Beberapa kelompok masyarakat, terutama pemerintah tentunya, berpendapat tidak ada satu pasalpun dalam UU yang dilanggar terkait keputusan tersebut. Tetapi kelompok lain mengatakan pemerintah telah melanggar UU APBNP pasal 7 ayat 6a yang menyatakan bahwa:
“Dalam hal harga rata-rata ICP dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen, pemerintah diberi kewenangan menyesuaikan harga BBM bersubsidi dengan kebijakan pendukungnya”
OPERA SABUN DPR
Pada Quarter pertama tahun 2012, terjadi "keributan politik" di DPR tentang wewenang pemerintah menaikkan tarif BBM dan kewajiban pemerintah untuk berkonsultasi dengan DPR tentang kenaikan harga minyak. Dalam rapat paripuran DPR saat itu, diputuskan untuk menambah sebuah pasal yang saya kutip di atas yaitu pasal 7 ayat 6a.
Pro kontra terjadi. PDIP dan Gerindra yang saat itu adalah oposisi bagi pemerintahan SBY, juga beberapa pengamat politik dan ahli tata negara berjamaah menolak pasal tersebut dengan alasan mengebiri hak rakyat yang diwakilkan kepada wakil rakyat di DPR, sehinggan mereka mangajukan uji materi UU tersebut ke MK. Menurut mereka, pasal itu berpotensi membiarkan pemerintah menaikkan seenak perutnya harga BBM tanpa berkonsultasi dahulu dengan DPR. Sedangkan Partai-partai pendukung pemerintah dan pemerintah sendiri jelas berada di barisan mendukung penambahan pasal tersebut.
Waktu berlalu...
OPERA SABUN PEMERINTAH
Saat ini, rezim yang berkuasa adalah JOKOWI dengan partai pemenang pemilu dan pendukung pemerintah adalah PDIP dan partai pendukungnya yang lain. Beberapa hari yang lalu, pemerintah memutuskan kenaikan harga BBM (seperti yang sudah anda baca sendiri, jadi tidak perlu saya tulis detailnya). Dalam pidatonya di malam pengumuman tersebut, pemerintah menyatakan alasannya "bla bla bla" dan bahwa pemerintah tidak melanggar satupun pasal dalam UU manapun.
Pemerintah dan partai pendukungnya mungkin lupa dengan "opera sabun 2012" di atas tadi. Pasal 7 ayat 6a dijadikan sebagai senjata untuk melegalkan keputusan mereka dalam menaikkan harga BBM bersubsidi alias mencabut subsidinya. Bukankah mereka juga dulu yang getol menolak kenaikan tersebut? Minus Gerindra ya, karena Gerindra sekarang berada di garda terdepan partai-partai Oposisi. Dalam hal ini, keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi tanpa berkonsultasi dengan DPR bisa menjadi Senjata makan tuan. Bagaimana bisa? Mari simak analisa saya:
PEMERINTAH WAJIB BERKONSULTASI DENGAN DPR MENYANGKUT KEUANGAN
Pasal 7 ayat 6a UU APBNP menyatakan: “Dalam hal harga rata-rata ICP dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan berjalan mengalami KENAIKAN atau PENURUNAN lebih dari 15 persen, pemerintah diberi kewenangan menyesuaikan harga BBM bersubsidi dengan kebijakan pendukungnya.”
Maka artinya adalah:
Jika kenaikan harga ICP atau minyak dunia dalam kurun waktu 6 bulan berjalan melebihi asumsi harga minyak dalam APBN sebesar US$105 per Dollar (Saya hitung pake kalkulator di HP jadul, kenaikan 15% dari US$105, maka saya dapatkan nilai US$120.75), maka pemerintah diberi kewenangan luas untuk menaikkan harga (atau menurunkan?) harga BBM subsidi tanpa perlu berkonsultasi dengan DPR jika harga minyak dunia minimal US$120.75 per barel.
Jika penurunan harga ICP atau minyak dunia dalam kurun waktu 6 bulan berjalan melebihi asumsi harga minyak dalam APBN sebesar US$105 per Dollar (Saya hitung pake kalkulator di HP jadul, penurunan 15% dari US$105, maka saya dapatkan nilai US$89.25), maka pemerintah diberi kewenangan luas untuk menurunkan harga (atau menaikkan?) harga BBM subsidi tanpa perlu berkonsultasi dengan DPR jika harga minyak dunia minimal US$89.25 per barel.
Jika kita merunut kebelakang selama 6 bulan berjalan, maka saya dapatkan harga-harga tertinggi minyak dunia dalam tiap bulannya. Yaitu:
(Harga dibawah dalam US$ / barel)
Mei 2014 : 104.47
Juni 2014 : 107.65
Juli 2014 : 106.06
Agustus 2014 : 98.65
September 2014 : 95.88
Oktober 2014 : 92.93
November 2014: 80.95 (per tanggal 17 November 2014).
Maka kita akan dapatkan harga rata-rata selama 6 bulan berjalan:
- Jika saya hitung 6 bulan berjalannya adalah dari Mei - Oktober, maka didapat angka: 605.64 / 6 bulan = US$100.94 per barel.
- Jika saya hitung 6 bulan berjalannya adalah dari Juni-November, maka didapatkan angka: 582.12 / 6 bulan = US$97.02 per barel.
Kita perhatikan (kalau perlu dipelototin) angka-angka dibawah:
Batas bawah: US$89.25
Batas atas: US$120.75
Menurut pasal 7 ayat 6a, selama harga bergerak dalam range tersebut maka pemerintah wajib untuk berkonsultasi dengan DPR. Jika harga minyak dunia sudah berada di bawah US$89.25 dan di atas US$120.75 maka berdasarkan UU itu pemerintah tidak perlu berkonsultasi dengan DPR. Silahkan dieksekusi secara mandiri.
Kemudian Apa dasar saya mengatakan pemerintah WAJIB berkonsultasi dengan DPR mengenai APBN? Dalam UUD 1945, pasal 23 ayat 1, dinyatakan bahwa: "Anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu." Dan sesungguhnya APBN itu menyangkut anggaran keuangan negara selama setahun.
Mari kita perhatikan. Pada saat Rezim Jokowi memutuskan kenaikan harga BBM bersubsidi, harga minyak dunia adalah US$97.02 per barel atau US$100.94 per barel (Tergantung asumsi kita dihitung dari Mei-Oktober atau Juni-November). Dan kedua level harga tersebut masih berada dalam range yang MEWAJIBKAN pemerintah untuk berkonsultasi dengan DPR.
ANOMALI NAIK ATAU TURUN
Saya kutipkan sekali lagi, bahwa pasal 7 ayat 6a UU APBNP menyatakan: “Dalam hal harga rata-rata ICP dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan berjalan mengalami KENAIKAN atau PENURUNAN lebih dari 15 persen, pemerintah diberi kewenangan menyesuaikan harga BBM bersubsidi dengan kebijakan pendukungnya.”
Pertanyaan besarnya sekarang, di saat harga minyak dunia belum melebihi batas 15% ke atas atau ke bawah. Saya sama sekali tidak melihat alasan kenapa rezim ini tidak berkonsultasi dengan DPR dalam memutuskan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Mereka malah mengatakan bahwa tidak ada satu pasalpun dalam UU yang dilanggar terkait kebijakan itu.
Pertanyaannya kemudian, kenapa diputuskan kenaikan harga BBM bersubsidi disaat oleh UU diamanatkan bisa Menaikkan atau Menurunkan harga BBM tersebut. Ternyata ada loh opsi buat pemerintah selain menaikkan, yaitu menurunkan harga BBM bersubsidi. Pemerintah perlu menjelaskan kepada publik secara formal lewat perwakilannya di DPR berdasarkan perhitungan yang masuk akal bahwa kenaikan itu tentu saja harus dilakukan. Dan rezim ini juga harus menjelaskan kepada publik kenapa mereka tidak berkonsultasi dengan DPR sebelum memutuskan kenaikan harga BBM bersubsidi, tentu saja mereka harus menggunakan dalil-dalil hukum.