Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Pare, Edukasi Wisata dan Pelarian Sementara

27 November 2013   00:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:38 238 0
Ada suatu tempat di mana orang dari berbagai usia dari penjuru Indonesia berkumpul, belajar, dan hidup bersama. Dari remaja SMP, SMA, dan pemuda-pemudi mahasiswa. Bahkan seorang dosen berumur hampir empat puluh, awak kapal barang, staf penerbangan berusia tiga puluhan, juga ibu satu anak yang sedang gendut perutnya karena mengandung putra kedua, berkumpul bersama di sana. Mereka berasal dari Jakarta, Padang, Palembang, Bengkulu, Bogor, Surabaya, Samarinda, Makasar, Malang, dan kota-kota di Indonesia lainnya yang tak cukup disebutkan satu-satu. Berpusat pada satu desa sederhana di satu kota kecil yang kata mereka memiliki banyak kenangan di dalamnya; Kota Pare. Pare, sebenarnya adalah nama kecamatan dalam Kota Kediri. Namun anak-anak nusantara yang tinggal di sana lebih suka menyebutnya dengan kota kecil, dengan sebuah desa sederhana bernama Tulungrejo di tengah-tengahnya. Tempat berkumpulnya mereka yang berbeda usia dan dari berbagai penjuru Indonesia dengan satu tujuan yang sama; belajar Bahasa Inggris. Desa itu lebih terkenal dengan sebutan Kampung Inggris Pare. Dan mereka yang berasal dari berbagai penjuru Indonesia berbondong-bondong datang ke sana untuk mendalami Bahasa Inggris. Mereka lebih memilih datang jauh-jauh ke Kota Kediri di Jawa Timur, lebih dalam lagi ke kota kecil Pare, ke suatu desa sederhana bernama Tulungrejo, ketimbang belajar Bahasa Inggris di lembaga-lembaga kursus nan bonafit di kota-kota besar tempat mereka tinggal. Sebut saja lembaga kursus Bahasa Inggris yang sudah terkenal namanya seperti LIA, English First, atau Wallstreet yang bisa menjamin siswanya bercas-cis-cus dalam Bahasa Inggris. Namun ternyata Kampung Inggris Pare bukan hanya soal belajar dan mendalami kemampuan berbahasa Inggris. Kampung sederhana ini bisa disebut sebagai destinasi wisata, atau lebih mendalam lagi, pelarian sementara dari kehidupan nyata. Kisah terciptanya sebuah desa dengan sebutan Kampung Inggris ini berawal dari seorang laki-laki bernama Kalend Osen. Pria kelahiran 4 Pebruari 1945 ini berguru pada seorang uztad bernama KH Ahmad Yazid yang menguasai delapan bahasa asing di Pare. Kalend muda berguru dan tinggal di Pesantren Darul Falah di Desa Singgahan guna menguasai Bahasa Inggris. Hingga akhirnya satu hari yang membuat banyak perubahan di masa depan itu tiba, Kalend didatangi oleh dua orang mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya yang datang ke Pondok Pesantren Darul Falah untuk mencari Uztad Yazid dengan tujuan yang sama seperti Kalend. Sayangnya KH Ahmad Yazid sedang keluar kota, dan dua mahasiswa tersebut diserahkan kepada Kalend Osen. Pria pendiri Kampung Inggris itu diberikan soal dan mengajari dua orang mahasiswa yang akan mengikuti ujian negara dalam dua pekan kedepan. Dan dua mahasiswa Surabaya itu merasa puas mendapat pengajaran dari Kalend. Alhasil, satu bulan kemudian dua mahasiswa tersebut kembali dan mengabarkan berhasil lulus ujian. Di sinilah awal mulanya ketika mahasiswa-mahasiswa itu menjadi pengiklan dari mulut ke mulut hingga tersohornya kemampuan Kalend Osen. Pada 15 Juni 1977, Kalend mendirikan lembaga kursus pertama di Pare dengan nama Basic English Course (BEC). Lembaga kursus Bahasa Inggris yang tak hanya mengajarkan materi Bahasa Inggris, tapi juga nilai-nilai agama dan kecakapan akhlak. Yang akhirnya diikuti oleh lembaga-lembaga kursus lain yang mulai bermunculan hingga terbentuk satu desa dengan sebutan Kampung Bahasa. Jalan yang tidak besar, tak sering dilalui kendaran bermotor. Lebih banyak orang-orang berkendara menggunakan sepeda bermacam gaya. Sepeda kumbang tua, fixie, sepeda balap, atau sepeda warna-warni dengan bel dan keranjang di depannya. Di kiri kanan jalan berderet rumah-rumah sederhana, atau tempat-tempat kursus Bahasa Inggris dengan bermacam