Pemilihan umum (Pemilu) 2024 merupakan helatan besar yang bakal menjadi barometer perpolitikan di Indonesia. Menentukan siapa yang berkuasa dan arah kebijakan ke mana negara ini akan berlayar.Â
Di momen inilah, rakyat secara langsung punya ruang untuk mengoreksi apa yang terjadi dalam lima tahun terakhir. Apakah mereka tetap mempertahankan afirmasi politik seperti pemilu sebelumnya? Atau justru berpindah haluan dengan pemahaman dan perhitungan tentang calon-calon baru yang lebih representatif dan relevan bagi mereka.
Bagi partai politik, berikut pula politisi di dalamnya, pemilu kali ini juga sangat spesial. Apalagi pada tahun 2024, semua pemilihan digelar serentak. Ada semangat kompetisi yang sangat besar. Berebut pengaruh atau yang secara konkret dimaknai sebagai berlomba-lomba menggaet suara pemilih guna mendapat kekuasaan (struggle for power).
Partai politik melalui calon-calon legislatif (caleg) dan calon kepala pemerintahan, baik itu di tingkat daerah maupun pusat akan memposisikan diri mereka sebagai pilihan terbaik rakyat. Mereka tak hanya harus populer untuk mendapatkan atensi masyarakat, tetapi juga wajib memenuhi standar elektabilitas di tiap daerah pemilihan (dapil).Â
Pertarungan pengaruh yang tentu saja membutuhkan sumber daya besar. Baik dalam konteks komunikasi publik yang masif dan sistematis maupun logistik secara keseluruhan.
Menjamurnya baliho dan spanduk di beberapa titik strategis belakangan ini tak bisa dinafikan merupakan bagian dari hal tersebut. Setiap calon, bahkan bakal calon, sejak dini harus mampu meyakinkan publik tentang diri mereka. Setidaknya populer dulu dan dikenal sebagai orang yang merepresentasikan ide atau gagasan tertentu. Baru kemudian mendapat peluang dipilih.
Biasanya para politisi ini juga menggunakan media kampanye 'jalanan' tersebut untuk menyatakan afiliasi mereka dengan partai atau gerakan tertentu, juga semangat perjuangan aspirasi masyarakat di masing-masing daerah.Â
Makanya bila sejumlah politisi, terutama yang dapil-nya cukup luas, akhirnya membuat slogan (tagline) juga desain yang berbeda-beda antara baliho/spanduk di satu tempat dan tempat lainnya. Bila jumlah titiknya saja sangat banyak, begitu pula variasinya, bayangkan berapa dana yang harus dikeluarkan politisi ini hanya untuk menjadi terkenal.
Namun, ongkos politik ini mau tidak mau memang harus dikeluarkan karena persaingan yang bakal terjadi, tak hanya melibatkan kandidat dari partai sebelah, tetapi juga kandidat lain di internal partai mereka sendiri.
Menilik data yang dirilis di laman www.kpu.go.id, perhelatan Pemilu 2024 memang berpotensi menyuguhkan perang elektoral yang sengit. Bayangkan dengan 205 juta pemilih, bakal ada total 20.462 kursi legislatif (DPR RI, DPRD Provinsi, dan DRPD Kabupaten/Kota) di 2.710 dapil yang bakal diperebutkan. Belum lagi pemilihan kepala daerah (pilkada) serta pemilihan presiden (pilpres) yang digelar bersamaan.
Lalu, apakah media kampanye lewat baliho/spanduk ini masih efektif dengan kondisi saat ini, Â dimana tumpukan media semacam itu sulit menempatkan satu orang tertentu sebagai top of mind di benak masyarakat? Memang, untuk mengkalkulasikannya secara statistik, masih perlu proses pengkajian panjang.Â
Namun di era Society 5.0, dimana teknologi informasi tak dapat dipisahkan dari suluh-suluh kehidupan masyarakat, maka di samping media konvensional, upaya untuk mengoptimalkan teknologi sebagai bagian dari media kampanye perlu ditingkatkan dalam porsi yang lebih besar. Media sosial (medsos), contohnya.Â
Banyak tokoh politik yang menggunakannya sebagai penyambung komunikasi dengan rakyat. Mereka bisa mengunggah tulisan, gambar, foto, hingga video tentang kegiatan dan gagasan mereka. Di antaranya, untuk menjalin komunikasi secara hangat dan interaktif tanpa datang langsung berhadap-hadapan. Biayanya relatif murah, jika tidak ingin dikatakan gratis.
Media yang sama juga bisa menjadi sarana umpan balik. Menjadi saluran unek-unek warga ketika mengalami pelbagai kendala sosial. Seperti kebutuhan sehari-hari hingga problematika infrastruktur seperti jalan rusak hingga banjir.
Tapi amplifikasi koneksi pejabat/politisi dengan konstituen semacam ini setidaknya hanya berlaku bagi mereka yang sudah memiliki pengikut maya dalam jumlah besar. Padahal banyak politisi di Indonesia yang belum mafhum akan hal-hal seperti ini. Belum lagi masalah sebaran pengikut medsos yang kerapkali menjangkau di luar target suara yang hendak mereka gaet. Â
Rasio sebaran inilah yang cenderung menyulitkan. Apalagi bagi politisi yang berebut suara di kota/kabupaten dan provinsi yang secara spesifik sudah ditentukan lokasinya.
Karena itulah, kombinasi cara-cara konvensional dan modern ini bisa menjadi solusi jika diterapkan secara baik dan tepat guna.
Optimalisasi Internet Rumahan
Apa sih kebutuhan masyarakat yang dituntut kepada para calon wakil atau pemimpin mereka saat jelang pemilu? Jawabannya mungkin masih berkutat pada kebutuhan jangka pendek, seperti sembako dan 'uang bensin'. Makanya, sebagian politisi kita kerap mengaktualisasikannya sebagai pemberian amplop atau jatah untuk masing-masing pemilih. Nominalnya pasti eceran. Entah itu Rp 50 ribu atau Rp 100 ribuan per orang.
Cukup? Tentu tidak. Uang sebesar itu mungkin hanya bisa untuk kebutuhan primer satu atau dua hari. Sementara hari-hari berikutnya, konektivitas elit dan rakyat biasanya akan terputus dan tak ada lagi jalinan keakraban dan rasa saling memiliki yang dibutuhkan.