Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Membangun Kembali Partai Sosialis Indonesia adalah Kewajiban Sejarah

8 April 2013   16:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:31 2350 1
Tanggapan tulisan M. Dawam Rahardjo:

“MUNGKINKAH MEMBANGUN KEMBALI

PARTAI SOSIALIS INDONESIA?”

http://ramchesmerdeka.blogspot.com/2013/01/mungkinkah-membangun-kembali-partai.html

Oleh Adie Marzuki*

Tulisan ini dibuat dalam rangka mempertegas poin-poin yang terkandung dalam pertanyaan retoris M. Dawam Rahardjo, dengan mengangkat sudut pandang yang berbeda, berbasis penelitian sejarah serta kajian sosialisme dalam perspektif umum.

Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini didirikan, yang secara resmi dicantumkan dalam konstitusi negara sebagai kontrak sosial institusi negara dengan seluruh entitas bangsa, adalah untuk membentuk suatu pemerintahan yang melindungi, memajukan, mensejahterakan, dan mencerdaskan, serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Dalam mencapai tujuan ini, telah disepakati dalam konstitusi tersebut untuk menggunakan suatu kendaraan yang terdiri dari gerbong berisikan konsep sosial ekonomi yang ditarik oleh lokomotif politik kerakyatan. Dalam perspektif terminologis, kerakyatan di sini antara lain mengandung makna; tujuan mengangkat nasib, martabat dan harkat kaum yang lemah dalam posisi sebagai bangsa yang berdaulat, sebagai penegasan bahwa format yang paling ideal bagi karakteristik dan psikografis populasi Indonesia yang sangat banyak, dengan kekayaan sosio-diversifikasi dan rentang wawasan serta pendidikan yang masih terlalu lebar, adalah bentuk yang berpegang pada asas persamaan derajat manusia, tanpa menafikan adanya kesenjangan pemahaman dalam masyarakat.

Umumnya orang lebih nyaman dengan suatu bentuk demokrasi, yang definisi populistiknya adalah sebuah sistem pemerintahan  ”dari, oleh, dan untuk rakyat”, walaupun dalam sejarah manusia, bisa dikatakan pengertian demokrasi demikian tidak akan pernah ada. Namun, fakta empiris memperlihatkan implementasi terminologi kerakyatan, yang lebih menekankan kepada “kepentingan rakyat” ketimbang “suara rakyat” dengan sistem perwakilan untuk permusyawaratan, lebih ideal dalam menghindari terjadinya kombinasi dari apa yang disebut William Case “pseudo-democracy”. Dalam konteks tersebut, dapat dipersepsikan bahwa sosialisme kerakyatan adalah perumusan sebuah sistem pencapaian tujuan bernegara yang disesuaikan dengan tuntutan politik rakyat, tuntutan konstitusi, serta selaras dengan kondisi obyektif maupun situasi subyektif di negeri ini. Dalam hal ini memperlihatkan visi jauh kedepan dari para perumus ideologi tersebut, dan sekaligus memperlihatkan pemahaman yang mendalam akan masyarakat Indonesia.

Dengan mencermati dan memahami substansi sosialisme kerakyatan, mengarahkan pemahaman bahwa mengusung ideologi tersebut adalah suatu mekanisme penjabaran nilai-nilai Pancasila, yang menurut penggalinya adalah falsafah negara (philosophice grondag atau weltanchaung), dimana nilai-nilai sosialisme kerakyatan itu dideskripsikan dalam runtutan kalimat filosofis sebagai hasil kristalisasi pemikiran para pendiri negara ini. Aksi pemberangusan ideologi dengan memanfaatkan kalimat “asas tunggal Pancasila” adalah suatu distorsi pemahaman atas falsafah negara tersebut, yang sejatinya adalah landasan bagi sistem operasi dalam menjalankan negara kearah tujuannya. Sistem operasi tersebut adalah ideologi. Maka dalam mengembalikan arah negara ke tujuan semula sesuai konstitusi, pembangunan ideologi sangat diperlukan, terutama di tataran penyelenggara negara yang terdiri dari para politikus, dalam wadah partai politiknya. Paradigma ini seyogyanya dapat digulirkan ke setiap pendukung reformasi, bahwa perubahan formasi yang paling utama untuk dilakukan, adalah mengembalikan ideologi ketempatnya semula, sebagai “driver” menuju tujuan negara.

Gagasan sosialisme di Indonesia tidak dapat hanya dipandang sebagai antisipasi dari bercokolnya neoliberalisme, yang merupakan wujud lanjut kapitalisme, namun juga sebagai konsekuensi dari pembentukan negara ini. Ketika golongan elit yang merepresentasikan kemauan mayoritas dari 73 juta rakyat nusantara pada tahun 1945 memutuskan untuk memproklamirkan kemerdekaan dan membentuk sebuah negara, maka format yang disepakati adalah bentuk negara yang disusun berbasiskan nilai-nilai sosialisme. Kilas balik ke hari Sabtu bulan Ramadhan 67 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, ketika sekelompok elite terbaik bangsa ini berusaha menyepakati pondasi yang pas bagi republik yang baru lahir, maka terlihat aspek sosialisme sangat dominan. Pemahaman kelompok elite tersebut akan konsep negara sangat mendalam. Mereka paham akan pentingnya menjaga cita-cita membangun negara ini dengan suatu sistem yang berkedaulatan rakyat, dimana kepentingan rakyat banyak lah yang menjadi satu-satunya prioritas utama. Namun demikian, para pemikir elite tersebut juga paham bahwa bangsa ini berbeda dari negara-negara tempat ide-ide pembentukkan negara berasal. Oleh sebab itu, acuan nilai-nilai sosialistis yang dituangkan kedalam pasal demi pasal konstitusi, disesuaikan serta ditekankan kepada sosio diversifikasi bangsa yang sangat majemuk ini.

Aspirasi sosialisme yang terkandung dalam bulir konstitusi tersebut memerlukan sebuah kekuatan politik untuk menjaga arah perkembangan negara. Kekuatan politik yang dengan tegas menyatakan posisinya sebagai penjaga aspek sosialistis dalam pengelolaan negara. Program ekonomi kerakyatan dan kebijakan publik yang pro rakyat berbasis suatu ideologi sebagai sistem operasi, memerlukan suatu sistem kajian dan monitor implementasi yang jelas. Dalam mendukung tujuan tersebut, maka sistem kepartaian sebagai persyaratan suprastruktur bagi suatu wadah ideologis, harus disepakati di tataran pengelola negara sebagai suatu prioritas utama. Negara berkewajiban untuk mengakomodir aspirasi sosialisme dalam struktur pengelolaan, sebagai komitmen peneguhan cita-cita bangsa sesuai kesepakatan pendiriannya. Jika sistem kepartaian dapat mengakomodir kebutuhan tersebut, maka wadah ideologis paling ideal bagi suatu gerakan politik berbasis tujuan negara tersebut adalah Partai Sosialis Indonesia. Terlepas dari kesejarahan sebagai partai politik yang menegaskan ideologi kerakyatan sebagai acuan utama, kehadiran Partai Sosialis Indonesia akan merepresentasikan suatu visi negara bagi rakyatnya. Kehadiran partai politik-partai politik yang memposisikan diri sebagai pengusung ekonomi kerakyatan serta kebijakan pro rakyat tidak akan dapat menggantikan legitimasi ideologis yang dimiliki Partai Sosialis Indonesia. Partai Gerindra, Partai SRI, Partai Amanat Nasional dan lain-lainnya tidak akan mudah mengadopsi suatu konsep penyelenggaraan negara tanpa basis ideologi yang matang.

Ideologi sosialisme kerakyatan adalah kearifan lokal yang dirumuskan secara ilmiah dengan mengacu kepada metodologi sosialisme barat.  Sosialisme kerakyatan tidak dilahirkan dalam syarat-syarat kondisi obyektif seperti yang terjadi di Eropa atau China, oleh karenanya, sosialisme kerakyatan bukanlah sosialisme Eropa maupun China. Namun demikian, pisau analisa serta dinamika dalam tahapan-tahapan peralihan menuju sosialis dari Eropa maupun China tidak dapat dipungkiri masih relevan sebagai acuan studi kasus. Sosialisme Eropa berangkat dari perkembangan teknik sebagai tenaga pendorong kemajuan yang utama, dan menyusun program ekonomi berdasarkan dinamika kekuatan produktif. Sedangkan China, dalam merealisasi pembangunan negara lebih dari satu miliar orang, mereka memperkenalkan frasa "sosialisme dengan karakteristik China," dan menggunakan perangkat retoris yang memungkinkan untuk meredefinisi teori sosialis ortodoks. Langkah tersebut memungkinkan pemerintah China untuk melakukan apapun kebijakan ekonomi yang diperlukan untuk menjadi negara industri, yang disebut "tahap utama sosialisme". Kebijakan tersebut memungkinkan fraksi reformasi di China untuk tetap menunjukkan kesetiaan kepada ideologi komunis China sambil memperkenalkan langkah-langkah kapitalis liberal dalam sebuah program ekonomi terpusat-terencana.

Dinamika serta tahapan dalam kasus sosialisme Eropa dan China tersebut dapat menjadi acuan bagi sosialisme di Indonesia dalam melakukan langkah antisipatif berdasarkan perkembangan konstelasi politik serta perubahan ekonomi global yang terjadi saat ini, termasuk dalam merespon kondisi politik dan perekonomian yang terjadi di level domestik. Dalam konteks pemikiran tersebut maka dibutuhkan kekuatan politik yang legitimatif serta representatif, yang dapat merumuskan langkah-langkah kebijakan yang selaras dengan konstitusi bangsa. Langkah tersebut hanya dapat dicapai jika negara menjamin keterwakilan aspirasi sosialistis dalam struktur pemerintahan, dengan suatu sistem kepartaian yang kondusif bagi ideologi sosialisme, khususnya sosialisme kerakyatan. Gagasan sosialisme yang tanpa wadah yang melembaga akan menghasilkan transmutasi serta distorsi, akibat interaksi pemikiran sosialistis dengan perkembangan teknologi dan ideologi lain, dan pengaruh hegemoni kekuatan politik global atas Indonesia. Tidak adanya wadah bagi pemikir-pemikir sosialis akan mengarahkan kepada kekaburan ide sosialisme itu sendiri, serta menghasilkan multi-interpretasi atas gagasan sosialisme yang tepat-guna bagi kondisi Indonesia.

Para pemikir dalam Partai Sosialis Indonesia pra 1960, baik yang dirumuskan dalam manifesto politbiro maupun pemikir bebas yang diakomodir di media-media sosialis kesemuanya memiki keterkaitan yang kuat. Dasar-dasar pemikiran yang dirilis secara resmi oleh Dewan Partai dengan mudah dikembangkan mengikuti dinamika perkembangan teknologi dan jaman. Filosofi sosialisme yang diletakkan Sjahrir dan segenap jajaran pengurus partai akan dikembangkan sesuai tahapan-tahapan yang dilalui oleh negara ini dalam prosesnya menuju cita-cita bangsa. Fase-fase pertumbuhan ekonomi seperti factor-driven, efisiency-driven sampai innovation-driven akan mendapatkan landasan kebijakan ideologis yang menjamin konsistensi kebijakan yang pro rakyat. Dasar pemikiran seperti sistem agraria yang dirilis resmi oleh Dewan Partai maupun gagasan-gagasan seperti sistem kepartaian yang ditulis oleh Djohan Sjahroezah di media Suara Sosialis, program kemasyarakatan Soedjatmoko yang mendapat akreditasi internasional, sampai gagasan kebudayaan dari Sutan Takdir Alisyahbana, semuanya dirumuskan secara filosofis dengan pendekatan sains, sehingga mudah dikembangkan sesuai dinamika jaman.

Dialektika sosialisme kerakyatan ketika berinteraksi dengan gagasan-gagasan pemikir seperti Bernstein, Gramsci, Schumpeter, maupun dengan studi kasus seperti Amerika Latin melahirkan pemikiran-pemikiran dinamis yang mengarah kepada strategi pembangunan yang dituangkan oleh Partai Sosialis Indonesia dalam 40 butir Dasar-Dasar dan Pandangan Politik, yang dikerucutkan pada Program Nasional di bidang politik, ekonomi, perburuhan, pertanian, pendidikan-kebudayaan, kepemudaan, kesehatan, perumahan desa dan kota, serta politik internasional yang kesemuanya dapat menjadi acuan pembangunan yang baku. Generasi penerus sosialisme kerakyatan yang mencoba menggali dan mengkaji artefak pemikiran yang terpendam oleh timbunan sejarah pada saat ini menyadari pentingnya memiliki acuan ideologi yang legitimatif dalam memperjuangkan masa depan bangsa. Generasi yang justru hampir tidak memiliki kesejarahan sosialis ini mengais ideologi dan mengembangkan strategi perjuangan dengan kesadaran penuh akan kondisi bangsa yang hampir tanpa arah ini.

