Buat saya, dan mungkin buat yang lain, YKS salah satu acara yang tak layak tonton. "Acara Sampah!" kalo kata mereka. Menurutnya, acara-acara semacam itu banyak ditonton oleh warga-warga sana. Mungkin itu pula yang membuat program itu bertahan hingga lima bulan. Ya, lima bulan. Program sahur yang berlanjut hingga kaum muslim selesai dengan puasa ramadhannya. Mungkin saja program ini akan lanjut hingga bulan ramadhan tahun depan. "Kau masih nonton YKS?" lanjut saya menjawab pertanyaan di atas. "Iya. Kami semua nonton itu," katanya. "Di sini, udahÂ
eneg lihat acara itu," kata saya. Dia hanya tertawa. Saya tertawa. Kami tertawa. Ya, lucu memang. Acara yang kata dia pengisi acaranya bahkan tak lucu tetap dia tonton. Ada adegan-adegan yang lucu walaupun itu sedikit. Lumayan kalau kata dia. Dalam benak saya, semboyan negara Indonesia yang berbunyi Bhinneka Tunggal Ika perlu diperhatikan lagi. Berbeda-beda tetap satu juga itu suatu hil yang mustahal. Pernah nonton film Warkop DKI yang awal-awal? Yang bercerita mengenai kehidupan mahasiswa di Jakarta. Stereotip apa yang ada dalam film itu? Yang paling mengena di hati saya adalah perbedaan antara mahasiswa Jakarta dengan mahasiswa asal daerah. Kalau dalam film itu, mahasiswa daerah diperankan oleh Dono yang berasal dari daerah di Jawa Tengah. Di situ pasti diceritakan, mahasiswa asal daerah ituÂ
ndeso,Â
gak gaul,Â
cupu, dan semacamnya. Stereotip itu langsung tertanam dalam kepala kita. Bahkan hingga sekarang. Saya yakin banyak dari Anda yang bakal tertawa ketika mendengar logat kawan Anda ketika berbicara dengan bahasa daerah. Atau bahkan yang paling parah adalah menertawakan kelakuan kawan Anda itu yang bertingkah norak ketika menginjak tanah Jawa ini. Walaupun jarang, pasti Anda pernah lah. Namun coba perhatikan sekarang-sekarang ini. Hal tersebut sangatlah berbeda. Orang daerah yang kuliah di Jawa merupakan orang berduit. Coba tanya kawan Anda yang berasal dari daerah terutama di luar Pulau Jawa mengenai pekerjaan ayah mereka. Rata-rata ayah mereka bekerja di perusahaan luar negeri yang ada di Indonesia. Mereka dari golongan berada. Stereotip mengenai orang daerah yangÂ
cupu dan sebagainya itu tak berlaku sekarang. Mereka, yang berduit tentunya mampu mengimbangi gaya hidup orang-orang Jakarta. Coba perhatikan. Kedatangan Ajis, kawan saya dari Palu ini membuat saya semakin bertanya soal ini. Soal yang berduit bisa mudah kuliah di Jawa, soal Jawa adalah segalanya, soal lulusan kampus di Jawa yang sangat prestise, hingga orang Jawa yang "wah" di mata orang-orang daerah. Saya di sini bukan mau membeda-bedakan antara orang Jawa dengan yang di luar Pulau Jawa. Justru saya ingin membuat orang-orang yang membaca ini sadar bahwa inilah Indonesia. Indonesia yang penuh warna. *** Bandung dingin sekali saat itu. Kami hanya duduk di kamar sambil nonton tv. Kami bertiga, saya, Ajis, dan kawan saya satu lagi. Kebetulan acara yang kami tonton YKS. "Kau sama teman-teman kau memang sering nonton ini?" tanya saya kepada Ajis. "Iya. Kami selalu nonton ini," jawab dia. "Ooooh, acara lain yang orang sana tonton apa lagi?" tanya teman saya. "Macam sinetron-sinetron itulah. Muhidin, Kian Santang, OVJ, sama acara-acara kayak fesbukers," jawabnya sambil menyebutkan tokoh dan acara-acara yang memang ada di stasiun televisi Indonesia. Mungkin inilah yang membuat acara-acara semacam ini masih bertahan di jagad pertelevisian Indonesia. Mereka yang menonton itu. Kita yang di kota-kota besar mungkin muak dengan acara tersebut. Saya banyak melihat kawan saya mulai menulis cuitan di twitter soal kemuakan terhadap acara-acara tersebut. Tanpa mereka sadari, ada orang yang sangat butuh acara-acara tersebut. Coba Anda bayangkan jika semua stasiun televisi di Indonesia program-programnya sepertiÂ
NET TV, sebuah stasiun televisi baru yang kata orang merupakan televisi dengan program-program mendidik, bagus, cerdas pokoknya. Betapa bosannya mereka. Berterimakasihlah kepada orang yang buat acara joget-joget itu. Setidaknya tv di Indonesia punya segmen masing-masing. Dari tv aja kita berbeda. Karena memang kemajuan yang di dapat masyarakat daerah berbeda. Timpang. Terlebih sangat jauh. Ajis kembali melanjutkan ceritanya soal perbedaan yang sangat jauh antara tempat ia tinggal di Palu dengan kami yang di Jawa. Ia mulai bercerita mengenai pelajaran bahasa inggris. Ia mengungkapkan mendapatkan mata pelajaran tersebut saat kelas duduk di kelas satu SMP. "Kalian pasti dari SDÂ
kan?" tanya dia. "Aku dari kelas satu SD kalau gak salah," jawab saya. "Kalau aku di Kebumen dari kelas tiga SD," jawab teman saya satu lagi. "Trus, emang benar lebih gampang dapat pekerjaan di sana kalau lulusan dari Jawa?" tanya saya. "SERATUS. Benar itu. Misal kau lulus dari Unpad, lebih dipandang daripada lulus dari universitas di tempat saya kuliah. Malah, kalau kau S1 di Unpad, terus kau ambil S2 di kampus daerah saya, dipikir-pikir lagi ijazah kau. Soalnya kau S2 di kampus daerah bukan di Jawa," jawabnya panjang lebar. "Wah, berarti kau bisa langsung dapat lah nanti," lanjut saya. "Iyalah. Makanya aku kuliah di sini," kata dia. "Oya, kalau aku bilang anak-anak luar Jawa yang bisa kuliah di sini anak orang kaya semua benarÂ
gak?" tanya saya. "Benar. Kawan aku yang kuliah S1-nya di Jawa memang orang berada. Beruntunglah mereka yang bapaknya berduit. Kuliah di sini mudah sekali. Sedangkan kami yang orang biasa saja, ke Jawa itu 'wah' sekali," jawab dia. "Wah berarti kau sama dongÂ
kayak mereka?" tanya saya lagi. "
Gak. Orang tuaku PNS biasa. Guru. Kebetulan ada uang untuk kuliah S2. Lumayan dapat ijazah kampus di sini," sergahnya. KamiÂ
juga bercerita, bahwa tak selamanya orang-orang di Jawa itu sama. Pada kenyataannya, kami, bisa dibilang hidup berkasta-kasta. Ada yang bergaul dengan kaum atas, ada yang biasa, dan ada yang bergaul dengan kelas bawah. Hal tersebut tergantung orangnya juga sih. "Kalian pernah berpikir untuk keluar Jawa?" lanjut dia. Saya dan teman saya hanya terdiam. Berpikir. "Pasti kalian
gak mau," jawab dia pasti. "Coba kalian lihat, kami dari daerah pastiÂ
study tour ke kota-kota di Pulau jawa. Kalian yang dari JawaÂ
gak mungkinÂ
kan study tour ke Palu misalnya." "Hahahaha. Iya juga ya," jawab saya sekenanya. Siapa yang mau tinggal di luar Pulau Jawa? Hanya sebagian kecil dari kita yang mau tinggal di luar Jawa. Banyak dari kami menganggap di luar Pulau Jawa itu sepi. Tak ada kehidupan. Hidup susah di sana. Tak ada mall, cafe, atau apapun lah itu yang menurut Anda tempat bersenang-senang. Mungkin benar. Yang dikatakan Ajis banyak benarnya. Perbedaan yang sangat jauh membuat segalanya berbeda. Mulai dari pendidikan hingga ekonomi. Padahal di satu negara. Dia bahkan mengakui, orang-orang dari Jawa begitu dipandang ketimbang orang dari daerah itu sendiri. Karena itu ada rasa gondok dalam hati orang-orang di daerah terhadap orang-orang Jawa. Jawa laksana surga. Hidup layak di sana, semua media berpusat di sana, gaya hidup pun bercermin dari sana. Padahal, tak semua yang ada di Pulau Jawa ini harus mereka ikuti. Namun, dilihat dari sejarah, Pulau Jawa memang pusat segalanya. Pada kenyataannya kita masih mengalami ketimpangan yang sangat jauh. Dia sangat menyadari hal itu. Minder? Jelas kata dia. Minder merupakan hal yang wajar bagi orang biasa dari daerah ketika tiba di Jawa. Dia bahkan mengatakan, banyak orang-orang di daerahnya hanya ingin ke Jawa saja. "Pasti kalian inginnya ke luar negeri," kata dia. Ya. Jujur saja, semua orang pasti ingin ke luar negeri. Terlebih untuk orang di Jawa. Ke luar negeri mampu meningkatkan derajat. Hal tersebut sama dengan mereka yang dari daerah, yang mampu pergi ke Jawa. Ya, inilah Indonesia dengan segala pernak-perniknya. Mungkin inilah yang dinamakan berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Saya bisa mengenal Ajis dan mampu bertanya dengan gamblang mengenai perbedaan-perbedaan yang mencolok di antara kami. Bahkan dengan tawa tanpa pukul-pukulan. Mungkin saya tarik kembali kata-kata saya soal Bhinneka Tunggal Ika itu hil yang mustahal. Semboyan ini benar adanya. Perbedaan yang membuat Indonesia ini ramai. Coba kalauÂ
gak ada YKS,Â
gak bisa kita komentarin acara itu "Acara Sampah!". Atau yangÂ
gak suka dengan lawakan Stand Up Comedy, kalauÂ
gak ada program itu, mana bisa kita berkata nyinyir, "Apaan sih?
Gak jelas". Inilah Indonesia dengan segala ketimpangannya.
KEMBALI KE ARTIKEL