Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Sisi Lain Wanita Pemijat Plus-plus

26 Mei 2014   14:37 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:06 9527 0
Namanya Nike, begitu ia mengenalkan namanya sama saya, single parent beranak dua asal Purwakarta. Saya tahu itu pasti bukan nama asli, karena kebiasaan setiap pramuria (atau apalah namanya istilah untuk wanita penghibur) tidak mungkin mengenalkan nama asli. Nama asli hanya disebutkan pada orang yang ia sudah kenal lama atau terhadap teman sejawatnya. Nike bekerja sebagai terapis di sebuah tempat Massage & Spa di wilayah Senggigi, Lombok.

Pertama kali saya mampir ke tempat di mana Nike bekerja karena diajak oleh seorang Kepala Desa. Ia sudah sering ke tempat itu. Selain jadi kepala desa ia juga seorang pengusaha ikan. Awalnya pengusaha sukses di bidang tambang, tetapi kemudian ambruk karena ditipu oleh orang. Lalu mencalonkan diri sebagai kepala desa dan menang. Kehidupan sebagai pengusaha, menurutnya, sudah tidak asing dengan tempat-tempat hiburan.

Malam itu, sekitar jam 9 pada pertengahan bulan Februari 2014, kami berempat ke tempat itu. Sebelum masuk teman Kepala Desa berpesan, "Jangan panggil saya kades di sana ya bro, panggil aja bro atau apa". "OK siap", jawab saya. Para kades di Lombok, menurutnya, banyak juga yang suka mampir di lokasi itu. Belakangan, dari pengakuan Nike, ternyata bukan hanya kades bahkan salah seorang bupati di Lombok pun sering ke situ. Tak hanya itu, pengarang buku laris nasional yang novelnya difilmkan pun pernah ke situ.

Sesampainya di lokasi ketiga teman saya segera masuk, saya sendiri belakangan karena harus memarkirkan mobil. Tempat parkir berada di depan hotel. Hanya muat dua atau tiga mobil ke tempat itu, sisanya banyak terparkir motor. Dari luar tempat yang berlabel "Hotel & Spa" itu terlihat kecil, namun ketika sudah masuk lumayan besar memanjang.

Setelah mendaftar di resepsionis, waitres yang jaga di situ menanyakan: apakah mau kamar VIP atau biasa, akhirnya memilih VIP karena ada fasilitas AC dan nyaman tempatnya. Terdapat 8 kamar untuk VIP dan beberapa kamar biasa. Tarifnya pun berbeda: VIP 360 ribu dan kamar biasa kurang dari 300 ribu.

Setelah mendaftar lalu si waitres memberikan kertas list yang isinya nama-nama wanita. Saya bertanya ke kades itu: "Apa itu?". Ia menjawab bahwa itu nama-nama wanita terapisnya. Tinggal dipilih mau siapa. Saya bingung karena baru pertama kali ke situ. Di situ ada 11 nama wanita, yang kosong tinggal 5 orang selebihnya sedang melayani tamu. Akhirnya asal tunjuk aja ke salah satu nama: Nike. Ketiga teman lain termasuk kades pun segera memilih satu per satu nama yang tertera.

Sambil dipersiapkan kamar kami diminta menunggu di ruang tengah. Menyerupai bar. Penjaga bar dengan sopan menawari apakah mau pesan minum atau tidak. Ketiga teman saya memesan minuman yang diinginkan. Saya sendiri memesan teh botol dingin saja. Lumayan nyaman ruang tunggunya. Terdapat dua meja kaca. Semua kursinya berwarna merah cukup empuk.

Waitres kembali dari belakang dan mengatakan kamar sudah siap. Kami pun menuju kamar masing-masing yang ditunjukkan oleh waitres. Si waitres meminta untuk menunggu lagi karena terapisnya masih mempersiapkan diri. Sambil menunggu, maklum kami berempat semuanya iseng. Tidak mau tinggal di dalam kamar. Semuanya berbaris di luar kamar. Ingin tahu rupa dari masing-masing wanita yang dipilih. Sebab di resepsionis hanya disodorkan list nama tidak beserta fotonya. Mengundang rasa penawaran seperti apa rupanya.

Satu per satu terapis yang dipilih datang. Terapis pesanan kepala desa yang pertama datang. Rupanya lumayan lah. Kemudian yang kedua muncul adalah Nike. Teman-teman yang berbaris melihat Nike terkesima: cantik boo. Berambut lurus panjang dan dicat kecokelatan. Bule celup sendiri biasa. Dengan tato di pergelangan tangan dan di leher menambah suasana berbeda ketika memandangnya. Ketiga teman saya berebutan mengajak ke kamarnya. Tapi karena Nike sudah dipesan oleh waitres untuk ke kamar saya, ia pun hanya tersenyum melihat tingkah teman-teman. Saya pun segera masuk dan menutup pintu sambil berkata: "dadaaaah..saya duluan". Disambut dengan tawa dan saling ledek.

Setelah di dalam, Nike mengulurkan tangan sambil memperkenalkan diri. Mempersilahkan untuk tidur di kasur yang sudah disediakan. Kamar tak jauh beda dengan fasilitas hotel sebagaimana biasanya. Ada kamar mandi, televisi, dan AC. Kasurnya pun lumayan empuk. Ada juga fasilitas pemanas dari lilin untuk memanaskan minyak untuk memijat.

Sambil dipijat karena tujuan saya didorong oleh rasa kepenasaran bagaimana sebetulnya kehidupan mereka, saya banyak bertanya. Mengobrol santai. Nike pun menjawabnya dengan santun. Tapi saya tidak mungkin mempercayai sepenuhnya apa yang ia jawab. Sebab, bagaimanapun pasti ada semacam aturan atau sudah dilatih oleh manajer mengenai bagaimana harus menjawab pertanyaan dari tamu. Apalagi jika ditanya menyangkut kehidupan pribadinya. Tidak bisa hanya sekali kemudian jawabannya bisa dijadikan acuan. Harus berkali-kali dan melihat konsistensi dari jawaban. Namun, dari obrolan itu diperoleh informasi bahwa ia berasal dari Purwakarta, single parent beranak dua (perempuan semua), sekolah lulusan SMA, kini berusia 24 tahun. Di tempat itu ia baru 2 bulan bekerja, sebelumnya di Semarang di tempat serupa. Memang, dari pijitannya ia profesional. Enak dan well trained.

Waktu untuk setiap tamu adalah 90 menit. Massage hanya butuh waktu 45 sampai 60 menit. Sebelum berakhir massage ia lalu menawarkan apakah mau plus-plus ataukah tidak tapi biayanya beda, di luar biaya yang diserahkan di kasir. Penasaran lalu bertanya berapa. Kalau-maaf-BJ 200 ribu dan full lima ratus ribu jawabnya. Saya pun menjawab tidak sambil mengucapkan terima kasih. Bukan karena tidak bawa uang tapi terbayang-bayang di kepala penyakit menular kelamin yang bisa menyerang jika harus berhubungan dengan wanita sembarangan. Namun saya minta ke Nike tidak apa-apa saya bayar 500 ribu asal mau menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Semacam interview. Ia pun menyanggupi. Dari awal saya sudah memperkenalkan bahwa saya penulis, ke situ selain mau pijat juga mau menggali informasi. Anehnya ia malah senang mendengar bahwa saya penulis. Terlihat dari obrolan setelah massage ia menceritakan banyak hal dan ada banyak keterangannya yang menurut saya jujur. Selebihnya saya anggap harus dilakukan verifikasi lagi, seperti pengakuannya yang mengatakan bahwa ia hanya melayani plus-plus sekali dalam sehari. Tidak lebih dari itu. Itu pun dilakukan menjelang last hour: dari jam 09 malam sampai tutup (tempat ini tutup pukul 11 malam). Menurut saya ini pengakuan yang butuh verifikasi. Dan, terbukti dari keterangannya di saat saya kedua kalinya kesitu, itu tidak benar. Sebab ia keceplosan bilang bahwa ia sudah melayani plus-plus 4 kali.

Dari keterangan Nike di saat kedua kali ke situ diperoleh informasi bahwa ia sudah 2 tahun lebih di Semarang bekerja di tempat serupa. Pindah ke Lombok karena diajak oleh temannya yang sudah bekerja di situ. Ia membandingkan penghasilan di Semarang dengan penghasilan temannya di Lombok. Ia pun tertarik untuk pindah. Di Lombok, menurutnya, penghasilan dari massage kecil: hanya diberi 35 ribu sekali massage. Tapi sampingan dari plus-plus rata-rata bisa 2 juta per hari. Sehari bisa 4 atau 5 kali plus-plus, bahkan jika ramai bisa 10 kali, dikalikan 500 ribu. Besar juga pikir saya. Sehari 2 juta, jika sebulan taruhlah ia bekerja 20 hari (dikurangi waktu off untuk istirahat) berarti sebulan bisa 40 juta. Namun, menurutnya, tidak begitu adanya. Uang kadang habis begitu saja. Dipakai untuk ke salon, sambung rambut, tatoo, perawatan kecantikan ke dokter, beli pakaian, make up, dan sisanya dikirim ke orang tua.

Tamu yang ke situ, menurut Nike, tidak semuanya plus-plus atau BJ, ada juga yang hanya massage. Apalagi jika ia tahu tamunya adalah aparat polisi atau mencurigakan meskipun tamu tersebut minta plus-plus tapi ia tolak. Daripada beresiko. Apalagi tamu yang mabuk tidak pernah ia mau untuk plus-plus.

Ia pun mengakui bahwa bekerja seperti itu tidak mungkin selamanya. Itu pun karena terdorong oleh faktor ekonomi untuk menghidupi anak dan orang tua. Ia saat ini sebagai tulang punggung keluarga. Ayahnya dulu sukses tetapi kemudian usahanya ambruk. Kakaknya meskipun bekerja di Jakarta tapi seakan tidak peduli pada orang tua.

Nike bercerai karena suami ketahuan selingkuh. Kedua anaknya ia yang rawat. Mantan suami sampai saat ini, menurut pengakuannya, tidak pernah memberikan nafkah sepeser pun untuk kedua anaknya. Nike awalnya bekerja sebagai buruh pabrik di Purwakarta, namun kebutuhan untuk menghidupi dua anak yang masih butuh susu formula serta kedua orang tua gaji dari bekerja pabrik tidak mencukupi. Kadang gaji habis hanya dua minggu selebihnya ia harus berhutang ke warung atau pinjam ke teman. Kondisi inilah yang menyebabkan ia memberanikan diri terjun menjadi terapis.

Apakah ada keinginan untuk berhenti dan bekerja normal? Ada keinginan seperti itu katanya, tapi lebih enak bekerja seperti sekarang. Lagipula menurutnya tidak mudah untuk meninggalkan dunia seperti itu. Banyak temannya yang mencoba berhenti. Awalnya satu atau dua bulan berhasil tapi lama-kelamaan kembali lagi. Mungkin karena sudah terbiasa menghasilkan uang besar susah untuk bekerja normal yang hanya berpenghasilan pas-pasan.

Ada satu hal yang sangat menarik. Nike ini unik. Dalam seminggu atau sepuluh hari bekerja ia mengambil waktu cuti (off) satu atau dua hari. Ia sempatkan untuk mengunjungi pesantren atau panti asuhan. Mengaji atau berbagi dengan para anak yatim. Tak lupa dengan membawakan makanan secukupnya. Atau kalau sedang suntuk Nike gunakan waktu cuti untuk menyendiri, sewa kamar hotel yang jauh dari tempat kerjanya.

Nike menceritakan bahwa ia pernah suatu saat pergi ke Mesjid untuk shalat shubuh. Sesampainya di gerbang masjid, ia tidak berani masuk ke dalam, lama terdiam di pintu gerbang. Pikirannya ragu: dalam benaknya berkecamuk apakah ia layak masuk ke masjid, apakah ia akan diterima oleh Tuhan, mengingat pekerjaan yang ia lakoni. Hampir 30 menit ia berdiri di pintu gerbang. Tiba-tiba ada seorang nenek memakai kebaya putih menghampirinya dan bertanya kenapa tidak masuk ke dalam. Ia segera tersadar dari lamunan dan menjawab terbata-bata, memberikan alasan karena sedang menunggu teman. Namun sang nenek seolah tahu apa yang dipikirkan lalu mengajaknya masuk ke dalam. Nike mengambil wudhu dan shalat di samping si nenek.

Setelah selesai shalat si nenek memegang tangan Nike. Dirasakan olehnya begitu sejuk tangan itu dan hawanya langsung masuk menusuk relung tubuhnya. Seakan dibawa ke alam mana yang ia belum pernah rasakan. Si nenek pun sambil tetap memegang tangan Nike berkata, "Tuhan Maha Pemurah dan Pengampun, mintalah pada-Nya". Hanya itu yang diucapkan sang nenek. Air mata Nike tiba-tiba berhamburan keluar. Lalu tangan si nenek pun menyeka air mata itu dan menggosok punggung Nike. Makin lapang perasaan yang dirasakan Nike. Di saat hendak pulang Nike tak lupa bersalaman ke sang nenek dan mencium tangannya. Keluar masjid bersamaan dan diajaklah sang nenek sarapan di seberang jalan tapi nenek itu menolak. Meskipun menolak, Nike minta sang nenek untuk menunggu. Niatnya hendak membelikan makanan untuk dibawa pulang bagi sang nenek itu. Setelah selesai membeli makanan, ia kembali ke halaman mesjid namun sang nenek sudah tidak ada. Ia pun bertanya ke pengurus masjid ke mana sang nenek yang tadi bersamanya. Pengurus masjid heran, balik bertanya nenek yang mana. Tidak ada nenek-nenek ke situ. Ditegaskan oleh Nike, nenek yang tadi bersamanya. Pengurus masjid malah bilang, tadi Nike tidak sama siapa-siapa, ia keluar sendiri dan seakan bicara sendiri. Nike heran siapakah gerangan si nenek.

Kejadian itu masih ia ingat sampai sekarang. Dan, karena itulah ia selalu mencoba untuk berbuat baik dengan memberi pada orang lain meskipun pekerjaannya kotor. Sebagai terapis pijat plus-plus yang mungkin di masyarakat dianggap "wanita murahan", ia sangat dermawan. Di setiap tempat yang ia melihat kotak amal pasti ia masukkan uang ke dalam kotak itu. Atau jika lewat di jalan dan melihat peminta-minta ia bela-belain berhenti dulu, atau jika sudah terlewat dan sedang naik taksi disuruhnya mundur taksi itu, hanya untuk memberi pada si pengemis. Itu saya buktikan sendiri ketika mengantarnya ke salon, di jalan ada pengamen ia langsung berikan uang lima ribu. Ada lagi pengemis ia berikan uang sepuluh ribu. Begitu pun ketika mampir di toko swalayan ada kotak amal, ia tak lupa memasukkan uang ke dalamnya.

Menurutnya, itu dilakukan karena sudah merasakan bagaimana hidup tidak punya uang. Penderitaan hidup sudah dialami, beras pun pernah pinjam ke tetangga. Maka ketika ia melihat orang yang kekurangan tidak tega membiarkan. Ia pun menyampaikan bahwa ia memberi bukan bertujuan penebus dosa, sebab ia yakin Tuhan Maha Tahu. Pelacur pun seperti banyak dikisahkan bisa berkesempatan masuk surga hanya karena memberi minum seekor anjing. Itu saja prinsip hidup yang ia pegang.##

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun