Sebetulnya, menjadi karyawan itu nasibnya memang demikian. Dengan kondisi korporasi yang naik dan turun, kenaikan gaji kadang tak setahun satu kali. Ada banyak varian yang membuat kantor tak serta merta menaikkan gaji.
Nah, dalam kondisi itu, saran saya, jangan banyak mengeluh. Mengapa? Sebab, itu perlambang ketidaksyukuran kita kepada Allah Swt.
Begini. Cari kerja sekarang itu susah. Ada jutaan orang yang menganggur. Baik yang sarjana maupun yang bukan. Mengeluh karena gaji kurang dan sebagainya, tidak menyelesaikan masalah. Lagipula, siapa yang suruh kita bekerja? Kan kita sendiri yang mau bekerja. Artinya, konsekuensi dari pekerjaan itu mesti siap kita tanggung.
Di kantor, kadang saya suka memberi nasihat kepada beberapa teman yang mengeluh melulu. Tapi, caranya saya ajak bercanda. Misalnya, kalau tengah bulan, saya sering bercanda, "Eh, kalian udah cek ATM belum, ada bonus tengah bulan tuh, sekali gaji."
Atau saya sering bilang, "Kerja itu mesti banyak syukur. Jadi, ditambah rezekinya sama Gusti Allah. Kalau ngeluh, kerja enggak semangat, Allah juga enggak seneng."
Saya paling tidak suka kalau ada orang yang tidak syukur. Seorang teman kantor yang sudah punya mobil malah mengeluh mobilnya jelek. Saya bilang, "Mbak, bersyukur punya mobil. Jangan malah mengeluh. Di kantor ini yang punya mobil bisa dihitung dengan jari tangan." Teman itu kemudian mengiyakan dan mengucap istigfar.
Mengapa mesti banyak syukur? Syukur itu membuka keberkahan Allah. Rezeki ada saja dari jalan yang tidak kita sangka. Waktu anak saya, Nuh, lahir, saya bingung untuk akikahnya. Memang saya tak niatkan kendurian. Saya cuma butuh duit untuk beli kambing jantan dua ekor. Saya berdoa saja kepada Allah supaya dapat jalan supaya punya uang. Pucuk dicinta ulam tiba. Seorang jurnalis senior mengajak saya mengisi pelatihan di pemerintah daerah. Honornya besar sehingga pas untuk membeli dua ekor kambing jantan.
Saya sering ceritakan kepada sejawat kantor supaya jangan mengeluh melulu. Syukuri apa yang ada. Jika ada kekurangan, mari berpikir dan bertindak untuk menutupinya. Mencari pekerjaan sambilan yang tak berbenturan waktu dengan kerja kantor bisa dilakukan. Toh potensi kita banyak. Tinggal pintar-pintar mencari celah saja.
Karyawan yang cuma bisa mengeluh, hampir semua waktunya ya buat menggerutu saja. Sudahlah di kantor menggerutu, di rumah juga begitu. Di kantor kinerjanya jeblok, di rumah malah mati kutu. Mengeluh jelas tak menuntaskan masalah. Yang dibutuhkan cuma kerja, kerja, dan kerja. Kata motivator itu, kalau mau sukses: tidur lebih malam, bangun lebih pagi, kerja lebih keras, dan hidup lebih hemat.
Intinya, jangan mengeluh. Mengeluh cuma mempersepsikan diri kita jelek di hadapan setiap manusia. Dengan tetangga bercerita soal gaji di kantor yang kurang. Dengan keluarga juga demikian. Kumpul sejawat ceritanya juga itu. Setiap orang nanti akan mempersepsikan diri kita sebagai orang yang selalu mengeluh dan itu tidak bagus. Itu akan membenamkan kita dalam kefakiran yang sangat lama. Sudahlah. Justru kita mesti syukur. Meski masih ada kekurangan, alhamdulillah masih ada kerjaan. Masih punya gaji. Untuk makan sehari-hari cukup. Kredit kendaraan bisa. Rumah meski mengontrak, ada kediaman yang layak huni.
Hidup ini kan ibarat roda. Menggelinding terus. Pas di bawah, ya sabar. Pas di atas, tingkatkan kesyukuran. Kalau sudah begitu, kita akan menjadi abdusyukur, hamba yang bersyukur.
Jangan pula kita sepelekan kalau ada orang bertanya. "Eh, denger-denger kerja di koran itu ya, wah hebat. Udah sukses ya." Kalau ada rekan yang menanyakan seperti itu, kita amin-kan saja. Hitung-hitung doa. Jangan malah mengelak dan "mengecilkan badan". Justru kita bersyukur, persepsi teman kita tadi sangat positif. Ya diaminkan saja. Toh itu doa. Ya, kan? Tegasnya, jangan banyak mengeluh! Bersyukur, bersyukur, dan bersyukur. Bekerja, bekerja, dan bekerja. Oke? Wallahualam bissawab.