Lelaki mempunyai cara tersendiri dalam mencari dan mengekspresikan kebahagiaan. Sebagian besar, menurut Opinion Research Corporation, pria lebih mengartikan "make someone happy" dengan ketulusan cinta yang diberikan pada orang lain. Bahkan cintanya mengalahkan segalanya. Dalam penelitian International Institute On Aging sebagian besar pria menuangkan rasa cinta dan kebahagiaannya dengan menjaga hubungan yang intens dalam keluarga dan teman.
Bagi pria kebutuhan seks justru dianggap kurang penting. Dari berbagai faktor yang membuat pria bahagia, seks berada di bawah rasa cinta kepada keluarga dan teman. Bagi pria seks membahagiakan dalam konteks hubungan keluarga. Bahkan kebutuhan akan makan yang enak dan mendengarkan musik lebih dirasa lebih penting ketimbang seks. Hati seorang pria semakin tua semakin bergeser ke perut.
Orientasi terhadap teman dan keluarga menimbulkan tekanan sendiri. Orientasi kebahagiaan pada hubungan intens dalam keluarga diekspresikan dengan semakin banyak jumlah waktu yang dihabiskan. Mereka menyimpan banyak waktu untuk keluarga ketimbang bergulat dengan pekerjaan. Mereka menyisipkan waktu kerja dengan keluarga. Misalnya, menyempatkan menelpon anak atau istri saat istirahat kerja. Berkonsultasi saat mengambil keputusan karirnya. Atau membawa anak, cucu, atau istrinya ke kantor.
Sayangnya ini hanya terjadi di kalangan eksekutif menengah ke atas. Mereka menaruh keseimbangan keseimbangan kehidupannya sebagai hal penting. Riset Alexander Sriewijono, psikolog dan konsultan manajemen, menunjukkan bahwa eksekutif yang berusia 40-49 tahun lebih banyak punya waktu untuk keluarga, hobi dan kegiatan keagamaan ketimbang yang berusia 25-39 tahun. Mereka (eksekutif) yang mempunyai rentang umur 40-49 tahun adalah eksekutif menengah dan atas yang waktu kerjanya lebih fleksibel. Sekalipun tanggung jawab eksekutif menengah ke atas berat namun mereka dapat melimpahkan kepada anak buahnya. Itulah sebabnya kadar stres mereka lebih kecil ketimbang eksekutif bawah.
Berbeda dengan kebahagiaan yang berorientasikan teman. Pria mengartikan "make someone happy" dengan cara yang lebih halus dan impulsif. Ia ingin dilihat bersih, rapi, wangi, dan macho. Kecenderungan ini bukan saja sikap pria yang menjadikan teman sebagai tempat menuangkan kebahagiaannya tetapi juga identitas maskulinitasnya. Mereka rutin merawat kulit, pergi ke salon, dan menggunakan wewangian bukan sekadar untuk menyampaikan kebahagiaannya tetapi juga eksistensi diri. Inilah pendorong pria untuk disebut seksi oleh perempuan.
Dari sana banyak bermunculan generasi muda, termasuk eksekutif muda, yang menjadi pesolek. Berdandan, mencari wewangian dan pergi ke salon menjadi gaya hidup sekaligus tempat menenangkan diri dan menemukan kebahagiaan. Padahal biaya yang mereka keluarkan untuk itu tidaklah sedikit. Pria pesolek yang lebih terkenal dengan sebutan metroseksual ini lahir sebagai "genre" baru dari "jenis" pria.
Tuntutan gaya hidup demikian, sambung Alexander, membuat eksekutif muda lebih tertekan ketimbang menengah dan atas. Yang paling nyata adalah masalah pendapatan eksekutif muda. Kesenjangan antara tuntutan pengeluaran untuk memenuhi gaya hidupnya dengan pendapatan yang diterimanya membuat lebih tertekan. Orientasi pertemanan menuntut gaya hidup tertentu dengan pengeluaran tertentu.
Tapi menurut Alexander bukan cuma itu yang membuat eksekutif muda lebih tertekan. Sebagai orang yang masih baru dalam meniti karir, ia masih banyak waktu dan tenaga yang dikorbankan untuk menggapai karir. Tekanan dari pekerjaan masih terbilang tinggi. Di sisi lain ia juga harus mengikuti irama gaul temannya yang bukan cuma memakan waktu dan tenaga tetapi juga uangnya. Keduanya memberikan daya tekan tersendiri. Inilah yang membuat stes mereka lebih tinggi.
Baik pria maupun perempuan mempunyai cara tersendiri dalam menuangkan. Termasuk ketika tertekan (tidak bahagia). Biasanya pria lebih memilih menyendiri ketika stres sementara perempuan lebih memilih untuk membaginya dengan orang lain.