nama, masih sama sederhananya. Tak ada bangunan mewah dan tinggi seperti di kota. Di beberapa lokasi yang letaknya agak jauh dari pemukiman, kebun dan ladang jadi pemandangan yang bisa dinikmati untuk bersepeda pada pagi atau sore hari. Tentu saja dengan aktivitas penduduk desa Tulungrejo dengan segala kesibukannya. Di satu jalan yang menjadi jantung Desa Tulungrejo, Jalan Anyelir namanya, kiri kanan jalan berderet lembaga-lembaga kursus dan tempat kos atau asrama. Jika bersepeda atau berjalan kaki di jalan itu, akan terdengar koor pelajar yang bersuara dalam bahasa Inggris. Atau, hanya sunyi yang dapat dilihat dengan ketekunan pelajar mendengarkan tentor yang mengajar di bawah pohon rindang. Ya di bawah pohon rindang. Lembaga kursus di Pare memang tak menyediakan kelas seperti adanya di kota-kota. Tetapi ‘kelas’ dengan bermacam adanya, ‘kelas’ yang bisa berbentuk apa saja. Bisa di bawah pohon rindang, gazebo, bale, ruang tamu rumah, atau di pinggir sawah dengan menghirup udara desa pagi-pagi. Di Kampung Inggris, setiap waktu selalu berbeda aromanya. Pukul tujuh pagi akan selalu dihiasi dengan para pelajar yang serentak berlalu lalang menggunakan sepeda dengan wajah-wajah segarnya. Mereka baru ‘keluar kandang’ dan menuju kelas pertamanya hari itu. Agak siang, jalan-jalan di Desa Tulungrejo sedikit sepi karena matahari Kota Kediri lebih menyengat dari Matahari Jakarta. Hanya ada beberapa pelajar yang bersepeda seusai kelas atau hendak mencari makan siang. Para pelajar lebih senang mendekam di kamar kos atau asrama atau bahkan belajar di ‘kelas’ untuk menghindari sengatan matahari. Dan udara sore hari memang diciptakan untuk bermain. Sore di Pare para pelajar itu kembali keluar dari kandangnya lagi untuk mengikuti kelas tambahan. Bersepeda dengan suasana desa yang ramah. Di kanan kiri berderet bermacam kuliner dari berbagai daerah dan murah-murah. Misalnya saja untuk satu porsi mie ayam seharga Rp 4000, Soto Lamongan plus nasi yang dibandrol Rp 5000, atau nasi seharga Rp 3000 dengan lauk sayur, tempe atau tahu, dan tumisan kerang. Ada juga prasmanan yang bisa mengambil nasi dan sayur sepuasnya ditambah ayam bakar seharga Rp 5000. Jika ingin tetap sehat, harga jus bermacam buah di sini juga mulai Rp 4000 hingga paling mahal Rp 8000. Kehidupan di Kampung Inggris tak berhenti sampai di sore hari, selepas maghrib, setelah para pelajar bebersih diri di asrama atau kos masing-masing, mereka kembali lagi ke tempat kursus untuk berkumpul mematangkan pelajaran yang didalaminya sesiang tadi. Padat memang, tapi bukan berarti tak menyenangkan. Lebih dari 180 lembaga kursus yang tersedia di dalam Kampung Inggris, juga dengan berbagai macam harga yang membuat tangan tak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Biasanya, lembaga kursus menyediakan kelas per mata pelajaran atau program yang akan diambil. Kelas ini berdurasi selama dua minggu dengan waktu belajar Senin sampai Jumat. Kisaran harga bermula dari yang paling murah Rp35.000 sampai Rp125.000. Namun rata-rata lembaga kursus memasang tarif per kelas berkisar antara Rp80.000 sampai Rp100.000. Ada juga lembaga kursus yang sudah menyediakan paket bagi pelajar agar tidak perlu bingung-bingung memilih kelas yang diinginkannya. Dan biasanya lembaga kursus menyediakan opsi paket program beserta fasilitas asrama. Di salah satu lembaga kursus ada yang menyediakan paket tiga kelas reguler Bahasa Inggris dengan dua tambahan program di asrama seharga Rp400.000 untuk dua minggu masa belajar. Sedangkan bagi yang memiliki waktu satu bulan penuh disediakan paket dengan lima kelas reguler, dua program tambahan di asrama, dan fasilitas asrama itu sendiri seharga Rp600.000. Gunanya asrama di sini adalah untuk membantu pelajar dalam mematangkan kemampuan berbahasa Inggrisnya. Betapa tidak, di setiap asrama diberikan aturan untuk menggunakan Bahasa Inggris dalam bercengkrama sesama penghuni asrama lain selama setiap hari. Bila ada yang berani melanggarnya, hukuman siap dijatuhkan bagi mereka yang menggunakan bahasa lain selain Bahasa Inggris di English Area. Mereka yang memilih asrama sebagai tempat tinggalnya mau tak mau harus hidup bersama dengan pelajar lain di asrama tersebut. Tidur satu kasur bertiga sampai berlima, mandi dalam kamar mandi bersekat berbarengan yang juga harus antri, dan segala hal yang dilakukan di rumah harus bersama-sama. Selain itu, setiap pelajar yang tinggal di asrama harus siap bangun subuh-subuh untuk belajar bersama selepas melaksanakan solat subuh berjamaah. Kegiatan belajar non-reguler tersebut juga dilakukan selepas maghrib di aula lembaga kursus masing-masing. Tujuannya masih belajar bersama, namun kali ini dengan mempertemukan beberapa asrama pria dan wanita dalam satu lembaga kursus. Yang paling sering dilatih dalam acara yang disebut Gathering ini adalah percakapan dan tampil ke depan alias melatih kepercayaan diri. Ya, berpidato. Kota Pare yang berada di provinsi Jawa Timur juga tak kalah religius dibanding kota-kota Jawa Timur lainnya. Pondok pesantren juga banyak tersebar di desa Tulungrejo ini. Meski tak lebih besar dan seterkenal Gontor serta Tebu Ireng, penduduk Pare bisa dibilang patuh terhadap aturan-aturan agama Islam. Hal tersebut juga diterapkan dalam lembaga kursus di Pare. Global English adalah salah satu lembaga kursus di Pare yang mewajibkan pelajar muslim untuk menghadiri Gathering untuk Yasinan bersama-sama di tiap malam Jumat. Setelah mengaji bersama, satu orang perwakilan dari asrama membagikan pengalamannya untuk berdiskusi. Dan keesokan di pagi harinya seluruh pelajar tersebut diharuskan bangun subuh-subuh untuk ‘berolahraga pagi’ dengan berjalan santai mengelilingi desa Tulungrejo secara keseluruhan. Jauh memang, tapi udara segar yang belum tercemar ditambah pemandangan sawah-sawah berlatarkan pegunungan dan hutan tak akan bisa didapati di kota-kota besar. Akhir pekan adalah masanya para pelajar untuk libur. Lembaga-lembaga kursus memberikan Sabtu dan Minggu bagi siswanya untuk meregangkan otot otak setelah belajar penuh pagi sampai malam. Biasanya Sabtu Minggu adalah harinya para pelajar untuk jalan-jalan. Jawa Timur adalah gudangnya destinasi wisata-wisata indah. Dari alam, budaya, hingga sejarah. Di sekitar Tulungrejo ada tempat wisata bernama Candi dan Gua Surowono. Candi Hindu peninggalan Majapahit ini hanya 15 menit ditempuh dengan bersepeda dari Kampung Inggris. Para pelajar biasanya datang berbondong-bondong ke Surowono dengan teman-teman satu asrama atau satu kelas. Melihat-lihat relief indah di candi atau memasuki gua kecil nan gelap dan berair setinggi pinggang. Lain lagi kalau bermain ke Kota Kediri, di sana bisa lebih banyak lagi menemukan objek wisata seperti Gua Maria, Gunung Kelud, dan Gumul Simpang Lima. Yang terakhir adalah monumen yang mirip seperti L'arch D' Triomphe di Paris. Yang pergi berwisata keluar kota juga tak sedikit. Gunung Bromo, Pulau Sempu, Kota Batu, dan objek-objek wisata di Jawa Timur tak terlalu sulit untuk dikunjungi dari Pare. Bahkan adapula pelajar yang memilih mendaki Gunung Semeru untuk memuncaki Puncak Mahameru di akhir pekan masa belajarnya. Atau ingin yang murah dan tak beranjak dari Kampung Inggris, karaoke bisa menjadi pilihan untuk bernyanyi bersama teman asrama. Tempat karaoke satu-satunya dan seadanya seharga Rp 25.000 per jam. Sungguh sangat efektif untuk menciptakan tawa di antara teman satu asrama. Tak heran banyak pelajar yang merasa kerasan dan tak ingin pulang bila sudah menetap di Kampung Inggris. Menjalani kehidupan bersama, tertawa, mandi, bercanda, belajar, tidur, beribadah, dan makan bersama membuat ikatan antara satu dengan yang lain semakin erat. Dalam salah satu desain kaos khas Pare yang tersebar di berbagai distro di Kampung Inggris, bertuliskan: Pare, Kota Kecil Penuh Kenangan. Sebuah ukuran memang tak membatasi seberapa besar sebuah rasa bisa tersimpan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun