Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Kematian Etika dalam Berebut Kursi Perguruan Tinggi: Kalahnya Si Miskin

10 Januari 2014   13:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:57 100 4
Seorang calon mahasiswa, hitunglah berusia 19 tahun, kehilangan antusiasmenya pada suatu pagi menjelang siang. Padahal malamnya ia cukup gembira. Diterima di suatu PTN world class university, siapa yang tak bangga. Meski sejak jauh-jauh hari ia ragu “apakah sanggup”, ia berusaha tetap semangat. Bahkan malam itu juga, mengambil sebagian tabungannya, ia bergegas mencari tiket kendaraan apapun yang bisa ke kota dimana PTN tersebut berada. Seberapapun mahalnya, meski seperti memaksa. Tapi pagi menjelang siang itu, dia kelu. Dia sulit mendapat kepastian bagaimana meringankan beban biaya kuliahnya.

“Ah begitu saja koq gampang menyerah,” kata camaba (calon mahasiswa baru) yang juga lolos. “Kita buktikan saja apakah ini kampus bisa adil atau bukan, harusnya disubsidi bukan,” kata camaba lain yang mendengar bisik-bisik. “Tapi kok dia tidak menabung kalau tahu kampus itu mahal,” kata camaba berlagak pemberi petuah. “Saya percaya beasiswa harusnya bisa dia dapat sih,” kata yang lain. “Barangkali orangtuanya tidak bisa mengukur diri pendapatan, memaksakan dia berkuliah,” kata yang lain.

Ya, kebetulan si calon mahasiswa anak petani. Atau takdirnya, bukan kebetulan.

Camaba kurang mampu ini telah mencoba berebut kuota kursi yang direbutkan ratusan ribu orang, yang kadang secara berlebih diTuhan-Kan dalam bimbel-bimbel intensif. Apalah daya si camaba untuk biayai bimbel. Tentu tidak. Dia hanya kebetulan, atau ditakdirkan (pula), punya kepintaran amat besar. dan dia, lolos dalam berebut kuota. Dia tidak merasa menuhankan kuota tersebut, tapi dia sadar hak-nya berhasil dia raih. Minimal, setengah hak-nya.

Dengan tarif yang tak bisa ditawar, ia, kepintarannya, seolah dinodai dengan fakta, bahwa lolosnya ia hanya “setengah hak”. Setengah hak lain harus ditebus biaya yang tak main-main, dan lagi tak bisa ditawar.

Dan benar: dia melepas hak-nya, setengah haknya yang sudah susah payah didapat, dan lebih memilih memacul. Entah tanah apa yang akan dipacul jika tanah keluarganya tinggal sepetak sawah. Sementara setengah hak-nya itu kini berkembang menjadi “satu kursi utuh”, yang harganya bisa ditebus tidak main-main pada penawar: ratusan juta, mungkin.

“Kasihan,” kata sebagian orang. “Kok sampai begitu,” kata sebagian yang lain. “Tapi kok dia biarkan lepas begitu saja,” kata yang lain. “Dan BEM jangan membesar-besarkan perkara ini,” kata yang lain.

Apa yang besar sebenarnya? Apa yang kecil? Satu dari seribuan calon mahasiswa gagal kuliah karena melepas haknya bisa jadi soal kecil dibanding dua-empat puluh ribu yang lolos ke berbagai PTN. Seorang dari ribu orang yang kehilangan kehormatannya mengenyam pendidikan di tempat yang katanya “paling terhormat di salah satu PTN terbaik”, ya, hilang. Penderitaan manusia adalah ombak yang tak bisa dielakkan ….

Penderitaan manusia?

Beberapa kali camaba ini berpikir bunuh diri, karena ia malu kepada keluarganya. Ia seolah bicara kepada keluarganya: “Ibu aku salah. Ayah aku salah. Aku sudah tidak bisa mengangkat derajat keluarga kita, aku lebih suka memacul yang sudah pasti dibanding berkuliah. Tapi aku malu, seorang yang bisa lolos ke kampus malah memacul. Aku malu dilihat teman-temanku.”

Apa yang kecil sebenarnya? Apa yang besar?

Camaba, ia, dikhianati oleh apa yang ia harap, suatu kursi kampus, sampai hancur segala yang dimiliki hanya karena biaya. Padahal ia punya cita-cita, barangkali mulia, menjadi seseorang yang mampu berguna bagi sesama setelah lulus. Lantas setelah belajar keras ia dapat diterima di sebuah kampus luar negeri, sebuah kebanggaan, juga mungkin, kehormatan yang lain. Kehormatan dari sepetak sawah.

Kehormatan meraih kursi kampus, meraih kuota ditengah perebutan oleh ratusan ribu lembar tes dan mungkin ratusan juta (per orang) bukanlah sekedar barang. Ada kebanggaan memiliki. Ada rasa marah karena sebuah hak direbut. Ada makian: huruf-huruf itu memprotes dan sekaligus putus asa terhadap kampus yang tidak menolerir, tidak membuat fleksibel seorang miskin tapi pintar. Dengan kata lain, sebuah perkara besar, karena ia justru terbit pada seorang yang begitu kecil.

Orang yang kecil adalah orang yang memprotes dengan keyakinan tipis bahwa protes itu akan didengar, dan karena itu teriaknya sampai ke liang lahat.

Seperti sebuah sajak, “Misalkan Kita di Sarajevo”:

Hanya seakan ada yang meneriakan tuhan, lewat lubang angindi tembok kiri, ke dalam deru hujan, menyerukan ajal,memekikan jajal, dan desaunya seperti sebuah sembahyang tak jelas,nyeri, sebuah doa dalam bekas.



Camaba ini juga sebenarnya mencoba menjerit tinggi-tinggi. “Kalau betul-betul negara ini adil, harusnya aku bisa mendapat keringanan, dan mungkin beasiswa lainnya di kampus ini,”. Dia bilang, KALAU betul-betul. Dia tidak bilang, KARENA ini negara adil….

Camaba ini meminta, berharap mungkin dan itu berarti dengan keras — karena ia sesungguhnya tidak begitu yakin.

Bagaimana ia bisa yakin? Ia pasti tahu ia bukan termasuk mereka yang bisa menang. Ia bahkan mungkin tak termasuk mereka yang pernah menang. Orang kecil adalah orang yang, pada akhirnya, terlalu sering kalah. Camaba ini hanya sendiri: sudah teramat lemah untuk dikeroyok para lingkar kekuasaan akademis, juga dikeroyok kekuatan kapital yang mengincar kursinya (atau “setengah haknya”), terlampau lemah untuk berontak.

Tapi ia, yang masih punya nyala hidup, toh masih punya rekan yang tak tinggal diam, khalayak tak dikenal dan lagi amat sedikit, tapi peduli. Ia harus berdiri dengan dukungan dan perlindungan. Ia boleh saja kalah, ditindas, melepas, tapi ia tidak membisu. Dan hidup kita, kata seorang bijak, terbuat dari kematian orang-orang lain yang tidak membisu.

Dia berujar, tapi mungkin saja seperti bermimpi, andai dan andai Tuhan mengubah peruntungannya, dia, yang hanya setamat SMA, hanya (akhirnya) mencangkul, memacul, akan memberi beasiswa pada yang benar-benar berhak. Tapi mimpinya terasa berat. Amat berat.

Lalu apa kabar yang tadi, selintas sesama camaba tadi, yang menyindir dan atau menghardik ketus pada camaba miskin yang akhirnya melepas "setengah hak-nya"? oh tentu saja mereka kalangan amat mampu. saking mampunya, mereka pun juga mampu pula mendapat beasiswa dari kampus. entah aplikasi formulir apa dan isi apa yng tertera. siapa tahu negara juga membiayai si mampu ini kuliah S2 dan S3. siapa tahu...

(tulisan ini berpola seperti The Death of Sukardal dan The Death of Conscience tapi isinya amat bertolakbelakang)

Judulnya agak maksa, biar seolah-olah niru. Iya. niru.

suka dibully di @adimuliapradana

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun