Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Invasi Rasisme dari Jiran

4 Desember 2012   20:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:11 2195 3
Seorang korban tabrak lari diberitakan meninggal karena kehabisan darah di depan kerumunan warga Cina dan tidak ada yang mencoba menolong hanya karena kulitnya berwarna gelap. Mereka baru tahu bahwa korban adalah tetangga mereka yang notabene adalah seorang ber-ayah India dan Ibunya Cina tulen.... (Tulis seorang Blogger)

=======


Apa yang kita impor dari negeri tetangga Malaysia adalah kebudayaannya. Salah besar jika klaim Malaysia atas warisan budaya Indonesia dianggap pencurian, mereka hanya mencoba mengadopsi dan melestarikanya dengan cara yang menurut mereka sah secara rumpun ras.

Perkembangan rasialisme di Indonesia adalah yang imbal balik yang pantas disebut sebagai buah hasil impor dari pertukaran budaya kita. Rasisme yang kemudian ditumpangi dengan sentimen agama yang begitu kental dan mendarah daging di semenanjung dan berbalas pantun di Sarawak dan Sabah.

Jika Semenanjung adalah surga bagi rasisme melayu dan Islam terhadap etnis selainnya, maka Sarawak dan Sabah adalah benteng etnis Cina pada pertunjukan kebencian pada Melayu dan keduanya bersatu padu memarjinalkan etnis Dayak.

Singapura memisahkan diri karena isu entisitas ini.

Ada juga seorang blogger yang menceritakan kisahnya yang dibiarkan dikejar anjing piaraan  pemilik warung kopi etnis Cina, hanya karena wajahnya seorang Melayu. Ini tidak hanya terjadi di Borneo sebab kebalikannya berlaku di Semenanjung Malaya.

Kontrol ketat pemerintah Malaysia pada media sejauh ini berjalan efektif  mengendalikan keamanan di negeri rasis itu.  Tapi kita bisa melihat para blogger dari Malaysia, selalu mengunggulkan ras dan agamanya dengan merendahkan yang bukan dari kalangannya.

Indonesia menjadi negeri yang sangat terpengaruh dengan polarisasi rasisme melayu yang sempit dan primordialis ini. Semakin hebat kebanggaan melayu dengan Bahasa Melayu adalah Induk Bahasa Indonesia yang selalu tercatat dimana-mana. Seolah Melayu adalah ras unggul dengan yang lain adalah budaknya.

Toleransi di Indonesia semakin menipis, berkat pengaruh majikan Malaysia ketika babu mereka pulang ke negeri asalnya dan "invasi" ustad karbitan yang mengidealkan islamisnya negara Malaysia.

Melayu Malaysia seperti halnya Melayu pinggiran di Deli yang sinis pada Batak, masih belum siap menerima perbedaan. Hebatnya lagi, agama sering merestui dengan fatwa yang melarang bersentuhan dengan tetangga yang bukan seagama.

Kita dengan mudah melihat kata-kata cacian, makian, hujatan dan hinaan lengkap berasal dari pengguna internet asal Malaysia, termasuk di Kompas.com. Sampai-sampai, teman sesama netter menyarankan jika ingin lancar mecaci maki, belajarlah dari orang Malaysia.

Untuk mencaci maki, orang Malaysia masih unggul dari Indonesia, yang sangat disayangkan orang Indonesia ikut terpengaruh menyebakan kebencian pada sesama agama, ras, lain agama dan seterusnya. Maka toleransi pun ikut terdegradasi.

Tidak mengherankan, kebencian Melayu, Cina Malaysia pada WNI/TKI adalah buah dari rasisme yang subur makmur sentosa di negeri Yang Dipertuan Agong itu.

Jika Malaysia Trully Rasis, haruskah Indonesia menjadi Wonder-fool?

Apa yang perlu kita pelajari dari Malaysia adalah kemakmurannya tidak sebaik toleransinya...

=SachsTM=

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun