Pemicunya lantara artikel berita dan tajuk Indonesia Raya dianggap melanggar semangat Tap MPR No. IV/MPR/1973 dan UU No. 11/1966.
Pembredelan koran Indonesia Raya memang tidak lepas dari peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 atau biasa diakronimkan dengan Malari. Pada peristiwa demo mahasiswa memprotes penanaman modal asing dan kritik kepada Perdana Menteri Jepang Tanaka, ada oknum yang membuat keadaan gaduh. Pembakaran motor bermerek Jepang marak. Gedung Astra diserang. Ada versi menyebut belasan orang meninggal. Mahasiswa UI sebagai motor utama jelas tak mau disebut sebagai makar. Sebab, yang mereka lakukan adalah mendesak Tanaka agar mengakui Nusantara sebagai negara kepulauan yang berdaulat.
Koran Indonesia Raya sejak isu kedatangan Tanaka banyak menyorot hubungan Indonesia-Jepang kemudian dianggap sebagai pihak yang ikut mengompori. Tajuk koran jihad ini dalam rentang 14 sampai 20 Januari banyak menyoroti soal itu. Mochtar Lubis beberapa kali menulis sendiri tajuk yang sarat kritik namun berbahasa anggun. Tajuk Indonesia Raya menempatkan isu korupsi, demo mahasiswa sebagai konten utama. Ini sebagai pengingat pemerintah Orde Baru agar menjalankan pemerintahan secara baik dan antikorupsi. Termasuk dengan memberikan input soal Undang-Undang Penanaman Modal dan rencana kedatangan Tanaka.
Mochtar Lubis yang banyak tahu hubungan kedua negera dan intens mengamati pergerakan politik dalam dan luar negeri coba menempatkan editorialnya sebagai nurani rakyat.
Berita soal kerusuhan Malari memang disajikan secara gamblang oleh Atmakusumah dkk dari news room.
Tajuk mereka yang kuat menjadi rujukan kala itu. Sikap tegas terhadap korupsi dan demokrasi menjadi bahan bakar utama tulisan editorialnya.
Namun, represifnya pemerintah Orde Baru akhirnya dirasakan pula oleh koran legendaris ini.
Tanggal 21 Januari 1974 adalah edisi terakhir koran ini. Berdasar pencabutan surat izin terbit pada 22 Januari 1974 oleh Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Departemen Penerangan, kisah koran ini menemui khatimahnya. Indonesia Raya dibredel. Dalam surat keputusan nomor Kep-007-PK/1974 tanggal 21 Januari 1974, disebutkan bahwa tindakan pencabutan izin terbit koran Indonesia Raya dengan pertimbangan:
A. Surat kabar Indonesia Raya telah melanggar semangat dan jiwa dari ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Tap MPR No. IV/MPR/1973 dan UU No. 11/1966.
B. Surat kabar Indonesia Raya telah memuat tulisan yang dapat merusak kewibawaan dan kepercayaan kepemimpinan nasional.
C. Surat kabar Indonesia Raya dengan tulisan-tulisannya dianggap menghasut rakyat sehingga membuka peluang yang dapat mematangkan/memperuncing situasi ke arah terjadinya kekacauan-kekacauan seperti pada tanggal 15 dan 16 Januari 1974, dan dapat mengadu domba antara pimpinan dengan yang lain.
*
Istilah koran jihad buat Indonesia Raya dan wartawan jihad kepada Mochtar Lubis tidaklah mengada-ada. Sebab, keduanya berkelindan. Mochtar dan koran itu benar-benar menjadikan isu soal korupsi dan demokrasi serta suara mahasiswa sebagai sesuatu yang urgen.
Kekhasan lainnya ada pada tajuknya yang menghentak dan elegan. Keras tapi memikat. Kritis tapi solutif.
Sekarang sulit mencari koran semisal Indonesia Raya. Koran yang tanpa tedeng aling-aling "menghantam" kekuasaan negara secara ketat tetapi hebatnya memberikan porsi jawab kepada negara. Jadi, meski Indonesia Raya acap dianggap koran "malar", sesungguhnya tidak demikian karena verifikasi jurnalismenya cukup ketat.
Meski tak ada lagi Indonesia Raya, semangat untuk menjadikan diri sebagai jurnalis yang baik, dan mengharap media massa tetap kritis wajib dipelihara.
Kita juga berharap pers di Indonesia menjadikan kisah Indonesia Raya sebagai ibrah yang baik. Dan buat semua jurnalis, jadikan Mochtar Lubis sebagai amsal yang bagus dalam naluri jurnalisme kita.
Kata Daniel Dhakidae dalam buku Indonesia Raya Dibredel! karya Ignatius Haryanto, "kematian koran ini adalah kematian jurnalisme politik yang sekaligus juga merupakan kematian surat kabar pembela masyarakat paling depan."