Sebagian kita mungkin sedikit 'frustasi' untuk menemukan kalimat dongeng itu dalam tulisan sejarah para pahlawan yang resmi dan mendapat pengakuan secara nasional.
Mungkin karena kita tidak memiliki cukup banyak 'tinta emas' hingga akhir cerita atau karena hidup terus berjalan sehingga 'yang lalu biarlah berlalu' berlaku untuk setiap jasa mereka?. Atau karena kita memang tidak berbakat menghargai orang - orang hebat yang ada disekitar kita sebelum ini dan Nanti.
Saat ini? Ya, saat ini (disisi lain), kita terbiasa membuat seseorang menjadi Pahlawan hanya untuk saat ini, berdasakan kebutuhan "ke-kini-an", dengan tujuan sempit, terbatas dan kebutuhan sebagian kecil orang sehingga terkesan "mendegradasi" arti sebuah kepahlawanan sejati.
Kembali ke arena,
Sebagian besar pengetahuan yang kita dapat dari teks buku sejarah tentang para pahlawan kita hanyalah kisah yang memilukan di akhir cerita (hayat) mereka.
Sekedar beberapa contoh,
Cut Nyak Dhien, wanita yang paling "menggemaskan" Kaphe/Belanda di dunia selain Ratu Wilhelmina (dalam dua kutub persepsi yang berbeda), mebuat kita yang membaca sejarah perjuangan beliau sangat menjanjikan kebanggaan dan membuat bulu kuduk berdiri. Kita tidak bisa meminta lebih banyak dari seorang "putri" yang penuh kenyamanan di masa mudanya, menjadi singa betina dan "jatuh" secara menyedihkan dalam kebutaan di pembuangannya.
Pangeran Diponegoro, pangeran paling populer (di Indonesia hingga saat ini) dengan perang yang hampir membuat Belanda bangkrut hidup penuh kenyamanan jika beliau mau. Tawaran sebagai Raja dari dan untuk menggantikan ayahanda beliau, Sultan Hamengkubuwono III, adalah jaminan keselamatan, kekayaan dan kekuasaan baginya sendiri, tapi beliau menolak sebab rakyat dan spiritualisme baginya lebih penting.
Perang dibawah kepemimpinan beliau disinyalir memaksa Belanda meninggalkan beberapa jajahannya yang lain seperti Afrika Selatan (walaupun belum ada bukti), menyerah pada Inggris di Melaka dan menunda perang Aceh, demi konsentrasi menghadapi tentara Diponegoro yang mematikan. Kemudian beliau ditangkap, dibuang, dan meninggal jauh dari istana yang ia banggakan.
Sisingamangaraja XII, mungkin cukup beruntung meninggal "terhormat" di tanah yang ia perjuangkan. Tetapi kematiannya yang dipertontonkan sepanjang jalan menuju Tarutung, mengingatkan penulis pada pangeran Troya, Pangeran Hektor yang diseret sepanjang hari oleh penakluknya Akhilles.
Tidak cukup satu artikel untuk menggambarkan para pahlawan lain yang semuanya mengalami ke-naas-an yang kurang lebih sama. Bahkan, tokoh "setengah dewa" yang menyatukan negeri yang luas dan bhineka ini, Soekarno, mengalami tragedi yang memalukan. Beliau harus "mati" bersamaan dengan nama besarnya, karakternya, jasanya, dan kharismanya di penjara. Penjara, begitu akrab bagi Soekarno karena ia boleh dikatakan memulai perjuangan mempersatukan dan memerdekakan dari sana, kemudian juga berakhir atau "ditenggelamkan" oleh bangsanya dalam keadaan terpenjara.
Mental Indonesia