Salah satu teman saya, pria tegap dengan perawakan yang mencerminkan hidup kerasnya, nyletuk. "Kalau aku, mending anakku jadi pelaku daripada korban," ucapnya tanpa beban. "Kalau ada yang mulai duluan, pukul balik aja." Semangatnya seperti motor tanpa rem, tak berhenti hingga ia menceritakan bagaimana anaknya kini rajin latihan karate. "Tapi, yang penting jangan bikin gara-gara dulu," lanjutnya, seolah itu menjadi landasan moral yang cukup untuk membenarkan tindak kekerasan.
Dalam perjalanan pulang, kata-katanya berputar di kepala saya. Ada ketegangan moral yang tak bisa saya abaikan. Di satu sisi, saya memahami insting orang tua yang ingin melindungi anaknya dari bahaya. Di sisi lain, apa ini solusi yang tepat? Setiba di rumah, saya membuka ponsel dan mengetikkan kata 'bullying' di TikTok. Deretan video yang muncul memperlihatkan kisah-kisah korban bullying dengan segala kompleksitasnya. Salah satu video yang membuat saya terdiam lama adalah cerita dari seorang dokter yang menceritakan masa lalunya sebagai korban bullying.
"Saya dibilang dekil seperti babi," ujarnya dengan wajah tenang, meski jelas terasa beban yang ia bawa. "Saya ingat pesan orang tua: memaafkan lebih baik. Tapi, apa yang terjadi? Yang tadinya hanya satu orang, besoknya sepuluh orang ikut-ikutan. Akhirnya, selama tiga tahun penuh, saya jadi bahan tertawaan seluruh sekolah." Ia menambahkan, trauma itu membekas hingga sekarang. Sebuah pesan yang dingin, tetapi nyata: kadang, memaafkan tidak menyelesaikan masalah.