Satu yang pasti, korupsi sistemik di Indonesia membuat semua utang itu seperti tak punya makna. Lihat saja, suap kasus pembangunan wisma atlet SEA Games lalu di Palembang saja mencapai Rp 200 miliar. Belum yang lain. Kasus robohnya jembatan di Kutai Kartanegara beberapa waktu lalu juga kasatmata dikorup. Betapa tidak, jembatan yang baru berumur sepuluh tahun sudah ambruk. Kalau materialnya tidak dikorup, apa lagi alasannya.
Berutang sebenarnya tidak salah. Kalau modal tak cukup, berutang memang jadi alternatif. Namun, yang namanya utang itu dilihat juga kesanggupan mencicilnya. Kalau sudah mencapai dua ribu triliun rupiah, bagaimana pula membayarnya? Mencicilnya saja pasti kerepotan.
Berutang juga melihat cadangan devisa negara. Apa kita masih percaya diri dengan utang sebesar itu, sementara cadangan devisa kita juga tak signifikan. Setiap tahun, pasti bunga utang itu membengkak. Karena tidak bisa membayar, yang paling bisa dilakukan ialah menjadwal ulang pembayaran.
Ada dikenal istilah utang najis. Seingat saya, semasa Menteri Keuangan Alexander Sack di Kekaisaran Tsar Rusia, mengemuka ide utang najis ini. Utang yang dianggap tak dinikmati rakyat kerap disebut utang najis. Bahasa asingnya, odious debt. Dalam konteks Indonesia, saya kira pas juga definisi utang najis ini. Siapa yang berutang, siapa yang menikmati. Siapa yang berutang, siapa pula yang membayar.
Memang utang ini sudah ada sejak zaman negeri ini merdeka. Lantaran ingin membangun tapi dana terbatas, utang menjadi pilihan. Beberapa lembaga bahkan menyengajakan didirikan sebagai tempat Indonesia berutang. Dulu ada IGGI dengan Belanda sebagai penyokong utama.
Negara lain, bahkan negara maju, juga berutang. Tetapi efeknya ada. Yang sulit dilihat secara kasatmata memang di Indonesia. Kalau alasannya kebutuhan yang banyak, mengapa masih berutang? Mengapa tidak dibalik saja logikanya. Misal, dengan menginventarisasi kebutuhan pembangunan dan disesuaikan dengan keuangan yang ada. Kalau setiap presiden tidak berani menghentikan utang baru, sampai kapanpun kita tetap terpuruk. Dan guliran utang najis ini makin mengemuka.
Lalu, apa yang mesti dilakukan. Cara paling esktrem ialah menghentikan semua bentuk utang. Kita saja, kalau mau berutang, lihat-lihat kondisi dompet. Mau meminjam itu kan dilihat juga kemampuan. Kalau dari sisi kemampuan tidak ada, jangan berutang. Nanti menyusahkan diri sendiri saja. Tapi kalau punya kemampuan, silakan berutang.
Dengan kondisi Indonesia sekarang, kontinuitas pemberantasan korupsi mesti dilanjutkan. Jangan sampai duit utang malah menjadi bancakan. Kalangan DPR yang makin pongah dengan membelanjakan anggaran semau-maunya saja, juga mesti disetop. Sekarang masanya prihatin. Kita mesti bisa membangun dengan kekuatan sendiri. Tidak bergantung asing dan utang luar negeri.
Ini semua odious debt, najis. Kita tak berhak menikmatinya karena ujungnya pasti menyusahkan. Pasti ada agenda keterikatan dengan asing dalam setiap dolar yang dikucurkan. Membangun dengan duit utang yang kemudian sulit dibayar, cuma membebani anggaran. Apalagi pembelanjaan terbesar buat yang rutin-rutin, semacam gaji dan belanja pegawai.
Buat Nenek Rasminah, janda-janda TNI yang diusir dari rumah dinasnya, orang-orang kecil yang dibui lantaran perkara sepele, utang luar negeri adalah najis. Mereka tak butuh itu. Sama halnya menerima pemberian dari duit hasil pencucian uang.
Negara memang mesti terus didorong agar tak melulu bergantung dengan utang luar negeri. Sebaliknya, berpikir kreatif agar kekayaan alam yang ada dijadikan bahan bakar utama pembangunan. Memang rezim terdahulu meninggalkan utang besar. Tapi itu bukan berarti diteruskan oleh rezim berikutnya. Justru pemerintahan yang baru mesti mengurangi beban utang itu dan menaikkan pendapatan negara. Tidak ada kemakmuran yang dibangun dengan utang secara terus-menerus. Karena itu semua odious debt.