Raut wajah Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini tampak lelah, Rabu (12/1). Ia mengaku kurang sehat. Akan tetapi, ia berusaha mengumpulkan keceriaan ketika menerima beberapa tamu di ruang kerjanya.
Risma dikenal sebagai pekerja keras. Sejak menjabat sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (2005-2008), Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya (2008-2010), hingga akhirnya Wali Kota Surabaya, Risma hampir tidak pernah istirahat.
Setiap pagi, dalam perjalanan ke kantor, ia menyempatkan diri memantau kotanya. Ia masuk-keluar kampung dan menyapa warga kota untuk mengetahui kebutuhan mereka.
Sepulang kantor, ia masih ”patroli”. Hingga tengah malam, ia tetap memasang telinga, memantau siaran radio dan memonitor laporan stafnya di lapangan melalui handy talky.
”Pada musim hujan seperti sekarang, saya harus memantau pintu-pintu air dan rumah pompa. Jangan sampai warga kebanjiran,” kata Risma.
Ancaman interpelasi dari DPRD Kota Surabaya sama sekali tidak mengusik rutinitasnya. Ia tetap berangkat dari rumah setiap pukul 05.30 dan sering pulang malam hari.
Baru sekitar dua bulan menduduki jabatan Wali Kota Surabaya, Risma sudah mendapat ”gempuran” dari DPRD Kota Surabaya.
Para wakil rakyat mempersoalkan setidaknya tiga kebijakan Risma, yang dilantik bersama wakilnya, Bambang Dwi Hartono, 28 September 2010.
Pertama, DPRD Surabaya mempersoalkan terbitnya Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 56 dan 57 Tahun 2010 menyangkut penataan reklame. Kemudian secara beruntun, Risma dihadapkan pada rencana pembangunan tol tengah kota sepanjang 23,8 kilometer dari Pelabuhan Tanjung Perak hingga Waru, yang sejak tahun 2007 sudah ditolak Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dan sudah tidak dimasukkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah 2009. Lalu soal penyaluran dana Jaring Aspirasi Masyarakat DPRD, yang sejak pemerintahan Risma uang itu langsung diterimakan kepada pengaju proposal tanpa melalui anggota DPRD.
DPRD Surabaya meminta Risma membatalkan kedua perwali yang mengatur tarif baru pajak reklame karena kenaikan tarif dinilai terlalu besar. Padahal sejak berlakunya perwali itu, pemasukan dari sektor reklame, yang sebelumnya Rp 62 miliar pada tahun 2009, kini meningkat Rp 5 miliar per bulan.
DPRD pun membentuk panitia angket, yang kemudian ”memeriksa” sejumlah pejabat Pemkot Surabaya secara bergiliran. Sekretaris kota, para asisten wali kota, hingga staf ahli tidak luput dari pemeriksaan anggota DPRD.
Asisten II Sekretariat Kota Surabaya Muchlas Udin bahkan berujar, ”Saya lebih baik diperiksa di pengadilan karena bisa didampingi pengacara.”
Sebagian anggota DPRD yakin ada sesuatu di balik penerbitan aturan itu. Anggota Fraksi Demokrat, Sachiroel Alim, khawatir peraturan itu cara membentuk monopoli reklame. Dengan aturan baru, hanya perusahaan besar yang mampu membayar pajak reklame. ”Kalau mencermati hasil penghitungan berdasarkan Perwali Nomor 56 dan 57, memang hanya perusahaan besar yang mampu membayar,” ujarnya.
Anggota Fraksi Golkar, Eddy Budi Prabowo, melontarkan kekhawatiran senada. Bedanya Eddy menyoroti pernyataan Risma bahwa penyewa bisa memindahkan media promosi dari reklame luar ruang ke media cetak dan elektronik. Perpindahan itu diharapkan terjadi setelah pemberlakuan aturan baru. ”Apakah itu artinya pasang promosi di media cetak dan media elektronik tertentu saja?” ujarnya.
Ia juga menyoroti alasan yang diajukan Risma soal keamanan konstruksi reklame. Risma menyebutkan, beberapa reklame besar roboh dan ada yang merenggut korban jiwa.
Menurut Risma, perwali tentang papan reklame dengan tarif tinggi itu dimaksudkan agar pembuatan papan reklame di Kota Surabaya bisa tertata rapi dan ukurannya tidak terlalu besar. Ini jelas berkaitan dengan penataan wajah kota.
Adapun penolakan Risma terhadap pembangunan tol tengah karena proyek itu dinilai tidak cocok dengan kondisi Surabaya. ”Pemkot sudah membangun jalan lingkar timur dan barat serta jalur lambat di sepanjang Jalan Ahmad Yani, yang selama ini langganan macet. Jadi, mengapa masih harus ada tol tengah lagi?” kata ibu dua anak tersebut.
Rencana proyek yang akan menggusur sekitar 4.500 rumah warga itu hingga kini masih menggulirkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Sejumlah unjuk rasa dari pihak yang pro ataupun kontra terhadap rencana pembangunan proyek senilai Rp 8 triliun itu terus berlangsung.
Kepada para akademisi yang berunjuk rasa di gedung DPRD Surabaya, 17 Desember 2010, Ketua DPRD Surabaya Whisnu Wardhana berkeras rencana pembangunan tol tengah harus dilanjutkan. Rapat Paripurna DPRD Surabaya yang dihadiri 38 anggota, kecuali dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Keadilan Sejahtera, sepakat mendukung. Sebelumnya, DPRD menggelar rapat tertutup untuk mendengar pemaparan investor proyek tol tengah, PT Margaraya Jawa Tol (Kompas, 18/12).
Tidak galau
Risma bertekad tetap bekerja seperti biasa meski hampir seluruh jajarannya terus diperiksa oleh DPRD berkaitan dengan penerbitan dua perwali tersebut. Dia juga mengaku tidak galau dengan situasi seperti sekarang meski tahu ada misi DPRD Surabaya yang sangat kuat untuk menggulingkan dirinya dari kursi wali kota.
”Masak setiap event di DPRD harus ada uang. Saya harus ambil dari mana? Saya tidak mau menggunakan anggaran tidak sesuai dengan prosedur,” kata Risma, yang menyatakan tidak pernah menggunakan sepeser pun dana operasional selama menjabat sebagai wali kota.
Dana operasional ia gunakan untuk membantu biaya kesehatan warga kurang mampu atau biaya pendidikan anak-anak putus sekolah.
Risma pun mengungkapkan, kebijakan melakukan rotasi di lingkungan Pemkot Surabaya diprotes partai pendukung saat pemilihan umum kepala daerah. ”Mereka minta saya mengganti 75 pejabat mulai lurah hingga kepala dinas. Ya tidak mungkin, yang ada mau diapakan,” ucapnya sambil menyebutkan bahwa dia akan terus menyelesaikan tugasnya hingga tuntas tanpa harus berubah haluan, terutama soal sikap.
Menurut Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya, Prof Hotman M Siahaan, sebagai birokrat, Risma memang patut diberi apresiasi. Apalagi, Risma terkenal sebagai pekerja keras dan tidak kenal kompromi dalam segala hal.
Meskipun demikian, Hotman mengingatkan bahwa Risma menduduki jabatan politis, yang memerlukan kompromi dengan legislatif.
Menciptakan pemerintahan yang bersih memang bukan pekerjaan mudah bagi seorang kepala daerah karena sarat kompromi.
Namun, Risma tetap bertekad mengemban amanah tersebut. ”Entah sampai kapan saya bisa bertahan. Entah apa yang akan terjadi,” ujar Risma.
Risma, yang berupaya menjalankan pemerintahan yang bersih di kota ini, hendaknya mendapat dukungan dari warga. Motifnya jelas bukan keuntungan pribadi dan bukan demi partainya sendiri. Sejauh ini ia bekerja untuk mewujudkan kesejahteraan warga Surabaya.
Apa boleh buat, untuk mewujudkannya bukanlah pekerjaan mudah karena berbagai pihak punya kepentingan berbeda, bahkan boleh jadi sarat kepentingan politik yang sering tidak terukur....
http://cetak.kompas.com/read/2011/01...ak.kompromi...