Hari pertama, Minggu, 15 Juli 2012, saya mengisi acara pelatihan Forum Lingkar Pena (FLP) Kota Metro. Jarak Metro dari Bandar Lampung, tempat kediaman saya, kurang lebih satu jam berkendaraan. Peserta lumayan banyak. Di bawah target 50 peserta memang. Tapi itu tidak menjadi masalah. Antusiasme peserta luar biasa. Saya menduga, karena sebagian besar memang punya kemauan menjadi penulis, sesi pelatihan berlangsung sangat lancar. Tanya-jawab berlangsung dialogis. Saat peserta diminta menulis karya, hasilnya juga luar biasa. Ada yang menulis opini, sebagian menulis cerpen, puisi, dan draf novel. Bahkan ada peserta yang bisa menulis naskah monolog dengan baik. Sesi seharian itu berlangsung lancar. Usai acara dan penandatanganan buku "Menulis dengan Telinga", saya pamit. Sebetulnya mau bermalam karena besok pagi (Senin, 16 Juli) saya masih ada gawean di kota kecil nan rapi ini. Oh iya, Metro ini kota kecil. Desainnya bagus. Tata rumah bagus. Jalanan asri. Dan masih cukup hijau. Masyarakatnya pun ramah. Saya niat bermalam karena kondisi fisik agak menurun. Batuk, pilek, dan darah rendah membuat saya harus menyimpan tenaga untuk keesokan hari.
Tapi, karena merasa fit, akhirnya saya urungkan niat. Saya pulang. Kembali dengan bersepeda motor. Lima puluh menit kemudian sampai di rumah. Aktivitas berlangsung biasa sampai besok pagi saya mesti ke kota itu lagi. Kali ini mengamini undangan seorang teman di AJI, Oki Hajiansyah Wahab. Ia yang bekerja di LSM Yayasan Bimbingan Mandiri meminta saya mengisi in house training soal kepenulisan. Staf di LSM ini beragam. Ada yang memang di bagian program, ada juga yang bagian keuangan. Sesi pelatihan dimulai jam sepuluh pagi. Belum semua staf datang. Dan saya merasa memulai sesi dengan kurang optimal. Fisik yang menurun membuat saya kurang mampu mengelaborasi ihwal penjelasan. Ini juga dipicu permintaan Oki supaya setiap staf punya kemampuan membuat rilis dan membuat laporan di job-nya masing-masing. Namun, mengeksekusi permintaan itu ternyata tidak gampang. Berbeda dengan pelatihan FLP sebelumnya, di mana setiap peserta sudah punya basis kepenulisan, di Yabima bisa dikatakan tidak. Yabima memang punya situs, tapi tak terlalu sering diperbarui. Maka itu, Oki dan beberapa teman di sini berkehendak menjadikan situs itu lebih berwarna. Ini bisa menjadi alat promosi juga, buat donor juga buat masyarakat. Begitu kata Oki.
Akhirnya, setelah menjaskan sekelumit soal buku dan jurnalistik, semua staf saya minta untuk menulis. Dan soal permintaan rilis tadi, hanya sebagian yang membuat. Yang lain, menulis apa saja. Yang penting nulis. Ada yang menulis soal pengalaman mendampingi seorang peternak sapi yang ternaknya mati. Ada yang menulis soal peluang bercocok tanam singkong. Ada yang menulis soal jalan rusak dan kaitannya dengan permintaan pijat yang meningkat. Juga soal cairan termahal dari Way Kambas. Sampai tulisan ini saya unggah, semua peserta masih menuntaskan tugas menulisnya. Semua bersemangat. Mereka bebas berkreasi. Ada yang menulis dengan laptop, sebagian menulis di kertas.
Pelajaran yang bisa diambil ialah lebih mudah menulis sesuatu yang memang kita alami sendiri. Artikel opini yang kita sajikan akan lebih mudah kita tulis jika ada kaitan secara emosi dengan kita.
*
Dari pengalaman, setiap kita ternyata punya potensi menulis. Seorang staf keuangan kantor, yang semula tak terpikir mau menulis apa, ternyata bisa melakoni dengan baik. Saat ia menulis pengalaman anaknya yang tengah malam berdoa supaya sariawan di mulutnya hilang, hasilnya cukup bagus. Detailnya dapat. Sisi humanismenya kena sekali. Bahkan komparasinya dengan orang dewasa yang acap mengeluh saat sakit, juga bagus. Jadi, menulis itu ternyata bisa dilakoni meski oleh kita yang tak punya pengalaman jurnalistik sekalipun. Dan pengalaman mengisi training staf di LSM Yabima hari ini menjadi bukti sahihnya. Jadi, mari menulis.