Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

(SEKS) Yang Penting Anak Suka dan Diam

31 Oktober 2013   17:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:46 690 1
Seks itu menyenangkan, siapapun setuju dengan hal ini kecuali mereka yang sedang mengalami disfungsi perabotannya masing masing. Seks itu hak semua orang termasuk anak muda yang baru belajar mengenali bentuk tubuh dan perkembangan onderdil paling rahasia yang diberikan untuk mereka. Anak kecil selalu ingin tahu dan rasa ingin tahu adalah sarana menuju pengetahuan yang lebih luas. Setiap orang pernah mengalami hal ini terutama kaum pria.

Ada yang sedikit mengganggu ketika berbagai kebiasaan dan kalalulah boleh kita sebut sebagai budaya di setiap daerah di Indonesia khususnya, atau dunia umumnya. Beberapa hasil pengamatan yang penulis dapatkan umumnya dekat dengan praktek seks usia dini yang disebabkan oleh beberapa faktor. Kebiasaan yang juga sebagai faktor pendukung ini diantaranya:


1. Pernikahan dini,
Pernikahan di usia muda sebenarnya sebagai salah satu alasan (contohnya) kenapa dipulau Jawa dari Timur ke Barat menjadikan pulau itu menyandang predikat salah satu pulau terpadat di dunia. Kebiasaan ini terbawa hingga kemanapun penduduk Jawa merantau atau migrasi. Jika jaman dulu pernikahan dini dianggap sah karena tidak mengutamakan pendidikan (tidak ada) dan langsung dinikahkan, maka kini jangan heran kalau anak SMP juga melakukan hal yang sama. Perbedaannya, kini mereka dianggap melakukan seks sementara masih bersekolah, sementara jaman dulu yang penting sudah haid atau akil balik.


2. Sanitasi,
Sarana mandi cuci kakus (MCK) sejak dulu tidak pernah menjadi bagian dari pembangunan peradaban di Indonesia. Setiap lekuk sungai yang dangkal boleh menjadi ajang sosial atau pertemuan antar manusia baik pria, wanita, anak anak hingga dewasa. Dengan keadaan seperti ini, memungkinkan setiap orang melihat anggota tubuh lawan jenisnya secara sengaja ataupun tidak dan menimbulkan birahi dan pikiran liar. Perilaku ini menjadikan mereka yang  masih sensitif pada pandangan mata dan pikirannya akan hal - hal yang erotis menjadikan mereka mudah terpanggil untuk melakukan perbuatan yang belum bertanggung jawab.


3. Tanggung Jawab.
Dengan banyaknya pasangan muda yang menikah di usia dini dan memiliki anak dalam rentang usia yang seharusnya masih bermain main menghasilkan generasi yang kurang bertanggung jawab. Kurang bertanggung jawab dalam hal ini dapat dengan mudah dilihat dari banyaknya kawin cerai, hingga hal hal yang sepele, seputar perkembangan anan mereka sendiri.
Sering kita lihat  misalnya seorang anak kecil yang menangis dipangkuan ibu/ayah muda coba didiamkan dengan memberi mereka sesuatu. Apapun permintaan oleh anak yang menagis itu diberikan asalkan si anak berhenti menangis. Kebiasaan ini menjadikan anak merasa boleh mendapatkan apapun yang mereka mau dengan merengek/menangis. Membuat orang tua mereka menghalalkan segala cara untuk memberi anak mereka segalanya bahkan jika itu harus dengan mencuri/korupsi.
Si anak tidak diajari untuk mendapatkan yang mereka minta dengan  sabar, bertanggung jawab atau sekedar bekerja dirumah mencuci piring ataupun misalnya dengan belajar. Kondisi ini sedari kecil hingga remaja bahkan dewasa terbawa bawa, menjadikan mereka sebagai generasi yang tidak bertanggung jawab.


4. Tekhnologi,
Gempita terknologi yang lebih mudah dan praktis diikuti pemenuhan kebutuhan oleh orang tua secara tidak langsung mendukung perilaku tidak bertanggung jawab seorang anak. Nilai penghormatan pada kerja keras yang tipis menjadikan penggunaan teknologi tadi lebih mudah untuk diselewengkan pada fungsi yang menyimpang dan tidak berguna bahkan merugikan.
Seorang anak yang bernarsis ria didepan kamera handphone memamerkan bertuk tubuhnya atau perkembangan organ intimnya, untuk kemudian dibagikan kepada teman temannya melalui jejaring sosial yang bertebaran tanpa sadar membawa mereka pada rasa malu yang masih tersisa. Mereka kemudian menjadi terkejut ketika menghadapi kenyataan bahwa ada konsekuensi dari setiap perbuatan yang tidak umum dikalangan dewasa meski biasa dikalangan remaja.
Mereka lalu gagap ketika dihadapkan pada tanggung jawab, sesuatu yang tidak pernah mereka dapatkan pengertian apa dibalik kata itu. Mereka tidak merasa selama ini punya kewajiban menjaga nama baik diri, keluarga dan lingkungan mereka. Mereka hanya tahu bahwa rasa nikmat bersentuhan dengan lawan jenis atau bahkan sesama jenis yang biasa dinikmati ternyata harus dipertanggung jawabkan. Rasa nikmat yang mereka perbuat, nikmati hingga diabadikan dalam sebuah gambar diam atau berjalan (video) lalu disebarkan ternyata harus menuai keprihatinan dari kalangan orang tua yang tidak mengajari mereka akan arti sebuah hanggung jawab.
Teknologi, apapun itu, selama itu adalah untuk mempermudah sebuah kehidupan sebenarnya lebih dekat pada jurang degradasi baik moral maupun peradaban itu sendiri.
Yang penting anak diam dan suka atau... mengajarkannya bertanggungjawab dan mengingatkannya bahwa tidak semua yang mereka minta bisa didapatkan meski mereka menangis semalam suntuk... itu kedewasaan para orang tua.
Jangan sampai seorang anak bunuh diri di warnet hanya karena tidak dibelikan sepeda motor atau tidak mau sekolah hanya karena tidak diberikan hadiah kenaikan kelas berupa sepeda balap. Semua diawali dari kecil saat anak itu masi belum terkontaminasi produk teknologi praktis.
Jangan sampai teknologi  menginspirasi mereka untuk melakukan hal bejat ditempat dimana seharusnya mereka belajar untuk beradab, sekolah misalnya, karena tidak diajari arti tanggung jawab.
;
;
=SachsTM=

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun