Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Habis Prolog Terbitlah Epilog

16 Desember 2011   13:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:10 3199 1

Ending atau epilog adalah akhir dari sebuah tulisan. Dalam feature yang menekankan sisi humanisme, epilog ini urgen. Mengapa? Sebab, pembaca butuh klimak, butuh kejutan, perlu akhir yang membuat mereka puas. Klimaks begitu. Maka itu, epilog juga mesti dirasa-rasai agar tulisan itu--dalam bahasa saya--khusnul khatimah.

Pertama, epilog bisa berupa kilas balik.
Flash back ini adalah mengulang bagian prolog dengan bahasa yang berbeda. Maksudnya ialah memberikan penekanan pernyataan penting dalam lead. Bisa juga bermakna membulatkan pengertian seluruh ceritanya.

Laban Abraham, reporter Kantor Berita Radio KBR68H dalam program Saga menulis feature berjudul "Kisah Anak TKI yang Terbuang".

Dalam prolognya, Laban menulis, "Anak-anak itu tampak asyik bermain sepeda di pinggiran jalan raya Rawa Bokor, Cengkareng, Tangerang. Terik matahari dan lalu lalang kendaraan truk menuju Bandara Soekarno-Hatta tak mengusik mereka. Tiga sepeda dipakai mengitari deretan rumah kontrakan yang ada di sana. Tak satu pun menggunakan alas kaki.
Di antara anak-anak itu, tampak dua wajah gadis kecil berparas Timur Tengah. Dengan alis tebal, bulu mata panjang dan lentik, hidung mancung, rambut ikal dan warna kulit agak gelap. Kedua anak itu melepas pandangan curiga setiap ada orang tak dikenal yang datang mendekat
."

Kisah yang ditulis Laban soal banyaknya perempuan buruh migran yang melahirkan anak hasil pemerkosaan majikan yang Timur Tengah. Mereka malu untuk pulang kampung dengan perut hamil atau membawa bayi. Solusinya, bayi tak berdosa itu mereka jual. Sudah tentu genetika sang bayi yang kearab-araban itu tak serupa dengan wajah khas Indonesia.

Di epilognya, Laban menulis, "Anak-anak buruh migran ini mungkin tidak akan pernah lagi bertemu orangtua mereka. Tapi mereka pasti akan bertanya-tanya, kenapa wajah mereka khas Timur Tengah, jauh berbeda dengan siapa pun yang merawat mereka sehari-hari."

Epilog ini menguatkan paragraf di awal sehingga menimbulkan ekstase buat pembaca. Saya sendiri menemukan kepuasan saat membaca epilog yang bagus ini.

Andreas Harsono, jurnalis yang sekarang menjadi peneliti HAM, pernah menulis di majalah Pantau. Ia beri judul artikel tentang majalah The New Yorker itu dengan "Cermin Jakarta, Cermin New York".
Di bagian awal, Andreas menulis kondisi Salatiga waktu itu. Orang tengah hangat bicara politik. Mahasiswa sedang gandrung dengan novel Pramoedya Ananta Toer yang dilarang pemerintah. Mereka juga kesengsem berat dengan Arief Budiman, pembangkang cum dosen dari Universitas Kristen Satya Wacana.

Suatu waktu Andreas disodori fotokopi majalah berbahasa Inggris yang berisi laporan tentang Soeharto, bisnis anak-anaknya, perseteruan Jenderal Benny Moerdhani dan Wakil Presiden Sudharmono, Islam, Timor Timur, dan sebagainya.

Andreas menulis dalam lead-nya, "Buat mahasiswa yang suka diskusi, laporan itu menyenangkan karena informasi yang jarang dimuat media massa Jakarta tercetak lengkap, dari fakta, gosip, hingga rasa kecewa, marah, dan kecut. Ibaratnya, saya mengerti politik Jakarta dengan memandang cermin yang diletakkan Bonner. Saya agak lupa berapa lama saya baca laporan Bonner.... Dalam kantuk, saya perhatikan apa nama majalah yang memberi tempat buat artikel sedahsyat ini. Namanya... The New Yorker."

Dalam naskah panjangnya, Andreas dengan apik menulis soal ihwal majalah keren Amerika Serikat itu. Fokusnya pada laporan Raymond Bonner, kontributor The New Yorker.

Ketika mengakhiri karangannya soal The New Yorker dan Bonner, Andreas menulis begini, "Tapi sang raja tetap percaya diri. Sidang majelis Permusyawaratan Rakyat tetap dibuatnya sebagai stempel saja. Sepuluh tahun setelah laporan itu, Presiden Soeharto kembali merekayasa sidang MPR agar terpilih lagi. Padahal badai krisis ekonomi menerjang deras. Ekonomi Indonesia gemetar. Rupiah ketakutan. Kali ini tak ada Sudharmono, tak ada Benny Moerdani. Wakil presiden yang ditunjuknya, BJ Habibie, seorang insinyur cerdas yang lucu, yang belasan tahun membantunya.
Soeharto hanya bertahan dua bulan. Pada Mei 1998, dia turun takhta dengan kesedihan dan malu. The New Yorker, sedikit banyak, ikut merintis tumbangnya dikatator ini
."

Flash back dilakukan Andreas dalam epilognya. Memulai dengan ihwal majalah, menutupnya dengan kesan yang sama. Enak sekali membacanya.


Kedua, kalimat tanya.

Epilog yang juga kerap dipakai penulis feature ialah yang berupa kalimat tanya yang mengundang pemikiran atau tanggapan lebih lanjut.Tentu itu retoris, tetapi dari kalimat tanya itu tetap ada kaitan dengan konten tulisan dan prolog.

Yuli Rahmad dalam Aceh Feature yang dibesut Linda Christanty menulis feature berjudul "Natal di Negeri Syariat".
Berikut prolog tulisannya:

Kota Banda Aceh gerimis pada 25 Desember 2010 itu. Sejumlah polisi berjaga-jaga dekat satu gereja di Kampung Keramat. Mereka mengawal sekitar seribu jemaat Huria Kristen Batak Protestan atau HKBP yang tengah melakukan kebaktian.
Meski Aceh terkenal dengan sebutan Serambi Mekah, kehidupan antar-umat beragama telah berlangsung lama di sini. Sentimen antar-agama atau isu kristenisasi mulai berembus dan diembuskan ketika banyak lembaga bantuan asing datang ke aceh pascatsunami.
Surat kabar The Washington Post misalnya pernah memberitakan tentang 300 anak yatim piatu korban tsunami yang dibawa ke Jakarta oleh World Help, organisasi Kristen yang berpusat di Amerika. Pihak World Help sendiri yang memberi pernyataan itu
.

Artikel ini memberikan informasi meski Aceh dikenal sarat dengan hal yang berbau Islam, keyakinan umat lain tidak diganggu. Memang sempat ada isu kristenisasi, tapi tidak sampai menimbulkan perdebatan panjang. Aceh tetap kondusif. Umat kristiani seperti HKBP saja tetap nyaman mengadakan ibadah sesuai dengan keyakinan. Namun, tetap saja hal yang bisa memicu sentimen agama, patut diperhatikan.

Dalam epilognya, penulisnya membikin kalimat seperti ini: Juniazi, Kepala Humas Kanwil Depag Aceh, tidak menganggap kristenisasi sebagai persoalan besar dan tidak menganggap perayaan Natal 2010 ini sebagai ancaman. Tapi anehnya, Natal kali ini tak dapat dirayakan secara terbuka, begitu pula kegiatan yang berhubungan dengan perayaan hari lahir Isa Almasih itu, nabi dan rasul sebelum Muhammad. Dulu umat Katolik yang hendak mengikuti misa akan masuk lewat pintu depan gereja Hati Kudus dan sekarang tidak lagi. Pintu depan gereja itu selalu tertutup, seperti tidak pernah ada kegiatan apa pun.
Lagi pula apa yang salah dengan kristenisasi atau buddhaisasi atau katolikisasi atau konghucuisasi dibanding islamisasi? Selama tidak ada pemaksaan atau kekerasan, hal itu sah saja terjadi...."

***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun