Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Balada Wartawan Bayaran; Mafia Media Massa

8 Maret 2014   16:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:08 162 0
Suatu ketika di negeri para koruptor, tersebutlah tiga orang pekerja media yang sedang senang-senang berbincang di sebuah meja kafe tempat ngopi para eksekutif. Boy, ia seorang reporter dari salah satu harian ternama di negeri para koruptor, mengumpat para anggota dewan yang telah akrab menjadi kawan. “Anjing itu anggota dewan. Korupsinya gila-gilaan, rumah mewah tiga, mobil balapnya dua puluh,” cerca Boy kepada asap rokok yang dilontarkannya ke udara di depan wajah. Boy meminum kopi hitam pahit; espresso.

“Terus, lo tulis itu koruptor?” tanya Joko, seorang kordinator lapangan (korlap) khusus mengurus perkara suap menyuap. Siapa yang disuap? Wartawan! Ia menghirup capuccino yang choco granule di atas krim bergambar pistol. Ia juga seorang wartawan, yang tak jelas apa medianya. Di negeri para koruptor, seorang diri pun mendirikan media itu sah-sah saja. Asal berpihak pada uang haram.

“Ya enggaklah. Kan gue dijamin sama doi,” Boy melepas tawanya membumbung ke udara. Bersama asap rokok kretek dan aroma kopi pahit. Jaminan koruptor itu kepada Boy, sebagian kecilnya digunakan untuk mentraktir dua orang temannya minum kopi di kedai kopi mahal.

“Lo ngapain sih, bos? Sibuk amat.” Boy gemas seorang kawan seperjuangannya, seperjuangan mencari uang suap, tak ikut tertawa dengan hal tak lucu yang baru saja ia tertawakan. Rosi, ia memesan kopi tubruk. Tapi belum disentuh sepinggir cangkir pun karena dirinya masih sibuk dengan BlackBerry di tangannya.

“Bentar, ini anak buah gua bego banget. Gua suruh dateng liputan peluncuran henpon dia malah alesan sakit, gua lagi marah-marahin dia,” kata Rosi sang redaktur sebuah media online di negeri para koruptor.

“Berapaan sih itu jaleannya? Sampe satu ton?” tanya Joko kepada Rosi.

“Nggak lah, cuma lima literan aja.”

“Alah cuma segitu, masih aja lo mainin? Itu mah kelasnya recehan.”

“Lumayan, bos. Selain lima liter masuk rekening gua, plus dikasih hape yang dilaunching buat gua.”

Bagi Kau yang tak paham pembicaraan dua wartawan sogokan di atas, biar aku berikan kamusnya. Liter yang dimaksud adalah bilangan dalam ratusan ribu. Dan satuan ton berarti juta. Semua dalam rupiah. Mata uang negeri tetangga yang sangat berarti dipergunakan di negeri para koruptor. Dan yang dibicarakan di sini adalah Jale, atau plesetan dari kata Jelas, yang memiliki arti sebagai kejelasan sebuah nominal rupiah yang dijanjikan apabila sebuah isu dinaikkan ke suatu media massa. Ya, di negeri para koruptor, yang kebanyakan orang-orang hidup hanya untuk uang, semua orang bisa dibayar. Termasuk media massa yang katanya merupakan salah satu pilar demokrasi, dan katanya sebagai tempat yang berpihak kepada masyarakat banyak, yang berpihak kepada kebenaran. Di negeri para koruptor, pekerja media massa mudah dibayar untuk menaikkan isu yang tak berisi namun berarti bagi perusahaan bisnis untuk menjatuhkan para rivalnya.

Rosi, adalah wartawan sogokan yang memiliki kekuasaan lebih sebagai redaktur. Dengan posisinya sebagai atasan para reporter, ia bebas menugaskan wartawan bawahannya untuk meliput acara-acara perusahaan yang mau memberikan bayaran asal beritanya naik di media. Simpelnya, Rosi hanya tinggal perintah, bersantai-santai di kantor sementara reporternya turun ke jalan melakukan liputan hingga membuat berita, setelah berita naik Rosi hanya tinggal menikmati uang haram mengalir ke rekeningnya tanpa ia bersusah payah. Sekali naik satu berita Rosi biasa mendapat lima liter, alias lima ratus ribu rupiah. Sementara dalam satu minggu ia bisa mendapat pesanan empat berita dengan masing-masing berita dihargai lima liter. Coba hitung berapa yang akan ia dapat jika sebulan ada empat minggu, yang di tiap minggunya Rosi mendapat pesanan empat berita masing-masing seharga lima liter. Delapan ton, alias delapan juta. Bagi Rosi yang hanya mendapat gaji sebesar tiga jutaan di kantornya, jumlah itu sudah lebih dari lumayan untuk menambah biaya untuk membeli beras untuk keluarga, membeli susu untuk anak-anaknya, dan sebagian disisihkan untuk orang tua. Jangan anggap Aku berbohong. Ini nyata di negeri para koruptor.

Sedangkan Joko, adalah koordinator lapangan khusus membagi-bagikan uang jale kepada wartawan lain. Ia kerap jadi tangan kananya Rosi untuk bertugas mencari uang di lapangan. Jika ada liputan yang sudah jelas kejelasannya, Joko pasti dicari-cari oleh wartawan lain. Karena uang dari liputan berbayar itu terkumpul di genggamannya.

“Boy, ada acara nih, diskusi tentang anti politik uang jelang pemilu. Dateng aja lu, nanti gua suruh reporter gua juga dateng deh,” kata Rosi tiba-tiba.

“A1 gak?”

“Tenang, udah di-listing. Lu masuk dalam list,” Rosi dengan gaya bossy menghirup kopi tubruknya dengan ketentraman akan banyak uang. Uang sogokan.

“Gue sekarang cuma mau liputan A1, atau gak listing yang ada nama gue. Males kalo A3,” Boy tak menghirup kopinya. Karena hanya tinggal cangkir yang sekarang ia jadikan asbak abu rokok.

Kode apalagi ini? Barangkali Kau bertanya. Biar kujelaskan, A1 itu tentang kepastian, A3 itu melulu tanda tanya, dan Listing adalah daftar khusus nama penerima bayaran.

“Isu pesenan dari perusahaan telko itu udah lo mainin belom, bos?” tanya Joko setelah menghirup capuccino-nya.

“Udah, itu gua running terus beritanya. Paketan dia itu mintanya dua minggu, bener-bener ngancurin pesaingnya itu,” jawab sang redaktur pencari kejelasan. Aku percaya, jika saja ia memiliki kuasa lebih besar dan lebih tinggi, sebagai wakil rakyat misalnya, ia pasti sudah korupsi besar-besaran.

“Pimred lo gak tau kan?”

“Pimred gua kan tolol, anak buahnya pada naikin isu pesenan yang bayarannya gede, doi gak tau.”

Joko tertawa hingga kepalanya menengadah ke langit-langit. “Pimred lo itu, di mana-mana isu pesenan yang dinaikin ke media itu dipegang sama pimred. Ini malah sama lo, redaktur doang, dan lebih parahnya lagi pimred lo gatau lo maen kotor.”

“Gua maen kotor, sama juga kaya lu.”

Boy menyulut batang rokok ke dua. Dalam mulut yang terselip gulungan tembakau itu, ia berbicara seperti sedang berkumur-kumur. “Ngomong-ngomong, kisah Jilbab Hitam yang menyeruak di media itu lo pada percaya gak?”

Kini Rosi yang terbahak. Tawa khas penguasa berperut buncit karena memakan uang sogokan. “Lah lu bukannya sosok yang diceritain Jilbab Hitam? Wartawan bayaran, cuma lu main recehan dan gak pake jilbab.”

“Jing, apalagi elo. Redaktur yang ngibulin pimred dan orang satu negeri lewat berita bayaran. Dan parahnya lagi tuh duit haram lo kasih makan buat anak bini serta nyokap lo.”

***

Di sebuah rumah sederhana yang diisi oleh nenek, mantu, dan cucu, yang tak tahu menahu sebuah perkara apa-apa, tiba-tiba terkejut pada kejadian. Si cucu yang tengah ikut-ikutan sang mantu mengiris daun kangkung, tangannya terluka oleh pisau. Bukan darah yang keluar dari jarinya yang tergores pisau dapur. Tapi uang kertas rupiah yang berlumut dan berjamur. Yang kemudian uang tersebut menjadi panas dan terbakar.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun