Menjadi persoalan kemudian ternyata pilihan itu berdampak, ada dukungan konstituennya.Sebagai orang yang main di bisnis PR seharusnya dia mengerti, ambisinya dibidang politik dapat terganjal jika urusan privat tidak cermat. Kebetulan memang kawan ini memang agak kuat ambisinya, beraneka macam ormas dijajalnya. Keberaniannya berdekatan dengan sejumlah jendral patut dilihat, sehingga sampai presiden SBY yang nota bene berasal dari militer mempercayainya untuk memoles SBY secara PR. Bertarung diormas KNPI pun dilakoni, terakhir saya dengar dia mencalonkan diri jadi bupati Bekasi.
Hasil dinamika politiknya saya kurang mengikuti. Tapi ternyata poligami yang dilakukannya membuat keluarga istrinya dan jaringan keluarga kyai dibelakangnya agak memboikot.
Menariknya bagi saya adalah ; poligami dalam kaitannya dengan kekuasaan dalam sejarah orang orang besar, selalu diceritakan berdampak memperluas dukungan dari konstituen. Kita bisa lihat sirah Rasul Muhamad yang mengambil istrinya dari kabilah yang berbeda. Pada kasus lain yang lebih lokal, kita bisa ambil Sukarno dengan istrinya yang juga dari aneka suku-bangsa.
Tapi jaman terus bergerak. Seorang Nabi anggaplah sebuah pengecualian. Dengan seluruh cinta kepadanya, saya tetap mempelajari sejarah kemanusiaan yang terus hadir seputar orang ketiga dalam bahtera rumah tangga. Ada yang bergerak pada pilihan poligami tadi. Dari proses dukungan penuh konstituen terhadap sebuah ide bergeser menjadi dukungan dengan kontra prestasi terhadap seorang pemimpin.
Mungkin pada masyarakat suku yang lebih sederhana pada zaman Muhamad yang didukung kerasulan bisa berlaku. Tapi hari begini saat informasi hak perempuan begitu mudah diakses, apalagi bagi istri seorang tokoh macam kawan saya tadi, jelas tidak mudah menjadikan poligami sebagai alat penggalangan konstituen. Masyarakat kita sudah letih dengan kegagahan patriarki model raja raja yang anti kritik. Kami butuh pemimpin yang setia dalam kebijakan publik, yang tentu saja harus dimulai setia dalam ranah privatnya
24 April 2009