Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Menggapai Asa di Puncak Raksasa

16 Januari 2014   12:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:47 63 2

Oksigen tipis dan suhu dingin di Kalimati yang mendekati nol derajat celcius tidak membuat para pendaki terlalu terlelap dalam tidurnya. Jam masih menunjukkan pukul dua belas dini hari saat mereka beranjak dari dalam tas tidur yang hangat untuk segera bersiap menghadapi tantangan terberat dalam sebuah perjalanan panjang. Tantangan yang harus dihadapi untuk mencapai sebuah tanah lapang berbatu di ujung awan.

Bukan sembarang tanah lapang. Tanah lapang berbatu terselimuti pasir tebal itu berada di puncak raksasa. Mendengar namanya saja, hati para pendaki itu bergetar. Sebelum berangkat, mereka menunduk khidmat seraya berdoa semoga Tuhan mengijinkan mereka sampai di Mahameru, puncak sang raksasa.

---

Saya sudah mengenakan jaket terluar. “Tiga lapis cukup,” pikir saya dalam hati meyakinkan diri. Satu kaos agak tebal dibalut sebuah sweater dan jaket anti air. Jauh-jauh hari saya sudah mempersiapkan diri menghadapi perjalanan ini. Olahraga rutin dan menjaga makanan tuntas dilakukan dua minggu sebelum hari pendakian. Persiapan matang yang memang diperlukan untuk menjejaki trek yang amat sulit ini.

Pakaian berlapis menjadi tameng wajib bagi mereka yang akan menaklukkan puncak Semeru. Tak cukup dua, minimal tiga lapis atau bahkan lebih. Sarung tangan, kupluk, kaos kaki tebal, tongkat, dan masker dipersiapkan untuk menghadapi dinginnya malam, panjangnya trek pendakian, dan curamnya tanjakan berpasir ke puncak.

Buat saya yang bukan seorang penggemar pendakian, perjalanan ini bisa jadi sebuah kesalahan besar. Saya tak banyak punya pengalaman mendaki. Kalaupun ada, itu pun sudah lama dan kelas gunungnya pun tak sebanding. Saya pikir mendaki Kelimutu tidak ada apa-apanya dibanding menapaki Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa. Walaupun dengan sekelumit keraguan, saya bertekad menaklukkan ketakutan yang menghantui. Tak perlu ada target, yang terpenting selalu mengetahui batas kemampuan diri.

Seiring para pendaki lain semakin selesai bersiap untuk memulai perjalanan, saya semakin sadar bahwa fisik saja tidak cukup. Keteguhan hati dan kepercayaan diri juga memegang peranan penting. Seusai berdoa, saya dan kelompok yang berjumlah 8 orang berkumpul untuk mendengarkan penjelasan singkat dari pemandu. Dua orang pemandu akan menuntun dan mengarahkan kelompok kami agar sebanyak mungkin anggota bisa sampai ke Mahameru.

Saya amat menikmati awal-awal perjalanan dari Kalimati, perkemahan terdekat sebelum naik ke Mahameru. Menyusuri jalan setapak dipayungi ribuan bintang di langit dan diselimuti balutan pakaian luar yang semakin bisa menghangatkan badan walaupun di ujung-ujung jari jemari masih amat terasa hawa dingin. Kami bercengkerama seraya saling menjaga semangat dan keselamatan antar anggota kelompok. Keselamatan selalu jadi hal utama. Kami tak mau salah satu di antara kami nanti ada yang celaka di perjalanan seperti beberapa cerita pilu yang lalu-lalu.

Perjalanan mulai agak berat ketika kami sudah memasuki hutan lebat. Keringat seperti tak bisa keluar karena dinginnya udara tapi tekanan di otot-otot betis dan paha sudah mulai sangat terasa. Walaupun hanya menggendong tas kecil dari Kalimati tetap saja banyak tanjakan yang cukup sulit untuk dilewati.

Saya terheran-heran ketika kami terpaksa berhenti karena penuhnya jalur pendakian. Kami harus menunggu giliran melewati jalan setapak yang lebarnya hanya cukup untuk satu orang. Pendaki tidak boleh hilang konsentrasi karena jurang di sisi kanan dan kiri bisa menjadi tempat pemberhentian terakhir. Saya cukup terharu ketika melihat beberapa nisan para pendaki di tepian jalur yang gugur dalam pendakian sulit ini.

Rasa heran saya masih belum hilang. Ribuan orang akan mendaki Semeru pagi itu membentuk jejeran lampu senter panjang persis seperti kemacetan parah di jalanan Jakarta saat jam pulang kantor. Kami mesti menunggu hampir satu jam sebelum sampai di dasar lereng curam penuh pasir dan batu menuju Mahameru.

Perjalanan yang sebenarnya baru saja dimulai.

Sampai di dasar lereng sekitar jam setengah tiga pagi membuat saya cukup yakin bisa sampai di Mahameru tepat waktu untuk menyaksikan matahari terbit di titik tertinggi di Pulau Jawa. Perlahan-lahan saya mulai melangkahi lautan pasir itu. Berat sekali rasanya. Benar ternyata yang dikatakan orang-orang sebelum kami naik, dua langkah naik pasti dipaksa turun selangkah.

Dalam guyonan ke seorang teman, saya mengungkapkan apa yang dirasakan saat menaiki lereng ini, “Seperti jalur penebusan dosa saja, ya?” Ungkapan yang langsung disambut gelak tawanya seraya mengiyakan.

Melihat perjuangan para pendaki lain membuat saya tetap bersemangat. Entah apa yang mereka cari dari pendakian ini tapi kami semua yakin memiliki tujuan yang sama, menaklukkan Mahameru. Berkali-kali saya terduduk, kadang terbaring, untuk mengumpulkan lagi sisa-sisa tenaga yang terserak dan keyakinan yang mulai luntur seiring mendekatnya waktu matahari terbit. Saya masih jauh sekali dari puncak.

Saya pikir adanya film “5cm” tentang Semeru mungkin membuat jumlah pendaki di hari libur panjang kali ini membludak. Padahal sebenarnya jumlah pendaki mesti dibatasi. “The more, the merrier,” bisa jadi sebuah frase yang cocok untuk menggambarkan suasana.

Walaupun saya belum menonton film itu dan membaca novelnya, saya akhirnya mengerti apa yang maksud judul ‘5cm’. Dari tempat saya berdiri, puncak terlihat amat dekat. Akan tetapi, ketika ditapaki selangkah demi selangkah, perjalanan ini seakan tak memiliki akhir. Sekuat apa pun melangkah, pasti akan selalu tergerus ke bawah. Keyakinan diri lagi-lagi dibenturkan keras-keras ke tembok.

Bagaimanapun, tujuan diri belum hilang. Meski terseok-seok, sedikit demi sedikit saya terus memaksa diri. Air minum di botol satu setengah liter sudah hampir habis. Cokelat dan gula jawa pun tinggal tersisa beberapa gigit lagi. Perjalanan masih jauh dan saya merasa enggan terus melihat ke puncak. Rasakan saja apa yang sedang dijalani kini sampai benar-benar mencapai batas diri.

Saya menikmati matahari terbit di tengah perjalanan. Meski tidak berada di puncak, perasaan melihat munculnya surya di tengah lereng Semeru memberi kebanggaan tersendiri. Saya bangga menjadi bagian dari para pendaki pemberani ini.

Dengan masih terengah-engah, saya bertemu dengan seorang pendaki yang baru turun dari Mahameru, “Mas, ayo semangat. Tinggal sedikit lagi.” Sebuah perkataan yang cukup melegakan sejauh ini. Semangat saya terpacu kembali seperti mendapat tambahan bahan bakar untuk terus merongrong kejamnya lereng. Tak terasa, saya meneguk air terakhir di dalam botol. Ah, tidak. Masih ada perjalanan turun tapi sudah tidak ada lagi air yang tersisa.

Tidak begitu saja menyerah, saya kembali melanjutkan perjalanan. Di seperempat jarak menuju puncak, ada pendaki ramah yang menawarkan dua teguk air miliknya. Air di botol miliknya juga tinggal sedikit. Itupun bercampur dengan butir-butir pasir. Tapi dua teguk air itu amatlah berharga buat saya. Saya pun tak enak hati dan memberikan padanya dua butir gula jawa. Begitulah kami para pendaki. Biarpun tak saling mengenal, identitas kami dipersatukan sebagai pendaki Semeru. Saya rasa itulah yang membuat kami mudah untuk saling berbagi dan menyemangati.

Saya sudah jauh terpisah dengan kelompok yang masih jauh tertinggal di bawah. Tinggal sedikit lagi. Orang-orang di puncak sudah jelas terlihat. Saya semakin dekat dengan akhir perjalanan. Saya duduk di sebuah batu besar sambil memandangi Mahameru. Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Menurut para pendaki yang baru turun, Mahameru harus kosong pada jam sepuluh karena kepulan asap yang berbahaya sudah mulai aktif keluar.

Mengumpulkan sisa-sisa tenaga, saya terus berusaha naik sambil merangkak. Dengan bantuan tangan, saya jadi bisa menahan tubuh untuk tidak turun lagi. Debu berpasir sudah mulai ganas menyerang pernapasan. Masker tidak begitu banyak membantu. Kondisi ini diperparah karena suhu menjadi agak panas karena sinar matahari yang tak lagi tersamar kabut dan awan.

