Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Mitchell Street, Kawasan Paling Semarak di Darwin Australia

16 November 2013   00:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:07 1673 0

Ada pula Hanuman Restaurant yang sudah dikenal di seluruh Australia dengan Asian Fusion yang fantastis. Awalnya kita akan mengira restoran ini dimiliki oleh orang Indonesia setidaknya orang Bali, tapi ternyata restoran ini dimiliki orang negeri tetangga kita Singapura yang bernama Jimmy Shu dan Selina isterinya. Hampir semua menunya enak-enak di lidah kita orang Melayu meski harganya memang agak mahal buat kantong mahasiswa yang mengandalkan beasiswa, hehe...

Di Michell Street ini juga ada Crocosaurus Cove dimana kita bisa menonton atraksi buaya ganas di dalam sebuah aquarium besar dengan biaya 28 dolar per orang. Kita juga bisa menyaksikan berbagai acara seni, pertunjukkan atau pameran di Darwin Entertainment Centre. Sedangkan untuk berbelanja pakaian, elektronik dan perlengkapan lainnya kita bisa mendapatkannya di Mitchell Centre yang memiliki lahan parkir bawah tanah cukup luas. Di sana pula terdapat supermarket Coles untuk berbelanja memenuhi kebutuhan kita sehari-hari. Tak ketinggalan, di pojok jalan dekat traffic light persis disebelah Mitchell Centre terdapat toko souvenir yang menyediakan berbagai cinderamata khas Darwin/Northern Territory atau Australia pada umumnya yang bisa dibawa pulang ke Indonesia sebagai kenang-kenangan. Cinderramata yang paling dikenal dan dicari para wisatawan adalah lukisan khas orang Aborigin yang terdiri dari unsur titik-titik (noktah-noktah) namun dibuat sangat detil dan berpresisi tinggi sehingga terlihat sangat unik. Motif lukisan itu bisa dibuat atau dicetak di atas kulit binatang, kulit pohon, kanvas, kain, piring, mangkuk, gelas, taplak meja, tatakan piring/gelas, hiasan dinding, pulpen/ballpoin, kaos dan lainnya.

Di tempat ini selain bisa bertemu dengan wisatawan dari berbagai negara, kita juga akan menjumpai cukup banyak orang-orang Aborigin (asli Australia) yang duduk menghampar di beberapa emperan toko/kantor atau berjalan hilir-mudik di sepanjang Mitchell Street. Pakaian mereka kumal, berkulit hitam, rambut tak terurus, serta berjalan dengan wajah seakan tanpa ekspresi. Tapi jangan kaget kalau terdengar mereka bicara seperti berteriak-teriak saat bertemu teman-teman Aborigin lainnya atau saat bergerombol. Maklum mungkin mereka biasa hidup di alam terbuka bukan di rumah-rumah. Meski demikian kita tidak perlu khawatir atau takut mereka akan berbuat kriminal atau tindakan lain yang tidak menyenangkan, kenapa demikian? Itu karena perut mereka sudah kenyang, tidak lapar seperti pada umumnya pengemis/gembel di Indonesia. Pemerintah Australia selama ini telah memberikan santunan sekitar 400 dolar (lebih kurang Rp. 4 juta) setiap 2 minggu kepada setiap orang Aborigin yang tidak bekerja. Memang patut diacungi jempol perhatian pemerintah mereka kepada rakyatnya yang miskin, meski terbersit juga pemikiran nakal bahwa bukankah itu merupakan upaya pembodohan terhadap mereka. Apapun, tapi yang jelas sejauh ini tindak kriminalitas telah berhasil diturunkan ke tingkat terendah khususnya di wilayah Northern Territory ini.

Kalau kita sempatkan berbincang dengan salah seorang dari orang Aborigin terutama mereka yang sudah tua, maka dari mulut mereka meluncurlah cerita-cerita kebanggaan mereka bahwa tanah atau lokasi ini (Mitchell Street atau tempat lain) dulunya adalah tanah keluarga besar mereka dan di sana itu (sambil menunjuk gedung tertentu) mereka pernah tinggal selama bertahun-tahun. Rupanya mereka masih merasa memiliki tempat ini meski sekarang mereka seolah hanya bisa menjadi penonton. Ada juga dari mereka yang secara terang-terangan dan lantang membenci orang kulit putih yang telah merampas tanah mereka, tapi hal itu biasanya diucapkan dalam keadaan mabuk dan hanya berani mereka ucapkan kepada orang-orang non kulit putih (Asia atau Afrika). Mereka memang sangat takut dengan polisi yang secara berkala melakukan razia terhadap orang-orang mabuk di kawasan Mitchell Street dan sekitarnya. Hampir selalu ada saja dari mereka yang ditangkap karena mabuk, lalu dimasukkan ke kerangkeng dibagian belakang mobil polisi, kemudian dijebloskan ke penjara selama beberapa hari. Hal ini telah menimbulkan stigma bahwa orang Aborigin itu sering mabuk. Namun menurut seorang peneliti hal itu sebenarnya keliru, karena justru orang kulit putihlah yang secara statistik lebih banyak mabuk dibanding orang Aborigin. Bedanya adalah orang kulit putih mabuk di dalam bar/pub/cafe, sementara orang Aborigin mabuk di taman-taman, depan took/kantor, trotoar bahkan ditengah jalanan yang dapat mengganggu orang lain dan telah melanggar aturan, sehingga wajar kalau kemudian mereka ‘diamankan’ oleh polisi.

Setelah menghabiskan sore dan malam hari di kawasan Mitchell Street, biasanya pada keesokan harinya seperti juga para backpackers kita bisa pergi untuk menikmati tempat-tempat wisata di wilayah Northern Territory sebagaimana paket perjalanan wisata yang telah dipesan sebelumnya dari salah satu biro travel yang banyak terdapat di sana. Misalnya kita bisa melakukan perjalanan wisata sehari ke Tiwi Islands atau Litchfield National Park yang rimbun; atau kita bisa pergi bertualang ke World Herritage-Kakadu National Park yang terkenal itu. Ada juga pesiar perahu, jelajah alam selama beberapa hari, wisata budaya Aborigin di Arnhem Land, wisata naik mobil double-gardan; atau menikmati penerbangan menggunakan helicopter menjelajah keindahan alam wilayah Australia Utara yang menawan dan menakjubkan.

Dengan lokasi yang strategis, sarana, fasilitas dan kemudahan-kemudahan yang dimiliki serta keunikan yang ada, bisa dikatakan bahwa Kawasan Mitchell Street ini adalah pintu gerbang wisata di Darwin dan wilayah sekitarnya dari Australia bagian utara (Northern Territory).

Selamat Berkunjung...

Darwin, 15 November 2014

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun