9 Mei 2012 14:23Diperbarui: 25 Juni 2015 05:301090
Akhir pekan ini saya mengikuti kegiatan baksos HMI di dusun Brau, Desa Gunungsari, Kota Batu. Kegiatan ini merupakan agenda rutinan HMI komisariat Teknologi Pertanian Brawijaya. Di sana saya dan kawan-kawan menginap di rumah sederhana milik Pak Taswin. Baksos kali ini diikuti oleh sekitar dua puluh kader HMI.Dusun Brau merupakan dusun yang secara geografis rada terisolasi karena letaknya diapit oleh dua bukit. Lokasinya dekat dengan kawasan wisata paralayang. Saat pertama memasuki dusun ini saya langsung disuguhkkan pemandangan alam yang cantik. Mulai dari pematang sawah yang disusun terasering, hingga perbukitan hijau yang banyak ditumbuhi pinus dan cemara.Sosiologis masyarakat di dusun ini seakan melupakan saya bahwa letaknya dekat dengan Kota batu. Karakter masyarakatnya khas orang desa dengan keramahan yang jujur. Sebagian besar dari mereka hidup sebagai petani sayur dan berternak sapi perah. Rumah-rumahnya sederhana dengan infrastruktur yang sederhana. Satu hal berharga yang saya dapat dari penduduk dusun ini ialah di balik segala tuntutan hidup yang saya rasa begitu berat, mereka seakan mampu dengan mudah berbahagia. Pola interaksi antar warganya jauh berbeda jika dibandingkan dengan orang kota. Saya dapat merasakan adanya sikap kepekaan sosial masyarakat antara satu dengan yang lainnya.Di dusun ini kami melakukan berbagai sosialisasi tentang biogas, sanitasi, hingga pengolahan susu menjadi keju. Selain itu juga ada pemerikasaan kesehatan gratis. Terlihat antusias warga, terutama ibu-ibu, dalam mengikuti kegiatan ini. Selain itu kami juga mengajar anak-anak di dusun ini tentang pelajaran sehari-hari mereka dan pelajaran agama Islam. Anak-anak di sini sangat antusias sampai kadang-kadang membuat kami kewalahan.Ada satu pelajaran paling menarik yang saya dapat. Ketika saya didaulat untuk mengajar anak-anak di TPQ, awalnya saya yakin. Tapi ketika melihat anak-anak itu dengan berbagai tingkah pola mereka, saya jadi rada bingung juga. Saya mikir bagaimana nanti ngatur bahasa biar bisa dicerna anak-anak dengan gampang. Untuk mengatur itu sungguh bukan hal yang mudah. Bagi Anda yang sudah pernah merasakan ini pasti bisa membayangkan bagaimana susahnya. Bayangkan saja ketika anda terbiasa berdialog, berdiskusi dengan orang-orang dewasa kemudian disuruh mengahadapi liliput-liliput itu. Ah, susah. Tapi ada pelajaran besar di sini. Ternyata seni beretorika itu tidak sesempit yang saya bayangkan. Akhirnya, pengajaran itu saya isi dengan cerita nabi dan cerita hikmah. Saya lakukan semampu saya. Jika dilihat dari bahasa tubuh mereka, saya rasa pesan yang ingin saya sampaikan bisa diterima dengan cukup baik.Esok paginya ketika anak-anak ini main di penginapan ada satu hal yang mengejutkan saya. Saya melihat mereka dengan senyum-senyum sendiri menertawakan diri saya. Saya merasa gagal. Saya melihat mereka main kartu bridge milik kawan-kawan yang tergeletak di pojok ruangan. Gaya mereka main jelas menunjukan main kartu bridge bukan merupakan sesuatu yang baru bagi mereka. Gayanya sudah seperti orang dewasa. Ceplak-ceplok membanting kartu. Saya memandangi mereka dan menertawakan diri saya sendiri. Ternyata saya gagal. Saya perlu belajar banyak bagaimana cara mendoktrin anak-anak.Saat saya melihat tingkah anak-anak itu, wajah-wajah liliput-liliput itu, mereka sekan mengajarkan saya bagaimana selalu sibuk melakukan sesuatu, meminta hal-hal kecil tanpa ego, dan bagaimana tersenyum bahagia walaupun tanpa alasan.
Jixie mencari berita yang dekat dengan preferensi dan pilihan Anda. Kumpulan berita tersebut disajikan sebagai berita pilihan yang lebih sesuai dengan minat Anda.