Namun keyakinan akan tujuan kebenaran absolut dalam mencapai tujuan negara ini didirikan, membuat generasi ini mampu mempertaruhkan masa depannya pada suatu cita-cita sosialisme kerakyatan. Tahapan awal yang harus dilewati adalah penyebaran wawasan dan proses kristalisasi gagasan dalam sebuah kegiatan pendidikan kader sosialisme kerakyatan yang matang, berintegritas dan berkomitmen tinggi terhadap cita-cita bangsa. Kader-kader tersebut akan menjadi agen-agen perubahan di setiap entitas yang diwakilinya, dan menjadi motor penggerak masyarakat yang memiliki keterikatan emosional yang tinggi terhadap cita-cita bangsa. Kader-kader tersebut dipilih dari daerah-daerah tingkat II yang nantinya akan dilatih untuk memiliki rasa Kebangsaan, Kerakyatan, Kemandirian, Integritas, Militansi dan berkarakter Problem Solver serta memiliki visi Negarawan.

Tahapan berikutnya adalah mendobrak sistem perindustrian dan formalitas ekonomi yang ada dengan memberdayakan sektor informal dan membangun bisnis-bisnis jaringan berbasis kolektivisme yang humanis sesuai dengan ketersediaan teknologi dan perangkat sistem yang dimanfaatkan secara optimal. Beberapa pilihan usaha yang ideal adalah yang berkaitan dengan lingkungan, sesuai dengan kebutuhan terkini. Gagasan-gagasan seperti desalinasi air laut untuk penyediaan air bersih bagi masyarakat pesisir pantai atau pembangunan reactor mikro hidro atau biomasa untuk penyediaan tenaga listrik yang berkelanjutan dan ramah lingkungan adalah pilihan utama. Bisnis-bisnis tersebut akan dikelola dan dimiliki oleh rakyat setempat, dengan bantuan permodalan serta teknologi yang dikoordinir oleh pusat gerakan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini juga membawa misi-misi penyadaran akan perlunya perhatian terhadap lingkungan, sebagai antisipasi perubahan iklim yang semakin menggejala.

Sementara itu, permasalahan-permasalahan dalam masyarakat yang timbul akibat aspek hegemoni kepentingan modal harus diselesaikan dengan solusi-solusi yang berdasarkan kerakyatan. Pengupayaan hal tersebut selain memperluas sebaran pemahaman sosialistis dalam masyarakat, juga menjadi langkah taktis dalam mengkondisikan masyarakat agar siap dengan antisipasi-antisipasi permasalahan yang bersumber dari gagasan neoliberalisme. Untuk itu perlu dibangun sebuah lembaga pengkajian ilmiah yang membahas permasalahan sosial dangan pendekatan sosialisme kerakyatan. Lembaga ini akan terdiri dari sekelompok pemikir intelektual yang bertugas menggali serta mengidentifikasi permasalahan kemasyarakatan yang timbul akibat gesekan kepentingan dengan kaum neoliberalis. Hasil kajian tersebut selain mengarah ke implementasi, juga diterbitkan dalam bentuk tabloid, yang disirkulasikan ke pusat-pusat masyarakat di seluruh negeri. PIKIR Institute mencoba menginisiasi munculnya lembaga-lembaga kajian sejenis di seluruh pelosok negeri.

Langkah taktis berikutnya adalah mengaktifkan para Kader yang telah siap dengan tugas-tugas kemasyarakatan, untuk segera terjun ke organisasi-organisasi masyarakat di daerahnya. Mereka akan mensosialisasikan gagasan sosialisme kerakyatan dan membuat wacana-wacana solusi yang diperlukan oleh setiap daerahnya masing-masing. Kegiatan ini bertujuan memperluas jejaring dan peningkatan kualitas masyarakat daerah agar siap menghadapi perubahan sosial yang mungkin terjadi akibat perubahan system yang sedang diperjuangkan. Dari perputaran bisnis-bisnis yang terjadi di setiap daerah, harus dialokasikan beberapa bagian keuntungan untuk pembentukkan suatu komunitas bisnis yang baru, melalui komunitas masyarakat yang di pilih oleh kader-kader yang diterjunkan di organisasi kemasyarakatan tersebut. Skema yang paling ideal adalah sebuah lembaga keuangan mikro, yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tempat organisasi masyarakat itu berada. Model yang saat ini berjalan di Sumatera Barat adalah pilihan yang ideal.

Perputaran dana di setiap daerah tersebut kemudian dapat dimanfaatkan untuk membangun bisnis-bisnis berikutnya, yang fokus kepada penyediaan kebutuhan dasar masyarakat. Alokasi tahapan berikutnya adalah membangun sekolah-sekolah lanjutan atau lembaga pendidikan khusus, yang memberi solusi pendidikan bagi rakyat informal di setiap daerah. Pada tahapan ini, setiap kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan harus mendapatkan akses pemberitaan di media masa lokal di setiap daerahnya. Kegiatan-kegiatan tersebut akan membutuhkan sebuah wadah-wadah atau badan-badan hukum tersendiri, yang dikhususkan untuk mengurusi setiap jenis kegiatan tersebut. Maka pembentukan organisasi berbadan hukum seperti yayasan atau koperasi akan diperlukan sebagai penanggung jawab hukum dari setiap kegiatan tersebut.

Ketika kegiatan yang berlangsung telah mencapai taraf kemandirian dan kematangan masyarakat luas secara ekonomi, social dan politik, maka tunailah revolusi kesadaran di masyarakat. Pada saat itu, kondisi politik dan ekonomi dunia sangat menentukan langkah berikutnya. Pada suatu kondisi tertentu, pencapaian gerakan masyarakat sudah cukup untuk mengambil alih jalannya roda pemerintahan secara sistemik. Kondisi yang dimaksud adalah melemahnya negara-negara pemain utama dunia, dan berkurangnya ketergantungan Indonesia atas bantuan atau dukungan produksi dari luar. Dalam kondisi tersebut, rakyat yang telah memiliki kesadaran serta wawasan yang cukup, akan memiliki juga kekuatan politik yang signifikan. Rakyat tersebut akan sanggup mengembalikan cita-cita berdirinya bangsa ini ke tempatnya semula, yaitu membentuk suatu pemerintahan yang melindungi segenap rakyat, memajukan kesejahteraannya, mencerdaskannya, serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Langkah awal yang dilaksanakan PIKIR di sektor-sektor tersebut diatas belumlah cukup untuk mengawal keseluruhan proses tersebut. Diperlukan suatu kekuatan politik yang mampu menjadi koordinator dari munculnya gerakan serentak di seluruh negeri, berupa partai politik. Ketika embrio partai yang saat ini sudah siap dalam mematangkan strukturnya dimunculkan ke publik, maka pada saat itu medan-medan pertempuran dalam peperangan melawan hegemoni neo kapitalisme liberal sudah jelas terindetifikasi. Beberapa bagian dari teori Schumpeterian yang telah terbukti saat ini seharusnya dapat diakselerasi dalam skala domestik. Iklim intelektual dan sosial yang dibutuhkan untuk memungkinkan kewirausahaan berkembang tidak mendapat porsi yang cukup dalam neo kapitalisme, maka akan digantikan oleh aspek-aspek sosialisme dalam beberapa bentuk. Tren di tataran legislatif yang mendorong keruntuhan kaki-kaki kapitalisme dari dalam, akan muncul sebagai fenomena alamiah akibat sistem pseudo-demokratis. Perkembangan non-politik sebagai proses evolusi dalam masyarakat dimana kapitalisme liberal dituntut oleh pertumbuhan manajemen buruh, industri dan lembaga regulasi untuk semakin menerapkan pendekatan sosialisme, harus bisa dimanfaatkan sebagai momen transformasi. Ini adalah medan pertempuran yang pertama.

Medan pertempuran berikutnya adalah sektor informal. Pelaku utama dalam perekonomian ini semakin vital perannya, karena jumlah pekerja formal atau buruh terus merosot, khususnya pekerja di sektor industri modern. Saat ini, jumlah pekerja informal mencapai 70-80% dari keseluruhan pekerja. Sedangkan pekerja di sektor manufaktur tidak melebihi 15 juta orang, dimana sekitar 55,21 juta orang atau 52,65 persen dari total angkatan kerja hanya mengantongi ijazah Sekolah Dasar. Industrialisasi pendidikan telah menutup jalan rakyat mayoritas untuk meraih kedaulatannya melalui pendidikan yang layak. Sementara Negara mendorong de-industrialisasi dengan mendorong sebagian besar usaha ekonomi untuk bergerak pada sektor informal dan Usaha Kecil Menengah yang terfragmentasi, yang lebih mirip dengan ekonomi keluarga ketimbang ekonomi kapitalistis yang bertumpu pada industri modern. Kondisi tersebut diperburuk dengan tertutupnya akses permodalan bagi masyarakat informal. Rakyat kelas informal yang bercirikan kepemilikan kecil, terfragmentasi, dan kurang politis ini terdiri antara lain mulai dari para pedagang kaki lima, perdagangan kecil, pengrajin kecil, pertanian dalam skala kecil, nelayan kecil, dan lain-lain sampai wiraswasta kelas menengah. Golongan rakyat informal inilah yang paling menderita akibat penyelewengan cita-cita negara oleh sekelompok elit pembawa kepentingan pemodal serta aparat politikusnya.

Medan pertempuran lainnya adalah yang disebut sebagai digital kolonialisme, yang semakin lama semakin memiliki dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan akumulasi modal di masyarakat lokal dan global, stratifikasi sosial, destabilisasi politik dan bahkan kemiskinan. Produk digital tersebut dapat dilembagakan secara parsial dan dipicu oleh efek dari imperialisme elektronik yang terlihat jelas di belahan dunia bagian selatan. Medan pertempuran berikutnya adalah sistem pendidikan, perburuhan, agraria dan seterusnya, sesuai acuan sosialisme kerakyatan yang disesuaikan dengan kondisi riil di masyarakat, yang selama beberapa tahun belakangan ini berada dalam pergolakan transformasi yang cepat. Selama satu dekade terakhir, ekonomi Indonesia terlihat sekilas seperti tumbuh lebih kuat, lebih stabil, dan lebih beragam, terutama jika tampak dari luar. Posisi Indonesia yang masih di tahap “efficiency driven”, tertinggal dari Malaysia yang sudah beranjak ke tahap peralihan menuju “innovation driven”, memperlihatkan kualitas pertumbuhan yang belum mampu memperkuat fondasi ekonomi domestik. Sektor yang berbasis padat modal masih menjadi kontributor utama PDB, sementara pertumbuhan sektor manufaktur, industri pengolahan dan sektor primer yang berkaitan langsung dengan rakyat serta berdampak pada kesejahteraan masyarakat secara merata, justru melambat. Aspek lain dari pertumbuhan ekonomi yang semu ini nampak dari indikator gini ratio (rasio ketimpangan pendapatan) yang memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya dinikmati segelintir masyarakat, dan bukan diperoleh dari pembangunan nasional. Pada 2002 gini ratio Indonesia adalah 0,32, sementara pada 2011- 2012 adalah 0,41, dimana 0 (nol) merupakan angka sempurna atau tidak ada ketimpangan sama sekali, sementara 1 (satu) merupakan yang terburuk.

Embrio Partai Sosialis Indonesia yang akan menjawab tantangan-tantangan seperti yang dijabarkan diatas akan menjalani proses, dimana calon pemimpin yang ideal serta tangguh akan terseleksi atau dilahirkan dari seleksi alam yang ketat selama tahapan berlangsung. Calon pemimpin sosialisme kerakyatan tersebut dapat saja terlahir dari organisasi-organisasi lain yang senafas dengan visi-misi sosialisme kerakyatan, menjawab tantangan–tuntutan yang terjadi di tataran domestik maupun global, dan mampu menjalani proses yang berlangsung secara konsisten serta keikhlasan yang nyata. Dalam hal ini Struktur yang terdapat dalam embrio Partai Sosialis Indonesia akan menjadi pengawas sekaligus pengkader dan mentor bagi calon-calon pemimpin tersebut, selain mempersiapkan suprastruktur dan infrastruktur partai bagi Partai Sosialis Indonesia di masa datang, yang diharapkan hadir dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.

*Penulis adalah salah satu pendiri Pusat Inovasi dan Kemandirian Indonesia Raya (PIKIR) dan pengurus Dewan Partai PSI

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun