Ini kenyataan sederhana saja. Korupsi tidak melahirkan kegeraman  masyarakat layaknya perilaku misalkan,  copet.  Andaipun sama sama tertangkap tangan di keramaian reaksi masyarakat akan berbeda.  Kemarahan yang membuncah tetap pada copet daripada koruptor.  Padahal apa bedanya? Bukankah korupsi jauh berlipat jumlahnya dari yang di'kutip' copet? Mengapa tak ada reaksi yang sepadan? Mengapa tak ada kemarahan kolektif atas koruptor?
Fakta ini menunjukkan, bahwa ternyata korupsi di tengah masyarakat, secara pemaknaan belum sepandan dengan copet, maling atau garong sekalipun. Kata korupsi masih menjadi 'benda asing' dan belum menembus dinding kebudayaan sehingga tak memicu partisipasi masyarakat  untuk  memiliki kegeraman kolektif.  Korupsi belum mengalirkan makna dengan sendiri bahwa ia adalah perbuatan mencuri layaknya maling.
Dalam kehidupan sehari hari, banyak sekali 'benda asing' macam korupsi itu, yang meskipun sudah ramai dibincangkan tapi sesungguhnya belum meresap ke dalam hatisanubari rakyat sehingga tidak memicu gerakan partisipasi. Ganti saja kata korupsi dengan benda asing lain, maka nasibnya tak jauh beda. Sebut saja misalkan: demokrasi, birokrasi, bansos, dana desa, umkm, pandemi, new normal dll. Â Secara umum benda asing ini banyak diwadahi dalam suatu keranjang besar bernama pembangunan yang kemudian didistribukan dalam bentuk kebijakan, program dll.
Pikiran sederhana ini sekedar ingin menjelaskan betapa banyak kebijakan pembangunan yang sebenarnya asing bagi masyarakat dan karenanya cenderung tidak melahirkan partisipasi layaknya 'nasib' korupsi. Padahal inti sekaligus kata kunci pembangunan adalah partisipasi masyarakat yang merupakan wujud dari rasa peduli, rasa memiliki dan rasa memberi (kontribusi).