Di saat-saat genting, seorang pendaki di atas sebuah batu menjulurkan tangannya, “Pegang tangan saya, Mas. Ayo, tinggal sedikit lagi sampai.” Menengadahkan wajah ke atas, saya melihat lagi harapan untuk menuntaskan misi ini. Saya lekas menggenggam tangannya dan ia dengan cepat menarik tubuh saya agar sampai di atas batu tempatnya berpijak. Belum sampai juga tapi tak lebih dari lima puluh meter lagi.

Kembali melanjutkan perjalanan yang tersisa sedikit lagi, potongan cokelat kecil menjadi tambahan tenaga terakhir. Langkah demi langkah terakhir terasa tak seberat sebelumnya. Saya sudah melihat titik akhir. Makin lama, ujung itu makin jelas.

Banyak pendaki yang terlebih dulu sampai menyemangati kami yang masih mengais pasir. Ketika saya sampai di kelokan terakhir, keyakinan saya memberi tenaga baru. Saya mempercepat langkah dan mulai melihat sosok bendera kebanggaan republik ini di kejauhan. Satu, dua, tiga langkah dan akhirnya saya sampai juga ujung tanah lapang ini. Puji syukur tak terhingga pada Tuhan Semesta Alam.

Saya tak mampu menahan haru. Sambil berjalan gontai menuju pusat keramaian dekat bendera, dalam hati saya menangis bahagia. Air mata tak  keluar karena rasa bangga sudah mengambil alih. Memang hanya hamparan pasir berbatu sepanjang mata memandang. Namun, papan petunjuk bertuliskan MAHAMERU 3676 M DPL menceritakan semuanya. Di pikiran yang sedang mengawang entah kemana, terlintas perjuangan sedari tadi. Sembilan jam perjuangan dari Kalimati dan berakhir di sebuah papan kecil yang sudah berkarat tapi berarti besar bagi semua pendaki.

Luas Mahameru mungkin tidak ada setengah lapangan bola. Akan tetapi, di sinilah kepuasan besar berada bagi mereka yang tak lelah berjuang. Tak terlihat raut wajah sedih. Meski lelah menempel jelas pada butir-butir keringat, kebanggaan ini memang sungguh layak diperjuangkan.

---

Kabut tebal masih menyelimuti Ranu Kumbolo. Sudah jam lima pagi tapi hawa dingin tetap menyeruak dari celah kecil kemah kami. Diri enggan keluar mengambil air wudhu untuk menunaikan kewajiban salat Subuh. Tak terbayang dinginnya air di pagi sedingin ini. Memutuskan mengambil tayamum sebagai pengganti wudhu, saya lalu menuntaskan kewajiban dengan berjamaah bersama dua orang teman di dalam kemah.

Di akhir salat, saya masih tak percaya sudah melewati perjalanan yang teramat sulit. Jika terpikir kembali, pendakian sehari yang lalu tidak hanya sulit, tapi juga mengancam jiwa. Bagaimana tidak, saya sudah kehabisan air minum dan perbekalan sejak di puncak untuk kemudian turun kembali ke Kalimati. Di perjalanan turun, saya terjatuh hingga engkel terkilir. Berjalan tertatih menuruni lereng gunung selama dua jam dengan tenaga yang hampir tiada. Sepertinya mustahil tapi saya membuktikan diri mampu melewatinya.

Kuasa Tuhan akhirnya mengijinkan saya untuk mengalami dan menyelesaikan perjalanan sulit ini. Lantunan syukur dalam doa sudah seharusnya muncul dari mereka yang tuntas menyelesaikan misinya masing-masing di Semeru.

Sinar matahari mulai menghangatkan lokasi perkemahan di sekitar danau. Ditemani segelas teh hangat dan beberapa potong biskuit, saya berjalan perlahan mendekati danau. Sampai di tepiannya, saya berhenti sejenak. Menyeruput teh yang manisnya menghilangkan dahaga dan hangatnya melegakan hawa dingin. Di tepian Ranu Kumbolo, saya tersenyum sendiri membayangkan keseluruhan perjalanan dari awal.

Saya tahu benar keyakinan hati dan keteguhan diri telah membawa saya sampai ke ujung awan. Seketika perasaan bangga itu muncul lagi. Kebanggaan akan sebuah keberhasilan menaklukkan keraguan dan membuat batas-batas baru dalam diri. Bagi saya, itu adalah sebuah keberhasilan besar. Keberhasilan menggapai asa di puncak sang raksasa.

===

Cek website Indonesia Travel untuk tahu lebih detail tentang pendakian ke Gunung Semeru.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun