Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Suami Melarang Istri Berkarier

18 April 2012   03:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:29 6685 1
Sepasang manusia pria dan perempuan. Mereka bertemu pertama kali di kampus yang sama tempat mereka menimba ilmu. Mereka berpacaran. Lulus kuliah masing-masing bekerja untuk mengamalkan ilmu yang telah mereka dapat. Sang pria bekerja menjadi pegawai negeri sipil dan sang perempuan bekerja di sebuah penerbitan buku.

Singkat cerita mereka memutuskan untuk menikah. Terjadi kesepakatan. Suami bekerja dan istri di rumah menjadi ibu rumah tangga.

SUAMI KEPALA RUMAH TANGGA

Menjadi pegawai negeri sipil kantor pusat Jakarta memberi konsekuensi untuk sang suami siap ditugaskan di mana saja di seluruh wilayang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gaji sang suami boleh dikata cukup untuk menghidupi keluarga. Sehingga suami memutuskan untuk menjadi kepala rumah tangga dan satu-satunya tonggak ekonomi keluarga. Pada kenyataannya, memang suami mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Semua kebutuhan keluarga dapat tercukupi. Kehidupan mereka berdua sebagai sebuah keluarga boleh dikata cukup.  Tatkala suami dipindahtugaskan ke daerah tertentu di luar Jawa, sang istri turut menyertai. Memang dari awal sudah disepakati demikian. Istri menjadi ibu rumah tangga dan suami menjadi kepala rumah tangga.

Sebagai pasangan baru, memiliki anak adalah harapan terindah. Dengan demikian kondisi istri harus dipersiapkan sebaik mungkin. Itu sebabnya istri tidak disibukkan dengan pekerjaan di luar rumah alias tidak diharapkan bekerja di luar rumah. Fokus dan konsentrasi hanya untuk mempersiapkan hadirnya si buah hati.

Setelah 2 tahun menikah, mereka dikaruniai seorang putera yang lucu dan sehat. Ekonomi keluarga baik-baik saja. Mereka berdua sebagai orang tua bisa memberikan kasih sayang dan kebutuhan jasmani untuk si buah hati. Suami makin rajin dalam bekerja karena sekarang memiliki tambahan tanggung jawab yaitu membesarkan si buah hati semata wayang. Kehidupan mereka berdua semakin beranjak membaik setelah lahirnya buah hati mereka.

Kesepakatan baru mulai dibuat. Dengan adanya si buah hati maka pekerjaan istri di rumah dalam mengurus rumah tangga bertambah. Suami tetap dengan tanggung jawabnya yang penuh sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai pengurus rumah dan pengurus buah hati mereka. Dengan hadirnya anak, hadir juga tanggung jawab baru untuk suami. Suami tidak semata mencari nafkah untuk keluarga tetapi juga untuk waktu-waktu tertentu di luar pekerjaan, juga ikut mengurus anak. Waktu akhir pekan menjadi hal baru untuk suami. Yang biasanya akhir pekan digunakan suami untuk rekreasi atau istirahat dari pekerjaan kantor, kini harus berbagi waktu dengan istri untuk mengurus anak. Memang itulah tugas seorang suami ketika di dalam keluarga mereka hadir anak si buah hati.

BUKAN KARENA KURANG TAPI KARENA INGIN BERKEMBANG

Dengan bertambahnya anggota keluarga, bertambah pula kebutuhan rumah. Dan sebagai keluarga muda, memiliki keluarga yang lengkap dan rumah yang layak untuk tempat tinggal adalah sebuah harapan mungkin juga bisa disebut sebagai sebuah keharusan. Ketika dulunya masih kontrak sana kontrak sini, kini harus memikirkan untuk memiliki rumah sendiri. Penghasilan suami jika istri pandai menabung, akan cukup untuk membeli rumah dalam kurun waktu yang panjang. Gaji suami yang tidak tergolong besar menuntut istri pandai-pandainya menabung. Tapi kebutuhan hidup di kota juga tidak murah. Banyak godaan, banyak juga pengeluaran-pengeluaran tidak terduga sehubungan dengan hadirnya si buah hati. Dari mulai susu bayi yang mungkin tergolong mahal atau si bayi tidak cocok dengan susu buatan pabrik yang biasa-biasa saja, sampai dengan susu ekslusif yang tidak lagi cukup untuk si bayi yang menuntut orang tua harus memberikan supplemen pengganti. Salah satunya susu pabrik yang berkualitas.

Hidup di tengah masyarakat dengan banyak tawaran konsumtif menjadi tantangan tersendiri. Mereka berdua sebagai sebuah keluarga juga ingin hidup layak. Layak dalam ukuran relatif. Apa sih yang disebut layak? Kadang kala untuk hal sederhana soal makan pun juga menjadi relatif. Menu 4 sehat 5 sempurna disebut sebagai ukuran yang layak. Makan di luar tiap minggu pun disebutnya sebagai ukuran kelayakan hidup. Rekreasi tiap minggu ke tempat-tempat rekreasi pun bisa menjadi ukuran layak. Memiliki kendaraan bermotor pribadi baik sepeda motor maupun mobil juga bisa menjadi ukuran layak.

Dan mungkin yang terakhir menjadi alasan adalah bukan karena layak dan tidak layak (karena ukuran layak ini relatif tergantung sudut pandang dan pola pikir masing-masing keluarga) tapi karena ingin berkembang. Tidak mau stagnan begitu saja. Dulu belum punya rumah, sekarang ingin punya rumah. Ingin punya motor sendiri. Sudah memiliki motor, ingin motor lagi sehingga masing-masing suami dan istri punya motor sendiri-sendiri. Ketika sudah hadir anak, ingin punya mobil supaya bisa bepergian bertiga dengan anak. Memberi keamanan dan kenyamanan lebih untuk si buah hati supaya tidak kepanasan atau kehujanan.

Sebagai seorang PNS dengan gaji yang tidak sebesar jika bekerja di sektor swasta, tidak atau belum memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder di atas seperti motor atau mobil. Bahkan kebutuhan primer seperti perumahan. Jikapun bisa diusahakan memenuhi kebutuhan primer dengan gaji yang diterima suami, akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengumpulkan dana guna membeli sebuah rumah.

Akhirnya terpikir oleh istri untuk ikut membantu suami dengan bekerja di luar rumah. Dengan melihat pertumbuhan anak bahwa pada saatnya nanti anak akan memasuki usia sekolah, selain membutuhkan dana tambahan juga memberi kesempatan untuk istri bisa bekerja di luar rumah. Selama anak masuk sekolah, istri bisa memanfaatkan waktu itu untuk bekerja di luar rumah. Pertimbangan-pertimbangan seperti ini biasanya dipakai istri untuk mulai berpikir membantu tugas suami. Sangat tidak bijak jika istri diam saja dan menuntut suaminya yang seorang PNS memenuhi semua kebutuhan rumah tangga yang makin bertambah. Ada hal-hal etis yang harus dijaga. Seperti misalnya menghindarkan suami untuk melakukan tindak korupsi di kantor karena gaji tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

Ada pilihan lain selain daripada istri bekerja di luar rumah yaitu mengevaluasi semua pengeluaran dan memaksa diri untuk menabung. Dalam bahasa sekarang disebutnya memanage keuangan rumah tangga. Semua pengeluaran yang tidak perlu, dipangkas. Kebutuhan-kebutuhan(atau keinginan?) ditunda sampai waktu yang tepat. Tidak semua pribadi bisa melakukan itu. Butuh kebijaksanaan dan kemauan keras untuk bisa hidup sederhana (meski ukuran sederhana itu relatif seperti ukuran layak ).

PERTIMBANGAN SUAMI

Suami tidak melarang istri bekerja di luar rumah. Suami hanya ingin istri memiliki tanggung jawab penuh di rumah dan suami tanggung jawab penuh di luar rumah. Artinya ini pembagian tugas yang cukup adil. Suami merasa masih mampu membiayai rumah tangga dengan gaji PNS yang diterimanya dengan catatan istri bisa mengatur sedemikian rupa sehingga cukup untuk semua.

Mengingat bahwa istri adalah seorang sarjana ekonomi management, memang dirasa sayang jika keahliannya itu tidak dimanfaatkan lagi. Atau dalam bahasa seorang perempuan modern, bekerja bukan untuk mencari nafkah tapi untuk sarana aktualisasi diri.

Selama mereka hidup membina rumah tangga, semua berjalan lancar. Tapi ada hal-hal baru yang muncul seperti mulai banyak muncul keluhan istri karena lelah bekerja di rumah mengurus rumah dan anak. Mulai dari cucian yang bertambah banyak atau sangat aktifnya si buah hati sehingga menuntut perhatian lebih dari istri. Perhatian lebih diartikan sebagai energi lebih. Membutuhkan energi lebih untuk mengurus anak. Semua itu sebenarnya tergantung kepada istri yang melaksanakan tugasnya sebagai istri dan seorang ibu. Apakah istri mampu dan mau mengatur waktu dan tenaga untuk rumah dan anak. Management waktu dan tenaga. Harus ada perbedaan antara dulu ketika belum ada anak dan sekarang ketika sudah hadir buah hati/anak. Jika bisa mengatur itu semua, maka tidak akan masalah besar yang timbul seperti keluhan istri. Kelelahan fisik dan pikiran mempengaruhi sifat dan karakter. Yang dulunya masih bisa sabar sekarang sudah tidak sabaran lagi. Kalau boleh berteriak mungkin istri akan berteriak "Kenapa anakku tidak seperti anak orang lain yang pendiam, tenang dan penurut?". Setiap anak tentu terlahir unik dan berbeda satu dengan yang lain. Mungkin ibu lain yang punya anak pendiam, tenang dan penurut juga akan berpikir "Kenapa anakku tidak bisa seperti anak orang lain yang ceria, aktif dan menggemaskan polah tingkahnya". Semua tergantung orang tuanya dalam menyikapi anugerah Tuhan yaitu buah hati anak. Dan tentu saja rasa syukur. Rasa syukur itu bisa menjadi obat lelah. Anak yang aktif tentu punya daya tahan yang lebih baik dan tentu lebih sehat karena asupan yang masuk dengan energi yang dikeluarkan buah hati berimbang.

Mempertimbangkan kondisi istri yang seperti ini, rasanya tidak adil jika memperbolehkan istri untuk bekerja di luar rumah. Mungkin jika istri tidak kewalahan dalam mengurus rumah dan anak atau pandai mengatur waktu dan energinya, tidak jadi masalah. Kalau sampai istri terlalu lelah karena mengaktualisasi diri di luar rumah akan berdampak kepada anak. "Anak menjadi korban".

YANG DICARI ISTRI DENGAN BEKERJA DI LUAR RUMAH(BERKARIER)

Pernah terungkap dalam sebuah percakapan bahwa istri ingin membantu suami dalam bekerja. Terlebih akhir-akhir ini suami harus mengupgrade pendidikannya untuk menunjang karier PNS nya. Upgrade pendidikan suami membutuhkan biaya. Biaya yang tidak sedikit. Meskipun suami meyakinkan istri bahwa suami masih mampu membiayai keluarga dan membiayai upgrade pendidikannya asal istri mau berhemat (syarat dan ketentuan berlaku). Sang istri juga ingin membantu ekonomi orang tuanya. Setidaknya berusaha menjadi wujud bakti kepada orang tua yang sudah membesarkannya. Begitulah kira-kira yang istri kehendaki dan harapkan. Memang bukan sebuah obsesi seorang perempuan yang berpendidikan tinggi untuk kembali meniti karier.

Ada juga sebuah pertimbangan untuk memberi lebih kepada buah hati mereka. Semisal memberi pendidikan yang lebih berkualitas. Berkualitas dalam arti mahal. Apakah itu sebuah kebutuhan atau sebuah keinginan? Kadangkala juga rancu antara kebutuhan pendidikan anak dan sebuah keinginan yang didorong karena gaya hidup. Anak semata wayang harus bersekolah di tempat yang mahal. Karena mahal sama dengan berkualitas.

Jika istri bekerja, maka keluarga mereka bisa mempekerjakan seorang baby sitter untuk membantu mengasuh anak. Ada tambahan penghasilan ada juga tambahan pengeluaran. Tapi apakah pantas anak semata wayang diasuh oleh baby sitter. Tidak cukup mampukah seorang perempuan sekaligus seorang ibu mengasuh anak si buah hati sambil bekerja.

KARIER(AKTUALISASI DIRI) TIDAK HARUS DI LUAR RUMAH

Ada sebuah pilihan untuk seorang istri berkarier atau bekerja. Bisa dilakukan tanpa mengurangi perhatian terhadap buah hati. Melakukan usaha di rumah misalnya. Seperti banyak dilakukan oleh istri-istri yang lain. Merintis usaha dari rumah. Berkembangnya dunia teknologi internet membukan kesempatan luas untuk para istri untuk mengaktualisasi dirinya dan membantu suami. Membuka usaha jualan online atau menulis rubrik untuk media-media. Menulis juga bisa mendatangkan penghasilan jika ditekuni dengan baik. Waktu yang dipakai pun tidak banyak. Bisa dilakukan sambil mengasuh anak. Dulunya pun sang istri juga sudah akrab dengan pekerjaan tulis menulis ketika menjadi editor di sebuah perusahaan penerbitan buku.

Hal seperti ini sebenarnya yang dikehendaki sang suami. Membuka usaha sendiri yang tidak menguras energi dan bisa dilakukan dari rumah sehingga urusan rumah dan anak tidak terbengkelai. Yang jelas tidak menguras banyak waktu dan energi. Yang paling penting adalah energi ini. Karena suami tahu jika istrinya kelelahan, akan cepat emosi. Dampak negatifnya, suami dan anak yang akan menjadi korban. Terlebih lagi jika memang pekerjaan itu sesuai dengan hobi. Hobi dilakukan menyenangkan dan berpotensi menghasilkan income. Why Not? Banyak yang sudah membuktikannya. Ini juga merupakan karier. Ada jenjang yang harus ditempuh.

Melihat banyak perempuan dengan banyak anak bisa bekerja di luar rumah dan tetap bertanggung jawab terhadap rumah dan anak-anak, bisa menginspirasi banyak perempuan/istri. Ada usaha lebih yang telah dilakukan oleh perempuan ini sehingga bisa menyeimbangkan antara pekerjaan dan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga.

Semua kembali kepada pribadi masing-masing. Hidup adalah pilihan. Berkarier juga sebuah pilihan. Dan setiap pilihan mengandung konsekuensi. Dan dalam konsekuensi itu ada kesepakatan antara suami dan istri. Bukankah menikah juga sebuah kesepakatan? Kesepakatan untuk sepasang manusia pria dan perempuan membangun rumah tangga. Dan dalam perjalanan kemudian akan muncul kesepakatan-kesepakatan baru untuk menghadapi masalah dan tantangan-tantangan baru ke depan.

Jika saja terjadi kesepakatan antara suami dan istri dalam berbagi tugas membina rumah tangga, mungkin tidak ada lagi cerita suami melarang istri berkarier.








KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun