Kompasianer Ratna dan Rifki dalam artikel saya, Menata Bahasa Jurnalistik Supaya Resik dan Asyik, memberikan komentar positif. Ratna secara rendah hati meminta saya menulis poin per poin dari perihal yang ditanyakan. Kompasianer Rifki kemudian mendukung. Saya senang jika artikel itu memberikan manfaat kepada semua. Dan itu kembali saya wujudkan dalam artikel ini. Semata-mata memberikan pengetahuan dan terbuka lebar masukan dari pembaca yang lain. Intisarinya seputar dunia jurnalistik.
Kita akan membahas media massa terlebih dahulu. Sebuah media massa baru bisa disebut media massa sejati, setidaknya jika punya tiga hal ini: terbitnya teratur atau dalam jangka waktu yang sering, memiliki berbagai berita, dan mempunyai nama dan bentuk yang tetap dan dikenal. Terbit teratur itu menjadi kemestian karena kontinuitas itulah wujud awal media massa. Perihal periodenya waktunya, itu bergantung pada kebijakan media yang bersangkutan. Ada yang terbitnya harian. Media yang bermodal cukup dan umumnya modelnya grup, bisa terbit secara harian. Koran, misalnya. Atau, televisi dan radio. Ada juga yang terbitnya pekanan dan dwipekanan. Ini lazim dipakai majalah dan tabloid. Ada juga yang bulanan. Soal periode waktu ini diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan internal.
Syarat kedua media massa, punya konten berita yang beragam. Ihwal yang disajikan kepada khalayak mesti beragam. Sebab, penikmat media berasal dari latar yang berbeda. Minat setiap pembaca berbeda sehingga media wajib menyediakan informasi yang mereka butuhkan. Ada pembaca dari kalangan ibu yang butuh soal rumah tangga, informasi metropolitan, dan sebagainya. Para bapak menyukai artikel dengan tema politik dan olahraga. Anak muda menggemari soal gaya hidup, seperti kuliner, perkakas elektronik, dan sebagainya. Semua konten ini disediakan media massa untuk memenuhi kebutuhan khalayak.
Syarat yang ketiga, media memiliki nama dan bentuk yang tetap. Nah, ini maknanya, nama medianya tak bisa seenaknya berubah. Sampai logo, jenis huruf, dan warna media juga tidak bisa seminggu sekali berganti. Kompas dahulu punya warna dasar hitam. Bertahun-tahun. Sampai mengendap dalam otak pembaca setianya. Warna logo dalam tulisan Kompas kemudian berubah menjadi biru. Namun, proses penginformasian kepada pembaca bahwa warna akan berubah diiklankan secara kontinu. Berubah boleh, cuma mesti dengan dasar yang kuat. Dan itu tidak sampai pada hal yang fundamental. Nama dan bentuk yang tetap ini lebih pada pencitraan. Maksudnya, sulit buat publik mengingat sebuah media kalau setiap waktu berubah. Image media yang kudu dibangun membuat syarat ketiga ini punya posisi yang urgen
Jenis Fisik
Ada beberapa jenis fisik media massa. Ada media massa yang terbitnya harian dengan jenis kertas yang lazim disebut "kertas koran". Sudah pasti jenis fisik media ini namanya koran. Koran sudah pasti harian. Cuma ukuran kolom saja yang berbeda antara satu dan lainnya. Kompas, Media Indonesia, Seputar Indonesia, dan Republika punya ukuran kolom nyaris sama. Cuma Koran Tempo yang berbeda. Ukurannya kompak. Jumlah baris dan kolomnya lebih sedikit, tapi enak dipegang.
Ada juga yang disebut tabloid. Model kertas, kolom, dan barisnya mirip koran. Meski isinya tetap beragam, pilihan tabloid ada pada tema tertentu: perempuan (Nova), olahraga (Bola), selebritas (Keren Beken), kuliner (Saji), dan sebagainya. Tabloid memang mesti begitu kalau mau bersaing di tingkat pembaca. Tabloid mesti hadir dengan kekhasan.
Bentuk media lain, kontennya serupa koran. Isinya amat beragam. Cuma bedanya dari kertas yang tampil sedikit mewah dengan bentuk yang dijilid. Namanya majalah. Majalah yang paling sering terbit periodenya bulanan dan dwibulanan meski ada juga yang setiap pekan. Majalah mesti menyajikan konten yang mendalam karena jarak siarnya lebih lama ketimbang koran. Ia mesti hadir dengan sesuatu yang mencengangkan. Tidak bombastis, tapi pembaca mendapatkan sesuatu yang lebih.
Ada juga yang mirip dengan tabloid, tapi hadir dalam halaman yang terbatas dan fokus betul pada satu sisi. Namanya buletin. Buletin musik, buletin film adalah contohnya.
Jenis fisik yang lain ialah online atau situs. Nama dalam bahasa Indonesianya sekarang laman daring. Kompasiana adalah contohnya meski masih diembel-embeli media sosial atau media warga, selain laman daring tersohor semacam Detik dan Vivanews.
Isi Media
Secara umum isi media itu tiga: jurnalistik, fiksi, dan iklan. Yang masuk dalam kategori jurnalistik ialah news (berita), views (artikel), fotografi, karikatur, dan grafis faktual.
News terbagi ke dalam hard news, softnews, dan indepth news. Hard news dibagi ke dalam straight news/berita langsung dan breaking news. Berita langsung lazim dipakai semua media. Isinya ringkas. Kalau kita kenal istilah 5W dan 1H, di berita langsung inilah adanya. Komponen utama berita itu ada di dua sampai tiga alinea awal berita. Pendeknya, ciri khas berita langsung ialah begitu membaca judul dan paragraf awal, pembaca sudah paham isinya. Untuk breaking news sejatinya cuma ada di televisi dan radio. Breaking news ini berita sekonyong-konyong. Ia mesti hadir ketika ada sesuatu yang betul-betul baru. Di televisi acap setiap jam ada breaking news. Tapi, itu tak benar-benar breaking. Yang namanya breaking news, tanpa menunggu jam tertenti, kalau ada yang baru, langsung bisa dihadirkan. Misal, kita sedang asyik menonton sepak bola. Saat seru-serunya, tayangan televisi berubah. Terlihat ada reporter yang melaporkan dari Porong, Jawa Timur, yang melaporkan jebolnya tanggul yang mengakibatkan banjir lumpur yang luar biasa. Ini namanya breaking news. Di koran juga ada, tapi jarang, namanya stop press. Misalnya, mesin cetak koran jam empat subuh sedang beroperasi. Tidak lama, final Piala Dunia usai digelar dan juara bisa diketahui. Mesin kemudian berhenti. Redaksi lalu bekerja cepat. Menulis, menyunting, dan men-setting berita. Ada berita yang dicabut, berita soal bola dimasukkan. Di atasnya dikasih tulisan "stop press", maksudnya berita ini dibikin saat mesin cetak sedang beroperasi. Terpaksa dihentikan karena ada berita paling anyar.
Sementara, bentuk paling lazim untuk softnews ialah feature. Teman-teman bisa membuka dasbor saya dan mencari artikel Menulis Feature, Dari Clifton sampai Tarigan. Feature mengutamakan sisi humanisme dalam sebuah karya. Acap yang tampil di dalamnya orang-orang biasa, bukan tokoh penting atau selebritas. Cerita mereka kadang teramat sedih, gembira, sampai paling kocak. Ciri yang menonjol, pembaca bisa teraduk-aduk emosinya saat membaca artikel jenis ini. Itulah feature.
Sedangkan indepth news umumnya berita yang berkedalaman. Ia membahas A sampai Z sebuah hal. Misalnya, tentang sebuah desa penghasil gerabah. Selain soal sejarah desa itu, juga dituliskan bagaimana membuat gerabah yang baik. Isinya bisa jadi terlalu teknis, tetapi itulah kekuatan indepth news. Berita berkedalaman bisa ditulis dengan teknik berita langsung atau feature. Bergantung pada kepiawaian jurnalis yang menulisnya.
Artikel
Teman setia berita di dalam isi media ialah artikel. Supaya membedakan dengan artikel berita, artikel yang dimaksud di sini lazim ditulis artikel nonberita. Saat diringkas menjadi artikel saja, pengelola media sudah mahfum kalau itu nonberita. Bentuk artikel yang umum diketahui dan dicoba ditulis khalayak ialah opini. Opini adalah gagasan, ide, pendapat. Nama halaman di korannya pun rata-rata Opini. Koran Tempo memilih Pendapat. Sama saja. Opini berisi pemikiran, gagasa, ide, argumentasi, pendapat dari seseorang. Ia bisa mahasiswa, dosen, penggiat LSM, anggota dewan. Opini disebut karya jurnalistik karena ditulis berdasar fakta dan punya data. Sesekali penulis menyelipkan solusi atas masalah yang sedang ia tulis. Misalnya, ketika kejadian elpiji langka, banyak yang menulis soal itu. Mereka menceritakan betapa susah mendapatkan elpiji dan menguraikan kelindan masalah di dalamnya. Mereka juga seraya membuat solusi atas masalah itu.
Bentuk artikel berikutnya adalah tajuk. Tajuk sama dengan editorial. Teman-teman Kompasianer juga bisa membuka lapak saya dan membaca artikel Menulis Editorial, Pakai Senapan Mesin, Jangan Pistol. Tajuk rencana ialah sikap media atas isu tertentu. Ia biasanya satu halaman dengan opini. Penulisnya adalah redaktur atau pemred media itu. Sikap media harus jelas dalam tajuk karena itu suara resminya. Kalau opini semua bebas mengirim, tetapi jatah tajuk/editorial adalah milik pengelola media.
Surat pembaca, resensi buku, esai juga termasuk artikel nonberita. Resensi berarti menilai buku. Sedangkan esai, karangan yang sifatnya sangat personal dari sisi penulisnya. Selain berita dan artikel, bentuk karya jurnalistik lainnya ialah fotografi, karikatur, dan grafis faktual. Kalau soal foto, saya kira semua memahami bahwa itu layak menjadi urutan pertama karya jurnalistik. Lewat foto, kita mengetahui langsung kejadian yang dipotret fotografer. Bahkan, tanpa tambahan teks atau caption, kita langsung bisa mengerti apa yang sedang terjadi.
Kalau karikatur berisi gambar. Gambarnya pasti mencibir, sebuah bentuk kontrol media terhadap kekuasaan. Seingat saya, karikatur ini asal bahasa dari Prancis. Kare artinya gambar, satire artinya mencibir. Ya gambarnya pasti mencibir. Ada pesan yang terkandung di dalamnya. Koran Tempo menempatkan karikatur di halaman depan. Namanya Portal. Media lain menempatkan karikatur di halaman opini bersama tajuk.
Sedangkan grafis faktual adalah bentuk berita dalam formal tabel, gambar, desain. Misalnya ada kejadian pesawat jatuh. Desainer grafis korannya membuat grafis. Ia mesti membaca dulu beritanya sehingga bisa membuat ilustrasi yang bagus. Desainer grafis, karikaturis, dan fotografer lazimnya bekerja secara terikat di media masing-masing. Meski tak menutup kemungkinan mempekerjakan pekerja lepas untuk tiga posisi itu. Untuk foto, media bisa berlangganan foto nasional dan internasional dari beberapa kantor berita, antara lain Antara, Reuters, dan AFP.