Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

"Gara-gara Pak Amien Rais, Tulisan Saya Tidak Dimuat"

8 Januari 2012   03:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:11 675 6
Mengirim artikel ke media nasional di Jakarta acap saya lakukan saat awal menulis. Saya ingat, tulisan opini yang saya kirim pertama malah ke Republika. Judulnya "Jilbab dan Agenda Reformasi". Tulisan itu saya bikin sekitar Juni 1998, satu bulan usai Soharto jatuh. Tulisan itu tak dimuat. Sebulan setelah saya kirim via naskah, redaksi mengirim balasan. Isinya sudah jelas kan, hehehe, karya saya ditolak! Tak apa, saya kemudian mengirim lagi. Ada kira-kira empat kali saya mengirim lagi dan ...ditolak! Dalam surat resminya, redaksi menyebut "redaksi kesulitan memuat" dan "ada banyak tulisan serupa". Saya juga sempat mengirim dua kali artikel ke majalah Tarbawi, alhamdulillah juga ditolak. Akhirnya saya membidik koran lokal. Lampung Post. Beberapa senior di kampus juga acap menulis di sana. Dengar-dengar juga sulit menembus koran itu. Honornya di akhir 1990-an berkisar Rp 60 ribu. Kebetulan saya aktif juga di pers mahasiswa: Pilar Ekonomi.

Saya mulai mencoba menulis. Beberapa kali tidak dimuat. Pas ada diklat menulis opini, saya ikut. Penjelasan dari dosen komunikasi, penulis lepas, dan wartawan media saya dengar. Sedikit demi sedikit tahu artikel model apa yang diinginkan media. Pascakursus, saya menulis lagi. Masih belum dimuat. Sekali mengirim cerita anak, eh malah dimuat. Dari situ antusiasme menulis berlipat-lipat.
Akhirnya opini perdana dimuat Lampung Post. Menulisnya berdua dengan pemimpin redaksi Pilar Ekonomi. Honornya bagi dua. Rp 75 ribu tahun 1999 lumayan juga. Dari situ menulis terus. Ada yang dimuat, lebih banyak yang tidak. Dari bertanya kepada redaktur opini dan mengamati, saya bisa memahami mengapa artikel kita ditolak. Intinya begini, bukan berarti artikel yang ditolak itu jelek. Lantas?

Pertama, temanya tidak pas.

Kita barangkali pandai menulis. Semua tema bisa kita tulis. Politik iya, ekonomi oke. Budaya bisa, sastra boleh juga. Nah, bisa jadi saat kita menulis soal ekonomi dalam skala global, tema yang sedang aktual adalah pemilihan kepala daerah. Karena kita tak seberapa menguasai tema politik, artikel kita "tak dilirik". Bagus mungkin iya, tetapi yang dibutuhkan pengelola media adalah artikel yang sedang hangat. Ini memberikan pelajaran kepada kita agar sebisa mungkin menulis tema yang aktul. Caranya? Perhatikan halaman depan koran yang mau kita tuju itu. Kalau headline-nya soal kerusuhan, ya itu yang paling pas. Sebab, redaktur opini juga mengharapkan artikel yang turun di halamannya mengandung aktualitas seperti halnya berita.

Kedua, tema yang sama bertumpuk.

Bisa jadi naskah kita tak dilirik karena yang mengirim tema itu teramat banyak. Makin sulit bersaing karena setiap naskah bagus. Punya kita juga bagus, tetapi cara penguraian penulis lain lebih baik. Kalau redaktur menerima tulisan yang oke punya dan banyak, tidak masalah. Ia malah senang. Soal ia susah menentukan mana yang mau dipilih, itu soal lain. Diambil salah satu saja itu sudah bagus. Kalau ada 20 artikel dan redaktur hanya menurunkan dua, yang 18 akan dibuang. Kalau temanya benar-benar aktual, sudah pasti besok jadi basi. Jadi, tulisan kita dimuat mungkin karena ini. Tulisan kita oke, tulisan orang lain lebih oke.

Ketiga, "gara-gara tulisan Pak Amien Rais".

Ini amsal saja. Misalnya saya redaktur opini. Saya menelepon Pak Amien Rais sebulan yang lalu agar ia menulis soal sidang tanwir Muhammadiyah. Kebetulan tempat acaranya di Lampung. Sebulan belum ada jawaban. Email yang saya kirim tak dibalas. Pesan pendek via ponsel juga tak berbalas.

Menjelang pembukaan sidang tanwir, saya siap menurunkan tulisan soal itu. Tapi yang menulisnya bukan Pak Amien. Anggaplah Anda yang menulis. Sore ketika halaman mau rampung, ponsel saya berdering. Nama yang tertera di layar ponsel saya "Amien Rais". Suara di ujung sana mengatakan, "Assalamualaikum, Mas Adian, saya baru saja kirim tulisan soal tantangan Muhammadiyah ke depan, seperti yang Mas minta sebulan lalu. Terima kasih, Mas. Maaf terlambat. Wassalamualaikum."

Percayalah, dalam beberapa detik, saya pasti terdiam. Termangu. Serasa mimpi. Benarkah yang menelepon saya itu tokoh reformasi yang terkenal itu. Setelah menguasai diri, saya yakin saya tidak mimpi. Saya pun cuma mampu mengucap, "Terima kasih, Pak."
Artikel yang sudah siap cetak, sudah tentu saya ganti. Amien Rais, Gan!

Beribu maaf saya sampaikan kepada si penulis yang tulisannya saya gusur demi memuat tulisan seorang Amien Rais. Ini yang namanya name make a news. Nama itu membuat berita. Saya jelas bangga dong, Pak Amien cuma menulis itu di koran saya. Marwahnya itu yang tak bisa diukur. Jika Anda-lah orang yang tulisannya tak jadi diturunkan, saya minta maaf. Pak Amien, coy!

Keempat, lamban mengirim.

Yang namanya opini, lebih cepat dikirim, lebih baik. Lelet sehari saja, bisa fatal. Pengalaman ini contohnya. Waktu Sampit bergejolak tahun 2001 lalu, siangnya saya langsung menulis. Cukup panjang saya menulis. Semua bahan yang ada saya olah dengan baik. Harapannya agar artikel itu bisa naik cetak. Begitu kelar, sore saya kirim. Karena waktu itu tak akrab dengan surat elektronik, saya memakai disket. Kantor redaksi Lampung Post yang saya tuju. Rampung mengirim, tinggal menunggu saja. Soal dimuat tidaknya, besok saja korannya ditengok.

Syukurnya artikel itu terbit. Panjang, satu halaman penuh dengan satu karikatur. Saat membaca koran di kampus, beberapa sejawat aktivis pers mahasiswa "marah-marah". "Gua udah nyiapin tulisan, Yan, panjang juga. Tapi punya lu udah dimuat duluan soal Sampit." Itu kata seorang teman. Yang lain juga menimpali. Keunggulan saya waktu itu cuma satu: saya cepat mengirim. Mereka tidak. Soal kualitas, barangkali punya mereka lebih oke. Tapi karena aktualitas yang diutamakan, tulisan saya yang nampang. Alhamdulillah, ada tabungan bayar SPP.

Kelima, tak sesuai selera redaktur.

Selera redaktur acap menjadi "keputusan redaksional" halaman opini surat kabar. Meski secara umum aktualitas diutamakan, secara pribadi redaktur menyukai konten tertentu. Ini bisa terjadi karena punya latar akademis tertentu, latar organisasi kemahasiswaan, dan integritas. Maksud saya begini, kalau redaktur opininya bekas aktivis kampus dan piawai menulis, ia menyukai tulisan yang kontennya kritik kepada pemerintah. Pokoknya, ada konten kritik yang "kereas" dan cerdas, peluang dimuatnya lebih besar. Atau kalau redaktur opininya mantan aktivis Islam di kampus, juga menyukai tema yang "berbau" keislaman. Bisa jadi juga latar redaktur yang sarjana politik, lebih gandrung dengan opini yang demikian. Begitu pula dengan redaktur opini yang berbasis komunikasi, lebih menyukai cara penyampaian tulisan yang mengalir dengan gaya bercerita. Atau dalam konteks tertentu, redakturnya tak suka dengan kultus tertentu.

Lagi-lagi saya punya pengalaman menulis di Lampung Post. Tahun 2001, Kompas membuat edisi khusus Satu Abad Bung Karno. Edisi Juni kalau tidak salah. Saya membeli dan membacanya sampai tuntas. Banyak ide yang menggumpal di kepala. Mau saya tumpahkan dalam bentuk tulisan. Cuma, saya berpikir, pasti akan banyak penulis yang membuat soal ini untuk Lampung Post.

Supaya mengetahui konstelasi di redaksi, saya mencoba menelepon redakturnya. Tak seberapa akrab sebetulnya, cuma tahu saja yang mbak yang bersangkutan adalah redaktur opini. Saya menelepon ke kantor. Saya bicarakan apakah tulisan soal satu abad Bung Karno sudah ada yang menulis. Hesma Eryani, nama redaktur itu, menjawab, "Banyak, Adian, yang menulisnya. Cuma aku enggak ada yang kuat. Semuanya memuji. Tak ada kritik sama sekali. Malas saya memuatnya." Itu kata dia via telepon. Saya bilang, "Enggak, Mbak, tulisan yang mau saya bikin sarat kritik." Dia menjawab, "Ya sudah, bikinlah yang bagus. Sore ini sebelum jam tiga kutunggu di kantor." Klik. Gagang telepon ditutup.

Saya bergegas ke rental komputer. Tanpa kerangka karangan tertulis, saya menulis secepat mungkin. Waktu tersisa cuma dua jam kurang sedikit. Karena motivasi yang menggebu, saya menulisnya dengan cepat. Setelah rampung, edit sedikit. Taruh di disket. Saya pun menuju redaksi. Sampai di sana sudah ditunggu dengan sang redaktur. Ia pun membaca tulisan itu sambil manggut-manggut. "Judulnya kubuat jadi ini saja ya," kata dia seraya mengetikkan judul untuk tulisan saya itu: "Menempatkan Soekarno". Saya pun pulang. Soal dimuat tidaknya ya harus menunggu sampai besok. Besok pagi-pagi sudah di kios koran. Alhamdulillah, tulisan itu masuk lagi.
*
Ada kalanya kebijakan redaksi menegaskan hal tertentu soal opini. Misalnya, koran lokal lebih mementingkan isu lokal ketimbang nasional. Artinya isu pilkada daerah Lampung jelas lebih seksi ketimbang politik nasional. Kasus tanah di Lampung lebih ditunggu redaktur ketimbang isu lain. Ini juga mesti dipahami penulis agar menyesuaikan konten tulisan dengan panduan media massa.

Cerita "menaklukkan" redaktur tak melulu saya alami. Soal penolakan yang tersebut dalam poin-poin di atas juga sering dialami. Sering menulis soal perempuan pas Hari Kartini tapi tak pernah dimuat. Saat ketemu redakturnya, dia bilang, "Adian, naskah kau bagus. Cuma, karena Hari Kartini, aku prioritaskan buat perempuan penulis." Saya hanya mengangguk. Alasan yang logis. Jadi, terbukti kan, naskah yang bagus tak selalu jadi pilihan.

Saya punya stok naskah terkait tema lingkungan. Cukup banyak. Tapi, kalau cuma mengandalkan Lampung Post sebagai media yang dituju, jelas tidak mungkin. Tak mungkin setiap pekan ada tulisan bertema lingkungan dimuat. Apalagi kalau cantelan peristiwanya tidak terlalu kuat. Saya kemudian mengirimkan itu ke beberapa jurnal lingkungan yang dikelola beberapa sohib. Kalau tak begitu, sayang kan tulisan itu tak ada yang baca. Ini juga bukti, tulisan tak dimuat bukan karena jelek. Kebijakan redaksi yang menentukan.

Ini hampir sama dan sebangun dengan Kompasiana. Katakanlah itu pilihan Administrator menjadikan satu artikel menjadi headline (HL). Tulisan yang tak HL, bukan berarti buruk. Bisa jadi, tulisan bagus di waktu yang tak tepat. Kita menulis bagus, cuma aktualitasnya kurang. Ada yang menulis biasa saja, tapi karena aktual, jadi HL.

Waktu Ngariung Blogshop Kompasiana di Bandung, 18 Desember 2011, Community Editor Kompasiana Iskandar Zulkarnain berbagi cerita soal tulisan yang HL, masuk Freez, dan menang lomba. Ini mungkin yang dimaksud dengan jargon "Esensi Bukan Sensasi". Kata Isjet, sapaan akrabnya, tulisan yang menjadi HL memang dipilih yang paling kuat, paling bagus, paling aktual. Akan tetapi, dalam rentang jam-jam tertentu, ada banyak tulisan bagus yang masuk. "Tulisan bagus di waktu yang tak tepat". Itu barangkali gambarannya. Jadi, sulit untuk mencari yang akan dijadikan HL. Akhirnya, mesti dipilih tulisan itu. Imbasnya, ada tulisan oke tapi tak masuk HL. Masuk akal kan?

Atau ada tulisan yang relatif biasa. Tetapi diposting pada jam di mana tak banyak tulisan bagus yang masuk. Dalam kondisi begini, Administrator juga sulit memilih karena input tulisannya kurang. Tapi, karena mesti dipilih, akhirnya ada yang dijadikan HL. Nah, kalau para Kompasianer terkaget karena tulisannya menjadi HL atau Terekomendasi di laman daring ini, mungkin ini kasusnya. Bukan tulisannya jelek, tapi tak terlalu kuat. Lantaran "pesaing" kurang, bisa jadi HL.

Nah, yang masuk Freez juga begitu. Ini kan soal masuk di koran. Tidak semua yang HL bisa masuk Freez. Redaksi juga mempertimbangkan apakah tulisan itu enak dibaca untuk pembaca koran. Sebab, pembaca Kompas bisa jadi tak melulu beririsan dengan pembaca Kompasiana. Maka, kata Isjet, penentuannya acap bergantung penilaian Administrator, mana yang layak masuk halaman Freez. Saya kira soal "selera" ini menentukan juga. Intuisi orang kan berbeda. Intuisi jurnalis media juga berbeda. Yang kita kira bakal masuk Freez, eh ternyata tidak. Yang biasa-biasa saja, tapi kontennya cocok buat koran, mungkin masuk Freez. Intuisi jurnalis boleh jadi sedikit lebih "tajam" ketimbang bloger pada umumnya. Dunia media cetak kan berbeda dengan dunia maya.

Dari penjelasan ini, kita bisa memahami betapa banyak alasan sebuah tulisan diterbitkan di koran atau masuk HL dan di-kompas-kan ke Freez. Selera, ya soal selera. Intuisi di sini ikut menentukan. Juga soal yang menang lomba.

Saya alhamdulillah pernah sekali juara Bloshoptips edisi Juli. Dalam rentang itu, saya memang punya target menang. Makanya saya menulis soal tulis-menulis sangat banyak. Sepertiganya bahkan HL. Senangnya bukan kepalang. Tapi saat tahu yang menang lomba adalah tulisan yang tidak HL, judulnya "Menulis Cerita Anak, Membangun Budaya Membaca", agak kaget juga. Tapi, kalau disimak mendalam, masuk akal juga kalau itu dipilih. Penulisannya lebih praktis dan benar-benar seperti kiat menulis. Saat saya tautkan ke Facebook, respons teman-teman juga bagus. Dan kekhasannya, tak ada yang menulis soal itu.
*
Dari beragam penjelasan di atas, kita semakin memahami banyak hal yang membuat tulisan tak dimuat. Tak menjadi HL. Tak menang lomba. Kalau semua itu kita alami, yang jelas tak boleh putus asa. Kecewa wajar. Itu boleh saja. Tapi kalau kecewa dan malas menulis, itu yang tak boleh.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan. Tulisan yang tidak dimuat jangan dibuang. Itu bisa direvisi dan dikirim ke media lain. Sekurang-kurangnya diposting di blog pribadi. Atau lempar ke Kompasiana. Bisa jadi kumpulan tulisan akan menjadi buku sendiri. Tak bisa masuk penerbit besar, ada modal sedikit, cetak indie. Sebar dan tawarkan ke kawan dan sejawat, pasti ada yang baca.

Epilog
Menulis itu suatu keterampilan. Bisa menembus media nasional atau lokal adalah suatu kebanggaan dan mendatangkan keuntungan materi berupa uang. Akan tetapi, tak semua mesti dikaitkan dengan koran. Tersebab tak semua media bisa memublikasikan tulisan, ada baiknya kita coba cara lain. Dengan menjaga konsistensi menulis di blog pribadi atau keroyokan adalah langkah yang baik. Tak boleh ada diksi "frustrasi" dalam menulis. Dan kepada Pak Amien Rais, saya ucap salam takzim. Maaf nama Anda saya jadikan contoh. Percayalah, Pak, saya salah seorang penggemar berat Bapak. Wallahualam bissawab.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun