Sebetulnya mudah membaca langkah politik PKS ini. Sebab utamanya ialah untuk merengkuh lebih banyak suara dalam pemilu mendatang. Kebijakan yang populis amat diperlukan untuk mengambil hati masyarakat. Dan pilihan menolak kenaikan harga BBM memang merupakan suara hati rakyat. Di tengah kesulitan rakyat, menolak opsi penaikan memang bakal mengerek suara. Dan jangan lupa, di tahun ini ada agenda politik besar. Tingkatannya saya anggap di bawah pemilihan presiden. Apa itu? Ya, pemilihan gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta. Dan mantan Presiden PKS yang juga bekas Ketua MPR Hidayat Nurwahid, diusung PKS sebagai kandidat gubernur. Siapa tahu, penolakan PKS di parlemen berimbas pada kepercayaan pemilih kepada pasangan Hidayat-Didik J Rachbini.
Sampai dengan masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, sikap PKS pasti demikian. Ya itu mungkin yang banyak disebut pengamat politik sebagai bermain dengan dua kaki. Kalau melihat postur tubuh, bisa diamsalkan, PKS menggunakan kedua kakinya dengan maksimal. Manusia memang mesti berdiri dengan dua kaki, tidak dengan satu saja bukan?
Pilihan politik partai ini memang bakal membuat suasana koalisi memanas. Akan tetapi, PKS pasti tetap percaya diri. Justru dengan banyak disudutkan, citra partai ini akan terangkat. Apalagi kalau komentarnya macam-macam, sampai sebutan pengkhianat. Maka itu, meski politikus Demokrat semacam Ramadhan Pohan dan Sutan Bhatoegana menyebut PKS pengkhianat, bagi partai itu, tidak masalah.
PKS juga berpijak, bahwa kesepakatan koalisi semata-mata dilakukan dengan Yudhoyono, bukan dengan partai lain.
Nah, bagaimana dengan sikap Presiden? Sampai pilpres mendatang berlangsung, posisi PKS di kabinet tetap aman.
Apakah Yudhoyono akan mendepak PKS? Peluangnya ada, tapi sangat kecil. Andai PKS sampai terdepak dari koalisi, itu sama saja dengan melipatgandakan kekuatan PKS di pemilu dan agenda politik lain. Yudhoyono jelas tidak mau partai besutannya kesulitan mendulang suara di pemilu mendatang.
Hitungannya, biarlah PKS di koalisi supaya bisa dikalkulasi suaranya. Kalau sampai PKS diusir dari koalisi, partai ini akan mendapat asupan energi kemarahan yang besar. istilahnya, ketimbang grasa-grusu di luar, lebih baik menggeliat di dalam.
Kekuatan terbesar PKS dan ini jelas direken dengan cermat oleh Yudhoyono ialah massa kader yang militan. Bersendi sami'na waata'na (dengar dan taat), Yudhoyono tetap berharap dukungan agar kursinya aman sampai pilpres. Syukur-syukur masih bisa dirangkul untuk pilpres mendatang.
Tegasnya, sikap PKS menjelang pemilu dan pilpres akan tetap kritis. Menteri mereka boleh dalam kabinet, tetapi legislator mereka pasti makin kritis. Yang kita nantikan tentu saja kekritisan ini punya dampak buat rakyat. Advokasi mereka kepada rakyat juga ditunggu. Jangan cuma bermain politik pencitraan yang ini justru acap dilakukan Presiden Yudhoyono. Rakyat butuh kerja yang konkret. Soal pilihan politik, itulah dinamikanya. Itulah realitasnya. Wallahualam bissawab.